Indikator Daya Beli Masyarakat Menurun
23 Maret, 2025
Sejumlah indikator ekonomi yang berkembang saat ini memperlihatkan kemampuan belanja masyarakat sedang tidak baik-baik saja.

Keterangan foto: Ilustrasi Low Battery
NEXT Indonesia - Sejumlah indikator ekonomi yang berkembang saat ini memperlihatkan kemampuan belanja masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Satu di antara indikator penting adalah terjadinya deflasi alias penurunan harga pada Februari 2025, yang secara tahunan merupakan yang terburuk lebih dari dua dekade terakhir.
MOST POPULAR
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik, pada Februari 2025, perubahan harga justru bergerak ke bawah alias deflasi atau terjadi penurunan harga yang secara tahunan sekitar 0,1 persen. “Ini merupakan pergerakan harga yang terendah secara tahunan sejak Januari 2000 yang saat itu terjadi deflasi 1,1 persen,” papar Christiantoko, Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center di Jakarta, Minggu (23/03/2025).
Dia mengungkapkan bahwa NEXT Indonesia telah mengidentifikasi sejumlah indikator ekonomi yang menjadi isyarat daya beli masyarakat sedang melemah. Penurunan harga yang terjadi pada Februari tersebut seiring dengan menurunnya indeks keyakinan konsumen pada Februari 2025, seperti dilaporkan Bank Indonesia (BI).
Hasil survei BI mengungkapkan, penurunan keyakinan konsumen tersebut, antara lain dipicu oleh persepsi masyarakat bahwa ketersediaan lapangan kerja dalam kondisi yang sulit. “Anggapan itu membuat keyakinan konsumen terhadap penghasilannya ikut melemah,” tutur Christiantoko.
Menurunnya keyakinan konsumen terhadap penghasilannya tersebut membuat mereka berusaha menahan belanja. “Jadi jangan heran kalau para pedagang di Tanah Abang pun mulai banyak yang mengeluh sepinya pembeli,” katanya.
Barang-barang yang penjualannya mengalami penyusutan pada Januari 2025 jika dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya, seperti terungkap dari survei penjualan eceran BI, antara lain produk pakaian, bahan bakar kendaraan, serta peralatan informasi dan komunikasi.
BI memperkirakan indeks penjualan riil mengalami kontraksi alias menyusut 0,5 persen secara tahunan pada Februari. Momentum Ramadan dan persiapan Idul Fitri diharapkan bisa mendorong peningkatan konsumsi masyarakat, terutama belanja sandang dan bahan bakar kendaraan bermotor.
Melihat perkembangan tersebut, Christiantoko menegaskan sulitnya pemerintah membantah bahwa kondisi daya beli masyarakat sedang menurun. Bahkan masyarakat sendiri tidak begitu yakin dengan penghasilannya, seperti tergambar dari survei keyakinan konsumen Bank Indonesia.
Peringatan tegas juga sudah diperlihatkan melalui penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini jenis pajak yang dibebankan kepada konsumen pada setiap pembelian barang dan/atau jasa.
Menurut data kinerja sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipublikasikan pemerintah, penerimaan PPN pada Januari 2025 merupakan yang terendah dalam 12 tahun terakhir. Pemerintah hanya menerima sekitar Rp24,6 triliun, terendah sejak Januari 2014.
“Jadi kalau dilihat penerimaan PPN per Januari setiap tahun, tahun 2025 ini yang terburuk. Jenis pajak tersebut merupakan gambaran yang memberikan sinyal menurunnya daya beli masyarakat,” ungkap Christiantoko.
Dia menyarankan, ketimbang pemerintah sibuk berdalih misalnya dengan mengatakan kondisi ekonomi masyarakat baik-baik saja, lebih pantas bagi pemerintah untuk segera mencari solusi sebelum kondisinya justru makin buruk. Apalagi di tengah pengumuman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belum ada jeda.
Sinyal penurunan daya beli masyarakat yang tampak nyata tersebut, Christiantoko menegaskan, jangan dianggap remeh. Bukan apa-apa, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian nasional atau Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini mencapai 54 persen. Jadi kalau kondisi keuangan masyarakat memburuk, perekonomian nasional akan terkena getahnya.
Apalagi, lanjutnya, pelemahan daya beli ini juga dialami oleh kelas menengah. Indikasinya bisa dilihat dari penjualan kendaraan bermotor yang pada Januari-Februari 2025 menyusut hingga 10 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. “Itu penjualan di tingkat ritel, dari diler ke konsumen langsung. Sementara dari pabrik ke diler, penurunannya sekitar 4,5 persen,” katanya.
Dalam pandangan Christiantoko, pemerintah sebaiknya menyiapkan mitigasi, khususnya untuk menghadapi kondisi setelah lebaran. Misalnya, dengan menjaga stabilitas harga jangan sampai ada kenaikan. Hal ini, antara lain bisa dilakukan dengan menciptakan alur logistik yang lancar serta menjamin tidak adanya pungutan-pungutan yang berpotensi memberikan dampak pada kenaikan harga barang maupun jasa.
“Jangan sampai lupa juga penyaluran bansos yang memang sudah dianggarkan. Program ini penting untuk menjadi stimulus konsumsi rumah tangga,” tegasnya.