Dana Gelap Mengintai Ponsel Pintar
25 Oktober, 2025
Produk ponsel impor membanjiri pasar Indonesia, disertai dugaan aliran dana gelap dalam perdagangan dengan Tiongkok, Singapura, dan Hong Kong.
Keterangan foto: Ilustrasi ponsel sedang di charger
Ringkasan
• Selisih Pencatatan Dagang Tanda Dana Gelap
Perbedaan besar antara data ekspor-impor Indonesia dan mitra dagang menunjukkan indikasi trade misinvoicing, atau manipulasi faktur perdagangan, yang berpotensi menyebabkan kebocoran penerimaan negara.
• Nilai Potensi Dana Gelap Sangat Besar
NEXT Indonesia Center menemukan potensi misinvoicing ekspor-impor Indonesia periode 2014–2023 mencapai lebih dari US$1,3 triliun, terutama di sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
• Komoditas Ponsel Paling Rawan Manipulasi
Komoditas ponsel dan perangkat TIK mencatat selisih mencolok, terutama pada perdagangan dengan Tiongkok, Singapura, dan Hong Kong, yang menunjukkan potensi dana gelap hingga puluhan miliar dolar AS.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Catatan perdagangan ekspor dan impor untuk komoditas yang sama idealnya seimbang antara yang dicatat negara asal dengan negara mitra. Memang tak harus sama persis, tapi selisihnya dalam rentang normal, yakni di kisaran tambahan harga pengangkutan dan asuransi barang yang ditransaksikan.
Terjadinya selisih pencatatan dalam ekspor dan impor, karena statistik ekspor sering dicatat berdasarkan nilai FOB (Free On Board) alias harga di pelabuhan ekspor tanpa ongkos kirim, asuransi, atau biaya setelah barang di atas kapal. Sementara statistik impor biasanya dicatat berdasarkan CIF (Cost, Insurance, Freight), yaitu biaya barang + ongkos kirim + asuransi. Jadi, nilai impor memang bisa jauh lebih besar ketimbang ekspor.
Karena itu, perbedaan pencatatan boleh dikata lumrah terjadi. Namun jika terlalu timpang, mungkin ada masalah.
Global Finance Integrity (GIF) -think tank berbasis di Amerika Serikat yang fokus pada studi aliran keuangan gelap (illicit financial flow, IFF)- punya ukuran. Menurut lembaga tersebut, nilai impor lazimnya lebih besar di kisaran 10-20% dari nilai yang dicatat negara pengekspor.
Lebih dari itu, kemungkinan besar telah terjadi trade misinvoicing atau manipulasi faktur perdagangan. Praktik ini bisa dipakai untuk berbagai tujuan ilegal atau arbitrase regulasi, dan berakibat pada hilangnya penerimaan negara lantaran adanya aliran dana gelap.
NEXT Indonesia Center menemukan nilai trade misinvoicing ekspor dan impor Indonesia, baik dalam bentuk under-invoicing maupun over-invoicing sepanjang periode 2014-2023. Penelusuran itu dilakukan dengan mengolah data UN Comtrade, repositori statistik perdagangan internasional resmi yang diampu Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Rumus perhitungannya menggunakan Gross Excluding Reversals (GER) yang dikembangkan GFI.
Dari kajian sebelumnya itu, total nilai misinvoicing impor tercatat mencapai US$720 miliar atau sekitar Rp10.080 triliun1, sepanjang periode 10 tahun tersebut. Sementara misinvoicing ekspor pada periode yang sama tercatat US$655 miliar atau Rp917 triliun.
1. Next Indonesia Center menggunakan nilai tukar berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia periode 2014-2023, yaitu US$1 = Rp14.000.
Komoditas yang mencatatkan nilai misinvoicing besar, antara lain teknologi informasi dan komunikasi (TIK), termasuk telepon seluler (ponsel) dan telepon pintar (smartphone). Produk ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari karena ragam pemanfaatannya—mulai dari sekadar menelepon, pekerjaan, hiburan, hingga finansial.
Hingga 2024, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan ada 178 juta orang Indonesia menggunakan ponsel, atau 63,66% dari total populasi 279 juta jiwa.
NEXT Indonesia Center menelusuri data ekspor dan impor komoditas TIK antara Indonesia dengan negara-negara mitra sepanjang periode 2020- 2024 untuk menelisik kemungkinan terjadinya trade misinvoicing. Baik dari soal besaran nilai perdagangan hingga negara-negara mitranya.
Saat ini, Indonesia memang belum tercatat dalam daftar negara raksasa di bidang teknologi. Jadi tak heran bila Indonesia lebih banyak mengimpor komoditas tersebut ketimbang mengekspornya.
Dalam lima tahun terakhir (2020-2024) misalnya, neraca perdagangan TIK Indonesia selalu defisit: impor lebih besar ketimbang ekspor.
Pada periode 2020-2024, total impor mencapai US$67,4 miliar. Lebih dari dua kali lipat nilai ekspor yang hanya US$31,6 miliar. Dengan demikian, defisit neraca perdagangan TIK sepanjang lima tahun tersebut tercatat US$35,8 miliar.
Komoditas berkode HS 8517 menempati peringkat teratas dalam daftar ekspor produk TIK Indonesia ke luar negeri pada periode 2020-2024. Kode HS ini meliputi telepon seluler (ponsel) yang semakin banyak digunakan oleh warga. Apalagi, pandemi COVID-19 yang sempat membatasi kontak langsung antar-manusia membuat pembayaran digital populer digunakan dan ponsel pintar menjadi alat perantaranya.
Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 menunjukkan 63,66% dari 279 juta warga Indonesia memiliki ponsel, atau sekitar 178 juta orang. Pasar yang besar itu membuat Indonesia menjadi sasaran produsen ponsel dari berbagai negara. Hingga akhirnya pemerintah memberlakukan syarat Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) bagi yang ingin jualan di Indonesia. Tujuannya agar Indonesia tidak sekadar jadi pasar, tetapi juga bisa memproduksi.
Aturan TKDN untuk perangkat 4G mula-mula dipatok minimal 30% melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No.27/2015, yang berlaku sejak 1 Januari 2017. Selanjutnya, kewajiban TKDN ponsel ditingkatkan menjadi 35% untuk perangkat 4G dan 5G melalui Permenkominfo No. 13/2021 yang berlaku sejak 12 Oktober 2021 hingga saat ini.
Sejumlah perusahaan teknologi merespons aturan TKDN ini dengan membangun pabrik di Indonesia, seperti Samsung, Vivo, dan Oppo. Ada juga yang bermitra dengan perusahaan lokal dalam memproduksi ponsel, seperti Xiaomi dengan PT Sat Nusapersada Tbk, PT Erajaya Swasembada Tbk dan TSM Technologies di Batam, Kepulauan Riau.
Raksasa teknologi Amerika Serikat, Apple, yang sempat dilarang menjual produk iPhone karena soal TKDN, bisa kembali berjualan setelah menanam investasi sebesar US$1 miliar. Dana itu digunakan untuk membangun pabrik AirTag di Batam, Kepulauan Riau.
Semua itu membuat produksi ponsel di Indonesia meningkat, sehingga terjadi pertumbuhan ekspor ponsel buatan Indonesia ke mancanegara. Pada periode 2020-2024 nilai ekspor komoditas ponsel Indonesia mencapai US$9,5 miliar.
Tetapi tentu saja produksi TIK lokal belum mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri. Masih banyak barang berteknologi canggih ini yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Oleh karena itulah Indonesia masih mencatatkan nilai tinggi untuk impor ponsel (HS 8517), yakni mencapai US$31,7 miliar selama lima tahun terakhir.
Jadi masih ada gap yang besar antara nilai ekspor dan impor untuk komoditas yang sama.
Ekspor ke Amerika, Impor dari Tiongkok
Amerika Serikat merupakan tujuan utama ekspor produk ponsel buatan Indonesia. Selama periode 2020-2024, nilainya mencapai US$4,3 miliar, atau 45,26% dari total ekspor yang tercatat US$9,5 miliar sepanjang lima tahun tersebut.
Singapura ada di posisi kedua dengan nilai ekspor US$977 juta. Malaysia, Uni Emirat Arab, dan Hong Kong melengkapi posisi lima besar tujuan ekspor komoditas HS 8517 Indonesia.
Sementara impor ponsel terbanyak datang dari Tiongkok. Selama lima tahun terakhir, nilai impor ini terus naik dan mencapai total US$22,5 miliar. Angka tersebut mencakup sekitar 71% dari total impor ponsel Indonesia yang tercatat US$31,7 miliar.
Data UN Comtrade pada tabel di bawah menunjukkan nilai impor ponsel dari Tiongkok terus tumbuh positif setiap tahun. Impor dari Singapura ada di posisi kedua dengan US$1,3 miliar, lalu Hong Kong, Vietnam, dan Korea Selatan masuk dalam lima besar.
Melacak Potensi Trade Misinvoicing
A. Misinvoicing Ekspor
Penelusuran data dengan enam kode HS pada UN Comtrade yang dilakukan oleh NEXT Indonesia Center menemukan bahwa ekspor produk teknologi informasi dan komputer (TIK) pada periode 2015-2024 berjalan relatif normal. Hampir tidak ada aroma trade misinvoicing yang terjadi pada perdagangan dengan lima negara mitra terbesar.
Satu-satunya anomali terjadi pada ekspor produk berkode HS 851762, yang di dalamnya termasuk serat optik. Negara tujuannya adalah Singapura.
Sepanjang satu dekade terakhir, ada potensi under-invoicing senilai US$2,1 miliar atau sekitar US$209 juta per tahun. Otoritas Indonesia mencatat nilai ekspor ke Singapura senilai US$663 juta. Sebaliknya, Singapura membukukan impor dari Indonesia yang termasuk dalam kelompok komoditas mesin untuk penerimaan, konversi, dan transmisi atau regenerasi suara, gambar, atau data lainnya, termasuk peralatan pengalihan dan perutean tersebut, senilai US$2,8 miliar.
Selisih US$2,1 miliar pada perdagangan produk tersebut jauh lebih besar dari maksimal 20% bila dicatat berdasarkan CIF (Cost, Insurance, Freight), yaitu biaya barang + ongkos kirim + asuransi. Sehingga, sangat besar kemungkinan telah terjadi under-invoicing pada ekspor komoditas HS 851762 dari Indonesia ke Singapura.
B. Misinvoicing Impor
Berbeda dari data ekspor, potensi trade misinvoicing yang besar terlihat pada data impor produk TIK Indonesia dari negara-negara mitra terbesar.
Banyak kejanggalan data yang terlihat, terutama pada catatan impor dari Tiongkok, Singapura, dan Hong Kong.
Data pada tabel di atas menunjukkan potensi over-invoicing yang besar pada impor produk telepon seluler dan komponen-komponen penyusunnya dari Tiongkok. Dari impor tiga komoditas dengan nilai tertinggi (HS 851770, 851779, dan 851713) nilai over-invoicing pada periode 2015-2024 mencapai US$12,2 miliar. Berarti ada potensi dana gelap sebesar itu yang masuk ke perbankan Indonesia melalui impor produk tersebut.
Under-invoicing impor dari Tiongkok tampak terjadi pada produk berkode HS 851712, yaitu telepon seluler (ponsel) biasa. Selama 10 tahun impor komoditas tersebut, Indonesia berpotensi kehilangan penerimaan negara akibat ada misinvoicing senilai US$4,2 miliar.
Sementara, pada impor ponsel dan turunannya dari Singapura, data UN Comtrade menunjukkan besarnya potensi misinvoicing. Sebanyak 6 dari 8 komoditas TIK berkode HS enam digit dengan nilai impor tertinggi menunjukkan potensi terjadinya under-invoicing yang tinggi. Artinya, dalam 10 tahun terakhir banyak potensi penerimaan pajak negara yang hilang.
Satu hal yang menarik untuk dicermati dari data impor TIK asal Singapura ini adalah ponsel pintar (HS 851713). Singapura mencatatkan ekspor sebesar total US$5,1 miliar pada periode 2015-2024, tetapi dalam catatan otoritas Indonesia, nilainya hanya US$22 juta.
Selisih catatan tambun itu mencapai US$5,08 miliar. Ada potensi pajak besar yang menguap dalam periode 10 tahun tersebut. Kedekatan geografis Singapura dengan Indonesia memang membuka peluang masuknya barang-barang “gelap”, atau untuk produk ponsel pintar lebih dikenal dengan sebutan barang “BM” (black market).
Hal serupa terjadi pada impor TIK dari Hong Kong. Data di bawah menunjukkan under-invoicing terjadi nyaris di seluruh bagian komoditas TIK yang diimpor pada 10 tahun terakhir.
Dari empat komoditas impor utama (HS 851770, 851779, 851712, dan 851762), terjadi under-invoicing sebesar US$4,6 miliar pada periode penelitian. Sementara catatan impor TIK dari Vietnam dan Korea Selatan tidak menunjukkan adanya potensi trade-misinvoicing.