Research  By Editorial Desk

Beragam Insentif Kelas Menengah

14 November, 2025

Banyak insentif sebenarnya sudah diberikan pemerintah untuk menopang kehidupan kelas menengah. Bahkan jatah masyarakat miskin pun mereka nikmati.

Ilustrasi kupon subsidi - NEXT Indonesia Center (1)

Keterangan foto: Ilustrasi kupon subsidi.

DOWNLOADS


cover next review beragam intensif kelas menengah.jpeg

Beragam Insentif Kelas Menengah

Download

Ringkasan
Kelas menengah menjadi penggerak utama konsumsi nasional
Mereka menyumbang lebih dari separuh konsumsi rumah tangga dan menopang stabilitas PDB. Namun pertumbuhan pengeluaran mereka melambat sejak 2022 karena tekanan biaya hidup dan pendapatan yang tumbuh lambat.
Pemulihan konsumsi kelas menengah tertinggal dibanding kelompok lain
Data GIC menunjukkan kelas menengah tidak menikmati pemulihan secepat kelompok bawah dan atas. Pertumbuhan konsumsi mereka tertinggal pada 2022–2023 dan hanya sedikit membaik pada 2023–2024 sehingga daya beli mereka tetap rapuh.
Banyak insentif pemerintah justru paling banyak dinikmati kelas menengah
Subsidi energi, KUR, insentif pajak, hingga bantuan pekerja paling banyak mengalir ke kelas menengah dan menuju kelas menengah. Kebijakan ini membantu, tetapi belum cukup mengatasi tekanan biaya hidup yang terus membatasi kenaikan konsumsi mereka.

 

 

NEXT Indonesia Center - Kelas menengah Indonesia merupakan kelompok penduduk yang memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Mereka adalah penggerak utama konsumsi, yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia.

Data pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III-2025 menunjukkan konsumsi rumah tangga masih menjadi mesin penggerak utama. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 53,14%. Sebagian besar konsumsi tersebut berasal dari kelas menengah (middle class) dan menuju kelas menengah (aspiring middle class).

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kelas menengah sebagai masyarakat dengan pengeluaran 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan nasional. Pada Maret 2025, garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp609.160 per kapita per bulan, sehingga kelas menengah mencakup mereka dengan pengeluaran sekitar Rp2,1 juta hingga Rp10,4 juta per kapita per bulan. Sementara pengeluaran kelompok masyarakat menuju kelas menengah 1,5 hingga 3,5 kali garis kemiskinan nasional, atau antara Rp913.740 hingga Rp2,1 juta.

Populasi dua kelas ekonomi ini pada tahun 2024 mencapai sekitar 185,3 juta jiwa atau 66,35% dari total penduduk Indonesia. Sementara nilai konsumsi dari kedua kelompok itu pada 2024 tercatat 81,43% dari total konsumsi seluruh masyarakat Indonesia.

Dengan populasi dan konsumsi yang tinggi, tak heran jika kelompok ini berperan krusial sebagai bantalan ekonomi nasional. Jika kelas menengah dan menuju kelas menengah kuat, maka daya beli masyarakat secara keseluruhan menjadi kuat, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi nasional lebih tinggi lagi.

Kontribusi kelas menengah terhadap perekonomian tidak hanya melalui konsumsi langsung, tetapi juga melalui perannya dalam basis pajak dan investasi. Kelas menengah umumnya berpartisipasi dalam sektor formal (pegawai, profesional, wirausaha UMKM), sehingga berkontribusi pada penerimaan pajak negara—misalnya melalui pajak penghasilan dan PPN dari belanja mereka.

Selain itu, konsumen dari kelas menengah mendorong pertumbuhan sektor-sektor seperti ritel modern, properti, otomotif, pariwisata, dan pendidikan, yang memiliki efek pengganda (multiplier) luas. Kebijakan ekonomi pemerintah sering menargetkan kelas menengah untuk menjaga momentum pertumbuhan, mengingat daya beli kelompok ini mampu menopang ekonomi di masa krisis sekalipun.

Kerap kali banyak tersiar kabar mengenai kondisi terjepit yang dialami oleh kelas menengah. Jumlah mereka menyusut dari 57,3 juta orang pada 2019 menjadi 47,9 juta orang pada 2024. Penurunan populasi kelas menengah tersebut menyebabkan tekanan terhadap daya beli, yang tercermin dari lambatnya laju konsumsi rumah tangga.

Sejak triwulan III-2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga terus berada di bawah 5%. Bahkan pertumbuhan 4,89% pada triwulan III-2025 adalah yang paling rendah dalam 14 tahun terakhir. Tekanan terhadap konsumsi tersebut, menurut sejumlah ekonom, terjadi karena pertumbuhan pendapatan yang teramat lambat setiap tahunnya, terutama pada kelompok masyarakat kelas menengah.

Oleh sebab itulah bermunculan suara tentang perlunya insentif khusus bagi masyarakat kelas menengah agar daya beli mereka kembali menguat. Insentif tersebut, seperti disampaikan Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro kepada CNBC Indonesia, dapat memperbaiki real income kelas menengah, sehingga daya beli mereka menguat dan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pada publikasi ini NEXT Indonesia Center membahas mengenai pola konsumsi dan pengeluaran kelas menengah Indonesia selama 2022–2025, serta berbagai insentif pemerintah yang sebenarnya juga ikut dinikmati kelompok ini.

Terjepitnya Kinerja Pengeluaran Kelas Menengah

Sulit disangkal, kontribusi tingkat konsumsi masyarakat kelas menengah, juga menuju kelas menengah, terhadap PDB berperan penting dalam pertumbuhan perekonomian nasional secara keseluruhan. Pada bagian ini NEXT Indonesia Center melakukan analisis terhadap pola konsumsi setiap persentil/desil pengeluaran masyarakat guna melihat pola konsumsi masyarakat yang tergolong kelas menengah.

Growth Incidence Curve (GIC) atau kurva insiden pertumbuhan, digunakan untuk menganalisis distribusi pertumbuhan pengeluaran riil per kapita setiap lapisan penduduk. GIC dapat menunjukkan bagaimana pertumbuhan pendapatan, atau konsumsi, didistribusikan di antara kelompok penduduk pada berbagai tingkat pendapatan.

Kurva ini dapat menunjukkan perbandingan ketimpangan pertumbuhan antar-kelompok kesejahteraan. Dengan demikian, dapat dianalisis apakah rumah tangga kaya semakin jauh meninggalkan rumah tangga miskin.

Pada publikasi ini NEXT Indonesia Center membandingkan pertumbuhan pengeluaran tiap persentil masyarakat periode 2022-2023 dengan 2023-2024 berlandaskan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2022, 2023, dan 2024.

Pada grafik di atas terlihat pola pertumbuhan pengeluaran yang kontras antara periode 2022–2023 dan 2023–2024 di berbagai kelompok pendapatan. Periode 2022-2023 ditandai dengan tingginya pertumbuhan pengeluaran kelompok rumah tangga kaya (persentil 81-100) dan juga rumah tangga miskin dan hampir miskin (persentil 1-40). Sementara kelas menengah (persentil 41-80) cenderung mengalami laju pertumbuhan pengeluaran yang lebih lambat dibandingkan kelompok atas dan bawah.

Kelompok rumah tangga miskin dan hampir miskin, pada 2022-2023 tampak menikmati kenaikan pengeluaran rata-rata sekitar 9,30%. Pertumbuhan ini kemungkinan didorong oleh pemulihan ekonomi pasca-pandemi di lapisan bawah serta berbagai bantuan sosial dan subsidi yang lebih menyasar kelompok miskin.

Di sisi lain, kelas menengah hanya mengalami pertumbuhan di bawahnya, yakni rata-rata 7,82%. Hal ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga kelas menengah relatif tertinggal dalam pemulihan konsumsi periode tersebut. Sementara itu, kelompok terkaya juga mencatat pertumbuhan pengeluaran yang cukup tinggi, bahkan 20% penduduk teratas mencapai kenaikan rata-rata 10,95%, tertinggi di seluruh kelompok masyarakat.

Fenomena ini mengisyaratkan bahwa pada 2022–2023, pemulihan konsumsi pasca-pandemi lebih laju terjadi di lingkungan 40% masyarakat dengan pengeluaran terbawah alias miskin dan hampir miskin. Boleh jadi karena rumah tangga termiskin mendapat dorongan bantuan dan pemulihan ekonomi dari pemerintah, sementara rumah tangga terkaya menikmati rebound aktivitas ekonomi dan belanja pasca-pandemi. Sementara kelas menengah, ketika itu, kurang sentuhan dari pemerintah.

Memasuki periode 2023–2024, pola pertumbuhan pengeluaran antarkelompok berbalik arah. Pertumbuhan pengeluaran 20% masyarakat dengan pengeluaran terbesar alias kelas atas, ada di urutan terbawah, yakni rata-rata 2,58%. Sementara pengeluaran kelas menengah dan menuju kelas menengah rata-rata tumbuh 4,79%, serta masyarakat miskin dan hampir miskin rata-rata naik 5,40%.

Pertumbuhan di lapisan terbawah ini mempertahankan momentumnya, kemungkinan berkat kenaikan pendapatan buruh dengan upah minimum dan, pemulihan pasar kerja sektor informal. Tak ketinggalan, berlanjutnya program bantuan sosial yang menyasar rumah tangga miskin.

Secara keseluruhan, posisi kelas menengah dalam distribusi pertumbuhan pengeluaran 2022–2024 tergolong kurang menguntungkan. Pada 2022–2023 mereka tertinggal, tumbuh lebih rendah dibanding kelompok miskin maupun kaya.

Lalu pada 2023–2024, meski sedikit membaik dibandingkan pengeluaran kelompok atas yang mulai lesu, laju pertumbuhan konsumsi kelas menengah tetap tidak setinggi segmen terbawah.

Pola GIC ini mencerminkan pemulihan ekonomi yang tidak merata dan tantangan khusus yang dihadapi kelas menengah Indonesia pasca-pandemi. Kelas menengah ibarat “mesin pertumbuhan” yang tenaganya melemah –daya beli mereka tertekan oleh berbagai faktor, mulai dari beban biaya hidup yang meningkat hingga kesempatan ekonomi yang terbatas.

Kondisi ini patut menjadi perhatian lantaran kelas menengah merupakan pilar penting permintaan domestik. Jika pertumbuhan pengeluaran kelas menengah terus stagnan, dampaknya dapat menghambat laju ekspansi konsumsi agregat dan mengurangi efektivitas kelas menengah sebagai motor pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan kata lain, penguatan kembali daya beli dan kepercayaan kelas menengah menjadi krusial agar pola pertumbuhan ekonomi ke depan lebih inklusif dan berkelanjutan.

Sesungguhnya, tak sepenuhnya benar bila dikatakan bahwa pemerintah “melupakan” kelas menengah yang dalam posisi terjepit itu. Berbagai manfaat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta kebijakan insentif dari pemerintah, disadari atau tidak, telah dinikmati oleh kelas menengah.

Pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM), LPG 3 kilogram, juga listrik, menurut Kementerian Keuangan, lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memaparkan ada beragam program bantuan untuk kelompok kelas menengah yang terdiri dari subsidi dan kompensasi, bantuan subsidi upah (BSU), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk sektor perumahan dan otomotif, iuran jaminan kehilangan pekerjaan, serta Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Kelas Menengah Penikmat Subsidi Energi

Mari tengok aliran subsidi energi, baik berupa bahan bakar minyak (BBM) maupun liquified petroleum gas (LPG). Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 menunjukkan bahwa sebagian besar subsidi BBM dinikmati oleh kelas menengah dan menuju kelas menengah.

Tabel di atas menunjukkan bahwa penikmat subsidi BBM terbanyak adalah kelompok keluarga menuju kelas menengah dan kelas menengah. Sebanyak 46,3 juta keluarga atau 90,03% dari keluarga dalam dua kelompok ekonomi tersebut menikmati subsidi bensin. Begitu pula dengan solar, ada 769,6 ribu rumah tangga yang menjadi penikmat subsidi jenis BBM tersebut berasal dari keluarga kelas menengah dan menuju kelas menengah.

Tampak pula hampir seluruh keluarga kelas atas (94,64%) membeli bensin untuk kendaraan mereka. Sementrara itu, 5,08% dari total populasi kelompok keluarga tersebut, membeli solar untuk bahan bakar kendaraanya.

Kelompok menuju kelas menengah tampak menjadi penyerap bensin terbanyak, yakni mencapai 836 juta liter setiap bulannya. Kelompok kelas menengah menyusul di belakang dengan 614 juta liter per bulan. Dengan demikian, dua kelompok ini menyerap 81,70% dari total 1,8 miliar liter bensin setiap bulannya.

Situasi serupa terjadi pada penyerapan solar. Kelas menengah dan menuju kelas menengah mengonsumsi 87,38% solar setiap bulan.

Satu lagi sumber energi yang juga disubsidi adalah liquified petroleum gas (LPG) dalam ukuran 3 kilogram atau populer disebut gas melon. Data kembali menunjukkan bahwa subsidi yang sebenarnya diperuntukkan bagi kelompok masyarakat kelas bawah, justru lebih banyak dinikmati oleh warga berpenghasilan jauh di atas mereka.

Rumah tangga yang terbanyak menikmati subsidi gas melon berasal dari kelompok menuju kelas menengah, dengan jumlah sekitar 32,0 juta keluarga. Ditambah 11,9 juta keluarga kelas menengah, dua kelompok ekonomi ini mengambil porsi 72,01% dari total 60,9 juta keluarga di Indonesia yang membeli gas melon.

Berbagai data di atas menunjukkan bahwa subsidi BBM dan LPG 3 kg jelas lebih menguntungkan kelas menengah dan menuju kelas menengah, bukan masyarakat kelas bawah yang menjadi sasaran utamanya. Padahal, setiap tahun, ratusan triliun rupiah digelontorkan pemerintah untuk subsidi dan kompensasi energi. Menurut data Kementerian Keuangan, subsidi dan kompensasi energi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 bernilai Rp394,3 triliun atau meningkat dari 2024 yang sebesar Rp386,9 triliun.

Subsidi energi yang bersifat luas ini juga menuai kritik lantaran dinikmati semua golongan. Pemerintah masih berupaya memperbaiki tata cara penyaluran subsidi energi agar lebih tepat sasaran pada masa mendatang.

Insentif Finansial Kelas Menengah

Beralih ke masalah finansial, kelas menengah juga tampak menikmati insentif alias subsidi yang diberikan berupa keuangan. Sebagai contoh, bentuknya berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR), pajak ditanggung pemerintah (DTP), serta bantuan lainnya.

KUR adalah program pinjaman dari pemerintah yang disalurkan melalui lembaga keuangan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tujuannya untuk memperluas akses pembiayaan bagi usaha produktif yang mungkin belum memiliki agunan atau belum bankable, dengan suku bunga yang ringan dan bersubsidi.

Pemerintah memberikan subsidi bunga KUR, sehingga suku bunga efektif yang harus dibayarkan ke bank hanya sekitar 6%, jauh di bawah kredit komersial. Realisasi penyaluran KUR pada tahun 2024 mencapai Rp280,3 triliun, melebihi target hingga 100,10%. Jumlah debitur yang dilayani mencapai 3,69 juta, dengan 2,34 juta di antaranya merupakan debitur baru. Penyaluran ini didominasi oleh sektor perdagangan dan pertanian, dengan skema KUR mikro menjadi yang paling diminati.

Lagi-lagi, data menunjukkan bahwa kelompok keluarga kelas menengah dan menuju kelas menengah adalah penikmat terbesar KUR. Data Susenas Maret 2024 menunjukkan, jumlah dua kelompok keluarga itu yang mengaku menerima KUR sekitar 4,5 juta keluarga atau 76,34% dari 5,9 juta keluarga Indonesia yang dalam setahun terakhir mendapatkan kredit tersebut.

Pinjaman ini memang ditujukan untuk kelas menengah ke bawah yang memiliki usaha kecil. KUR dapat membantu mereka dalam permodalan dengan cicilan ringan, sehingga mendorong aktivitas ekonomi di sektor perdagangan, pertanian, dan industri rumah tangga. Pemerintah juga memperluas KUR Super Mikro bagi ibu rumah tangga dan pekerja terkena PHK, serta KUR Khusus di sektor produksi, yang mendukung kelompok menengah produktif.

Subsidi finansial lain yang membantu meringankan beban kelas menengah ke bawah adalah sejumlah pajak yang ditanggung pemerintah (DTP). Jenis pajak tersebut termasuk insentif pajak penghasilan (PPh-DTP) yang tahun ini diatur Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 10 Tahun 2025; Pajak Pertambahan Nilai (PPN-DTP) untuk rumah tapak dan rumah susun yang diatur PMK No. 13 Tahun 2025 dan PMK No. 60 Tahun 2025 tentang insentif tambahan PPN-DTP rumah; PPN-DTP untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM-DTP) untuk kendaraan jenis hybrid yang diatur PMK No. 12 Tahun 2025; hingga PPh Pasal 26 DTP SBN Valas.

Pada tahun 2024, menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pemerintah membelanjakan total Rp8,3 triliun untuk PPh-DTP. Jumlah tersebut turun dari Rp8,6 triliun pada tahun sebelumnya.

Belanja PPN-DTP 2024 tercatat Rp667 miliar, sementara belanja pemerintah untuk PPnBM mencapai Rp138 miliar. Rincian pengeluaran pemerintah tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Bansos dan Subsidi Khusus

Secara umum, program bantuan sosial (bansos) reguler, seperti Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan non-tunai, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, ditargetkan untuk rumah tangga miskin/rentan, bukan kelas menengah. Namun pada kenyataannya, data Susenas menunjukkan bahwa tidak sedikit rumah tangga kelas menengah dan menuju kelas menengah yang memanfaatkannya.

Tabel di bawah ini menunjukkan jutaan kelas menengah dan menuju kelas menengah masih menikmati program Kartu Keluarga Sejahtera, Program Keluarga Harapan, bantuan pangan non-tunai, hingga BLT Desa. Bahkan tampak bahwa penerima manfaat bansos pemerintah yang terbesar adalah kelompok menuju kelas menengah. Porsi mereka selalu mendominasi dalam setiap jenis program bansos.

Sejak 2022, pemerintah melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 10 Tahun 2022, meluncurkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebagai respons kenaikan harga BBM. Bantuan sebesar Rp600 ribu sekali dibayarkan ini diberikan kepada sekitar 16 juta pekerja berpenghasilan di bawah Rp3,5 juta/bulan. Banyak pekerja kelas menengah-bawah, terutama di sektor formal mendapatkan manfaat BSU untuk membantu biaya hidup di tengah inflasi.

Pemerintah memperbarui pemberian BSU melalui Permenaker No. 5 Tahun 2025. Regulasi baru itu menambah beberapa syarat pekerja penerima BSU, termasuk harus tercatat sebagai peserta aktif program jaminan sosial ketenagakerjaan BPJS Ketenagakerjaan sampai dengan bulan April 2025; diprioritaskan bagi pekerja/buruh yang belum menerima PKH pada periode sebelum penyaluran BSU dilakukan; serta, bukan merupakan Aparatur Sipil Negara, atau prajurit Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pemberian BSU juga diubah menjadi Rp300.000 per bulan untuk dua bulan yang dibayarkan sekaligus.

Ada pula Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yakni jaminan sosial berupa uang tunai, informasi pasar kerja, dan pelatihan untuk pekerja atau buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). JKP diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2025.

Program JKP ditujukan bagi peserta BPJS yang memiliki masa iuran minimal 12 bulan dalam 24 bulan terakhir dan membayar iuran selama 6 bulan berturut-turut sebelum terjadi PHK. Uang tunai diberikan kepada peserta JKP sebesar 45% dari upah sebelumnya untuk 3 bulan pertama dan 25% untuk 3 bulan selanjutnya.

Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi bunga untuk debitur KPR bersubsidi (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, FLPP). Tak ketinggalan, ada subsidi kuota internet bagi pelajar/guru saat pandemi, yang sebagian dinikmati kalangan menengah.

Di sektor pendidikan, tersedia beasiswa seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Meski sasarannya beragam, keluarga kelas menengah yang memenuhi kriteria dapat terbantu meringankan beban biaya pendidikan tinggi anaknya.

Merawat Kelas Menengah

Selama periode 2022–2025, tampak bahwa pemerintah telah berusaha untuk memperhatikan kebutuhan kelas menengah yang berperan sebagai penggerak ekonomi Indonesia melalui konsumsi domestik. Kontribusi kelas menengah terhadap perekonomian nasional sungguh besar, karena belanja kelompok ini menopang hampir separuh konsumsi rumah tangga nasional dan menjadi kunci pertumbuhan ekonomi sekitar 5% per tahun.

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menjaga daya beli kelas menengah, mulai dari subsidi energi ratusan triliun rupiah, beragam insentif pajak, kredit usaha rakyat berbunga rendah, hingga bantuan tunai bagi pekerja. Namun, kelas menengah masih merasakan tekanan berat akibat meningkatnya biaya hidup dan risiko ekonomi.

Ke depan, menjaga kelangsungan dan perluasan kelas menengah menjadi agenda penting. Kelompok ini adalah fondasi pasar domestik dan sumber tenaga profesional, sehingga kesejahteraannya berdampak luas.

Kebijakan yang inklusif perlu memastikan kelas menengah mendapat ruang untuk tumbuh. Ikhtiar itu, misalnya, dilakukan melalui penciptaan lapangan kerja berkualitas, stabilitas harga, keringanan beban finansial (pajak, bunga kredit), serta peningkatan jaminan sosial bagi yang rentan.

Semua inisiatif tersebut dapat membantu kelas menengah untuk terus berperan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi sekaligus menikmati kualitas hidup yang lebih baik. Dengan demikian, visi pemerintah untuk mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan bisa dicapai.

Related Articles

blog image

Para Penguasa Jalur Udara Indonesia

Pemerintah siapkan diskon tiket pesawat sepanjang Nataru untuk rute domestik, karena diyakini dapat memompa konsumsi rumah tangga dan daya beli.

Selengkapnya
blog image

Kinerja Ekspor Bersih Tertinggi Dalam Lima Tahun Terakhir

Ekonomi Indonesia tumbuh 5,04% pada triwulan III-2025, didorong lonjakan ekspor 9,91% dan stabilnya konsumsi rumah tangga serta investasi.

Selengkapnya
blog image

Tekanan dari Gula Impor

Harga gula yang terus merangkak naik, bocornya gula rafinasi, hingga kesejahteraan petani menjadi pekerjaan rumah besar di tengah ambisi swasembada.

Selengkapnya