Dana Siluman di Jalur Impor
30 September, 2025
Data impor periode 2014-2023 ungkap potensi trade misinvoicing dengan nilai total dana siluman yang beredar diperkirakan mencapai Rp10.080 triliun.
Keterangan foto: Ilustrasi berkas impor.
Ringkasan
• Potensi Dana Gelap Raksasa
NEXT Indonesia Center menemukan indikasi dana gelap sekitar Rp10.080 triliun dalam transaksi impor Indonesia selama 2014–2023 akibat manipulasi faktur perdagangan (trade misinvoicing).
• Penyebab Utama Kebocoran
Praktik over-invoicing dan under-invoicing menjadi modus utama pelaku usaha untuk menghindari pajak dan memindahkan keuntungan ke luar negeri.
• Dampak pada Keuangan Negara
Kebocoran besar ini berpotensi menggerus penerimaan pajak dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem fiskal, sehingga perlu penegakan hukum yang tegas dan transparan.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Aliran dana gelap (illicit financial flow, IFF) sudah lama menjadi momok dalam dunia perdagangan internasional, begitu pula dalam ekspor-impor komoditas antara Indonesia dengan negara-negara mitra dagang. Tindak kejahatan ini mesti diwaspadai karena berpotensi merugikan keuangan negara.
IFF merujuk pada uang yang dihasilkan, dipindahkan, atau digunakan secara tidak sah melintasi batas negara. IFF identik dengan perdagangan ilegal, penghindaran pajak (tax avoidance)1, penggelapan pajak (tax evasion)2, penyelundupan barang, juga penyembunyian dana hasil kejahatan supaya tidak terdeteksi, alias pencucian uang (money laundering).
1. Bentuk penghindaran pajak untuk mengurangi atau meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan celah ketentuan perpajakan suatu negara.
2. Penggelapan secara ilegal terhadap objek pajak yang dilakukan perorangan maupun korporasi.
Praktik ini sering kali bersembunyi di balik transaksi perdagangan atau investasi yang sah, sehingga sulit untuk dilacak dan diukur. Daya rusaknya terhadap perekonomian negara terbilang besar. Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) menjadikan IFF sebagai salah satu poin yang pada tahun 2030 harus bisa dikurangi secara signifikan.
Tujuan tersebut tertera pada Target 16.4 yang menyatakan: Pada tahun 2030, secara signifikan mengurangi aliran keuangan dan senjata ilegal, memperkuat pemulihan dan pengembalian aset yang dicuri, Menelusuri Aliran Dana Gelap dari Transaksi Impor dan memerangi semua bentuk kejahatan terorganisir. Pada bagian 16.4.1 diperinci dengan menegaskan upaya mengurangi besaran IFF, baik yang masuk maupun keluar dalam perdagangan antar-negara.
Global Financial Integrity (GFI), think tank berbasis di Washington DC yang fokus pada IFF, korupsi, perdagangan gelap, dan pencucian uang, menunjukkan bahwa IFF kerap terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu bentuk IFF yang kerap terjadi dalam ekspor dan impor komoditas adalah trade misinvoicing atau manipulasi faktur keuangan.
Trade misinvoicing adalah perbedaan pencatatan nilai ekspor–impor antara dua negara mitra dagang. Perbedaan ini terjadi ketika eksportir dan importir sengaja memalsukan harga pada faktur komoditas yang diperdagangkan. Kecurangan tersebut dapat terjadi melalui empat cara, yaitu under-invoicing dan over-invoicing ekspor, serta under-invoicing dan over-invoicing impor.
Under-invoicing ekspor berarti catatan nilai ekspor di negara asal barang lebih kecil daripada catatan impor barang tersebut di negara tujuan. Sedangkan under-invoicing impor menunjukkan catatan nilai impor di negara tujuan lebih kecil daripada nilai ekspor yang dicatat negara asal.
Over-invoicing ekspor berarti catatan nilai ekspor di negara asal lebih besar ketimbang catatan nilai impor komoditas yang sama di negara tujuan. Sementara over-invoicing impor menunjukkan catatan nilai impor di negara tujuan lebih besar ketimbang catatan nilai ekspor di negara asal. Penjelasan ringkasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
GFI memperkirakan nilai tahunan IFF terkait perdagangan masuk dan keluar negara berkembang rata-rata sekitar 20% dari nilai total perdagangannya dengan negara ekonomi maju. Dengan demikian, berarti ratusan juta dolar potensi pajak menguap. Padahal, dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, serta mengurangi kemiskinan.
Pada publikasi ini, NEXT Indonesia Center menelusuri data impor Indonesia dari berbagai negara mitra pada periode 2014-2023 untuk mengetahui seberapa besar potensi terjadinya trade misinvoicing. Kami mengadopsi metode penghitungan yang digunakan oleh GFI.
Dalam menghitung trade misinvoicing, GFI menggunakan pendekatan Gross Excluding Reversals (GER). Pendekatan ini mengkalkulasi ketidaksesuaian antara laporan nilai ekspor sebuah negara dengan laporan nilai impor di negara-negara tujuan. Rumusnya dapat dilihat dalam boks di bawah ini:
Untuk menghitung potensi besaran misinvoicing impor ini, NEXT Indonesia Center menggunakan data United Nations (UN) Comtrade Database3 dengan klasifikasi Harmonized System (HS)44-digit pada periode 2014 hingga 2023.
3. UN Comtrade memuat statistik terperinci tentang impor dan ekspor barang yang dilaporkan oleh otoritas statistik dari hampir 200 negara atau wilayah. Basis data ini mencakup data perdagangan tahunan sejak 1962 sampai dengan tahun terbaru.
4. Sistem penamaan dan penomoran standar internasional yang digunakan untuk mengklasifikasikan barang-barang= yang diperdagangkan secara global, dikelola oleh Organisasi Kepabeanan Dunia (WCO).
Nilai Wow Misinvoicing Impor
Perdagangan internasional yang tercatat pada data bea cukai satu negara dan negara mitra idealnya seimbang bila dilihat dari dua sisi transaksi, eksportir maupun importir. Seimbang di sini bukan berarti nilai yang persis sama harus tertulis pada catatan keuangan eksportir dan importir.
Sedikit perbedaan memang akan terjadi karena nilai impor bisa jadi lebih tinggi dari ekspor karena statistik ekspor sering dicatat berdasarkan nilai FOB (Free On Board) yakni harga di pelabuhan ekspor tanpa ongkos kirim, asuransi, atau biaya setelah barang di atas kapal. Sementara statistik impor biasanya dicatat berdasarkan CIF (Cost, Insurance, Freight), yaitu biaya barang + ongkos kirim + asuransi. Jadi, meskipun berat barang yang sama, nilai impor bisa jauh lebih besar karena ditambah ongkos dan asuransi internasional.
Menurut Global Finance Integrity (GIF), nilai tambahan yang muncul pada proses ekspor-impor berkisar antara 10-20% dari harga komoditas yang diperdagangkan. Lebih dari itu, ada kemungkinan besar telah terjadi trade misinvoicing. Praktik ini bisa dipakai untuk berbagai tujuan ilegal atau arbitrase regulasi, dan berkonsekuensi pada hilangnya penerimaan negara serta aliran modal gelap.
Hasil penelusuran data UN Comtrade dan mengolahnya menggunakan rumus GER yang diperkenalkan GFI menunjukkan bahwa nilai trade misinvoicing impor Indonesia, baik under-invoicing maupun over-invoicing, terbilang cukup besar sepanjang 10 tahun terakhir. Total nilai over-invoicing pada impor periode 2014-2023 mencapai US$321,8 miliar, atau Rp4.505,2 triliun5. Mengindikasikan potensi larinya dana (capital flight) yang relatif besar keluar dari sistem finansial Indonesia.
5. Next Indonesia menggunakan nilai tukar berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia periode 2014-2023, yaitu US$1 = Rp14.000.
Sementara total nilai under-invoicing pada periode waktu yang sama tercatat lebih besar lagi, mencapai US$398,2 miliar, atau Rp5.574,8 triliun. Dengan demikian ada potensi kehilangan pungutan pajak yang lumayan jumbo nilainya.
Dengan demikian, potensi nilai trade misinvoicing dari aktivitas impor secara keseluruhan mencapai Rp10.080 triliun sepanjang periode 10 tahun tersebut. Jadi, setiap tahun ada rata-rata sekitar Rp1.000 triliun dana gelap yang mengalir (illicit financial flow) dalam sistem finansial Indonesia sepanjang periode tersebut.
Grafik di atas memperlihatkan, setelah sempat menurun pada periode 2019-2020, trade misinvoicing terus merangkak naik kembali mulai 2021 hingga 2023.
Selanjutnya, NEXT Indonesia Center menyisir data UN Comtrade tersebut untuk melihat pada perdagangan dengan negara mana saja misinvoicing impor terbesar tercatat. Hasilnya, potensi under-invoicing terbesar pada impor periode 2014-2023 terjadi dalam impor komoditas dari Singapura, disusul Tiongkok dan Hong Kong.
Nilai under-invoicing impor Indonesia dari Singapura selama 10 tahun itu mencapai US$139,3 miliar atau 34,98% dari total nilai under-invoicing impor yang tercatat US$398,2 miliar. Tiongkok menyusul di posisi kedua dengan US$96,3 miliar, lantas Hong Kong dengan US$15,4 miliar, Amerika Serikat (US$13,0 miliar), dan Malaysia (US$12,8 miliar).
Sementara over-invoicing impor yang pada periode tersebut bernilai total US$321,8 miliar, paling banyak tercatat dalam perdagangan dengan Tiongkok. Nilainya mencapai sekitar US$45,8 miliar, atau 14,24% dari nilai total.
Arab Saudi berada di posisi kedua dengan nilai over-invoicing mencapai US$36,9 miliar, disusul Amerika Serikat (US$18,2 miliar), Jepang (US$17,9 miliar), dan Uni Emirat Arab (US$16,1 miliar).
Dari dua tabel di atas tampak bahwa under-invoicing dan over-invoicing bernilai besar terjadi pada saat bersamaan dalam perdagangan dengan Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan Malaysia. Hal ini mungkin terjadi dalam invoicing komoditas berbeda yang diimpor Indonesia dari masing-masing negara tersebut. Misalnya, pada impor komoditas A terjadi over-invoicing sementara under-invoicing berlangsung dalam impor komoditas B.
Dana Siluman di Impor Bahan Bakar
Untuk melihat komoditas dengan selisih pencatatan faktur atau misinvoicing, NEXT Indonesia Center memaparkan masing-masing 10 komoditas dengan nilai over-invoicing dan under-invoicing terbesar sepanjang 2014-2023. Hasilnya diuraikan dalam tabel di bawah.
Komoditas berkode HS 27, yakni bahan bakar mineral dan produk penyulingannya, tampak menyumbang over-invoicing terbesar pada 10 tahun terakhir. Minyak mentah (HS 2709) menempati posisi teratas, disusul minyak olahan (HS 2710), dan gas petroleum (2711). Total nilai over-invoicing ketiga komoditas itu mencapai US$73,4 miliar, atau 22,81% dari US$321,8 miliar over-invoicing impor yang terdeteksi.
Impor minyak mentah dan minyak olahan dari Arab Saudi ke Indonesia menempati peringkat teratas over-invoicing. Angkanya pada impor minyak mentah ke Indonesia mencapai US$23,8 miliar, sementara pada impor minyak olahan tercatat US$5,3 miliar dolar.
Untuk gas petroleum, over-invoicing terbesar terjadi dalam impor dari Uni Emirat Arab. Nilainya mencapai US$8,5 miliar pada periode 2014-2023 tersebut. Over-invoicing impor komoditas serupa dari Arab Saudi ada di posisi kedua dengan nilai US$3,2 miliar.
Sementara, berdasarkan data UN Comtrade, impor besi/baja murni setengah jadi dari Oman periode 2013-2024 mencatatkan nilai over-invoicing terbesar yaitu US$3,4 miliar. Menyusul di posisi kedua adalah impor dari Rusia dengan nilai over-invoicing US$3,2 miliar, lalu Tiongkok dengan nilai US$2,9 miliar.
Komoditas terakhir dalam lima besar over-invoicing impor adalah beragam jenis telepon dan ponsel pintar (smartphone). Nilai over-invoicing tertinggi komoditas HS 8517 ini tercatat dalam impor dari Tiongkok, dengan nilai US$4 miliar.
Under-Invoicing Impor Ponsel Paling Besar
Beralih ke under-invoicing impor, nilai tertinggi tercatat dalam perdagangan komoditas HS 8517, yaitu produk telepon, termasuk smartphone. Nilai under-invoicing pada periode 2014-2023 mencapai US$21,9 miliar atau Rp306,6 triliun. Berarti, impor komoditas ini mencatatkan kedua jenis trade misinvoicing (over dan under) pada periode yang sama.
Hal ini mungkin terjadi karena misinvoicing bukan sifat tetap pada seluruh perdagangan sebuah komoditas, melainkan hasil akumulasi banyak transaksi berbeda antar-mitra dagang untuk komoditas tersebut. Bisa saja dalam transaksi sebuah komoditas dengan negara A si importir dari Indonesia melakukan over-invoicing, sementara ketika mengimpor komoditas yang sama dari negara B si importir malah melakukan under-invoicing.
Pilihan modus yang dilakukan importir dapat menunjukkan apakah dia ingin melakukan capital flight ke negara tertentu melalui over-invoicing impor atau menghindari bea dan pajak dengan cara under-invoicing impor.
Selain HS 8517, komoditas lain yang juga mencatatkan over- dan under-invoicing besar adalah minyak olahan (HS 2710). Potensi under-invoicing produk ini mencapai US$11,5 miliar dan menempati peringkat ketiga seperti tampak pada tabel di bawah ini.
Impor komoditas HS 8802—pesawat terbang, helikopter, pesawat ruang angkasa, satelit, dan peluncur pesawat ruang angkasa—ada di posisi kedua under-invoicing terbesar. Nilainya tercatat US$14,1 miliar sepanjang 10 tahun tersebut.
Sirkuit elektronik terpadu (HS 8542) dan emas setengah jadi (HS 7108) melengkapi posisi lima besar under-invoicing impor dengan nilai masing-masing US$10,4 miliar dan US$8,2 miliar.
Pengetahuan akan under-invoicing impor ini menjadi penting untuk dapat menghitung seberapa besar potensi pajak yang hilang. Ambil contoh HS 8517. Bila menggunakan peraturan yang berlaku saat ini, impor telepon dan smartphone dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 masing-masing sebesar 11% dan 10% dari nilai impor. Dengan demikian, potensi pajak yang hilang dari komoditas ini dalam 10 tahun mencapai US$4,6 miliar atau Rp64,4 triliun pada kurs rata-rata US$1 = Rp14.000.
Sementara dari minyak olahan, yang impornya hanya dikenai PPN, ada potensi penerimaan negara yang hilang sebesar US$1,3 miliar, atau sekitar Rp18 triliun, sepanjang periode penelitian.
Dari dua komoditas itu saja sudah lebih dari Rp80 triliun potensi penerimaan pajak yang hilang. Lebih besar dari Rp60 triliun yang tengah coba ditagih oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dari para penunggak pajak di dalam negeri.
Waspadai Impor dari Singapura dan Hong Kong
Penelusuran terhadap data perdagangan lima komoditas dengan under-invoicing tertinggi, NEXT Indonesia Center menemukan bahwa impor dari Singapura dan Hong Kong harus diwaspadai dan mendapatkan perhatian khusus. Nilai impor dari kedua negara ini menempati dua peringkat teratas potensi under-invoicing tertinggi pada komoditas kode HS 8517, 8542, dan 7108 sepanjang periode 2014-2023.
Untuk HS 8517 (telepon dan smartphone), nilai under-invoicing impor dari Singapura pada periode 2014-2023 mencapai US$15,8 miliar, atau 72,1% dari total under- invoicing komoditas ini yang tercatat US$21,9 miliar. Tiga kali lebih besar dibandingkan impor komoditas serupa dari Hong Kong yang berada di posisi kedua dengan nilai under- invoicing US$4,7 miliar.
Pada impor produk berupa sirkuit elektronik terpadu (HS 8542), 79,81% dari total under-invoicing selama 10 tahun terakhir terjadi dalam perdagangan dengan Singapura. Besarannya mencapai US$8,3 miliar, 10 kali lebih besar dari nilai under- invoicing impor dari Hong Kong yang tercatat US$872 juta.
Kemudian, untuk komoditas HS 7108 (emas setengah jadi atau bubuk) nilai under-invoicing impor dari Singapura periode 2014-2023 mencapai US$6,4 miliar, sekitar 78,05% dari total under-invoicing produk ini yaitu US$8,2 miliar. Lagi-lagi catatan under-invoicing dengan Hong Kong ada di posisi kedua, yakni US$1,4 miliar.
Tanggulangi Aliran Dana Gelap, Selamatkan Uang Negara
Trade misinvoicing impor berpotensi langsung merusak penerimaan negara. Ketika nilai impor dilaporkan lebih rendah dari nilai sebenarnya, pungutan seperti bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, dan Pajak Penghasilan (PPh) yang semestinya dipungut menjadi berkurang atau hilang. Akibatnya pos-pos fiskal yang bergantung pada perdagangan akan menyusut, mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk belanja publik penting seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Dampak dari aliran dana gelap juga melampaui sekadar kehilangan pajak, karena misinvoicing impor memudahkan capital flight dan pencucian uang. Dengan memanipulasi faktur, pelaku dapat memindahkan devisa keluar negeri atau menyamarkan asal dana gelap melalui jaringan perdagangan yang tampak sah. Aliran modal ilegal semacam ini melemahkan cadangan devisa, memperberat tekanan terhadap nilai tukar, dan mengurangi efektivitas kebijakan moneter dan stabilitas makroekonomi.
Selanjutnya, praktik itu merusak persaingan usaha dan menggerus iklim investasi yang sehat. Importir yang bermain curang memperoleh keuntungan kompetitif tidak wajar karena mereka membayar lebih sedikit beban fiskal dibanding pelaku bisnis yang taat. Hal ini mendorong distorsi pasar. Perusahaan jujur kalah bersaing, investasi produktif terhambat, dan insentif untuk kepatuhan menurun. Semua hal tersebut bisa memperlambat produktivitas dan pertumbuhan jangka panjang.
Risiko hukum dan reputasi juga besar. Negara yang menjadi jalur transaksi bermasalah menghadapi potensi sengketa internasional, penyelidikan anti-pencucian, dan kerugian reputasi di mata mitra dagang dan investor asing. Selain itu, keterlibatan jaringan kriminal transnasional dalam misinvoicing meningkatkan beban penegakan hukum dan biaya sosial, karena pemerintah harus mengalokasikan sumber daya besar untuk investigasi, penindakan, dan pemulihan aset.
Mencegah dan menanggulangi misinvoicing impor bukan sekadar soal penagihan pajak, ini soal menjaga kedaulatan fiskal dan integritas ekonomi. Solusinya memerlukan kombinasi penguatan kapasitas bea cukai dan otoritas pajak, digitalisasi pabean, pertukaran informasi internasional, audit berbasis risiko, serta kerja sama lintas-lembaga dan antarnegara.
Tanpa tindakan sistematis dan berkelanjutan, kebocoran penerimaan dan dampak ekonomi negatif akibat misinvoicing impor akan terus menggerogoti kemampuan negara untuk membiayai pembangunan. Jangan berhenti berburu aliran dana gelap yang membonceng dalam transaksi perdagangan internasional.