Sektor-sektor yang Paling Tepat Terima Kucuran 200 Triliun
15 September, 2025
Delapan sektor usaha, termasuk pertanian dan transportasi, dinilai mampu maksimalkan stimulus Rp200 triliun dengan efek pengganda ekonomi signifikan.

Keterangan foto: Ilustrasi tumpukan uang.
Ringkasan
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Pemerintah telah menggelontorkan likuiditas ke sistem perbankan senilai Rp200 triliun dengan tujuan mendongkrak kinerja perekonomian nasional. NEXT Indonesia Center menelusuri sektor-sektor yang dapat memberikan efek pengganda besar bagi perekonomian agar target tersebut dapat tercapai.
Seperti dijelaskan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, dana Rp200 triliun yang ditempatkan di bank milik pemerintah ditujukan untuk disalurkan ke sektor usaha. Melalui kebijakan itu, dia mengharapkan agar perekonomian bergerak makin kencang.
“Kalau sektor usaha yang disalurkan kredit tidak tepat, tidak akan mampu memberikan daya ungkit terhadap perekonomian,” ungkap Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, Christiantoko, di Jakarta, Senin (15/9/2025).
Lebih lanjut Christiantoko mengungkapkan, NEXT Indonesia Center telah melakukan simulasi sederhana terhadap sektor usaha yang berpotensi memberikan efek pengganda terhadap pertumbuhan ekonomi tinggi seandainya disalurkan kredit. Rentang waktu yang digunakan adalah 2014-2024 atau dalam 10 tahun, karena tahun 2020 dikeluarkan lantaran dianggap anomali saat krisis Covid-19. Simulasi ini menganggap variabel lainnya tidak mengalami perubahan, kecuali kucuran kredit.
Dari 17 sektor usaha yang mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), yang kemudian disesuaikan dengan kategori kredit sektoral Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terdapat delapan sektor yang memiliki muliplier atau efek pengganda kredit terhadap pertumbuhan ekonomi atau produk Domestik Bruto (PDB). Nilai efek pengganda itu, rata-rata lebih dari satu kali.
Secara rata-rata, kucuran kredit ke dunia usaha atau sektoral, mampu mengungkit perekonomian sekitar 1,44 kali. “Ini menandakan, jika penyaluran kredit disalurkan ke sektor yang tepat, maka berpotensi mengungkit PDB sektoral lebih dari satu kali,” ungkapnya.
Sebagai contoh, kata Christiantoko, dalam 10 tahun terakhir tersebut, industri pengolahan memiliki efek pengganda 1,69. Dengan tambahan stimulus kredit sebesar satu rupiah di sektor industri pengolahan, maka PDB sektor tersebut akan bertambah 1,69 rupiah, dengan asumsi cateris paribus atau faktor lainnya konstan alias tidak berubah.
Tujuh sektor lain yang memiliki daya ungkit kredit terhadap PDB lebih dari satu kali, yakni: pertanian, kehutanan, dan perikanan; perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor; penyediaan akomodasi makanan dan minuman; transportasi dan pergudangan, informasi dan komunikasi; jasa pendidikan; real estat; dan administrasi pemerintahan.
“Kucuran kredit di luar delapan sektor tersebut cenderung tidak mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi secara langsung. Bukan tidak penting, bisa jadi transmisi daya ungkitnya tidak secara langsung,” papar Christiantoko.
Pesan penting dari simulasi ini agar pemerintah mengawal penyaluran kredit. “Jangan berikan bank cek kosong, dalam arti boleh disalurkan ke mana saja. Sektor yang dikucurkan pinjaman harus jelas, dan pemerintah memastikan tepat sasaran,” tegasnya.
Perlu Paket Kebijakan Terintegrasi
Berkaitan dengan pemanfaatan dana stimulus Rp200 triliun dari SAL yang telah dipindahkan ke rekening di bank pemerintah, Christiantoko mengingatkan agar pemerintah menyiapkan paket kebijakan yang mampu memuluskan kenaikan permintaan (demand). Kebijakan tersebut tidak hanya dapat mengangkat permintaan kredit di dunia usaha, tetapi juga daya beli masyarakat.
“Paket kebijakan yang komprehensif ini penting, karena untuk mendukung kinerja perekonomian nasional, tidak dapat dikendalikan oleh Kementerian Keuangan sendiri,” katanya.
Apalagi, ujarnya, likuiditas di perbankan masih relatif longgar dengan loan to deposit rasio (LDR) masih di bawah 90%. Begitu pun dengan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) yang masih terjaga, yakni rata-rata di bawah 2,5%.
“Data rasio kredit bermasalah itu menunjukkan risiko penyaluran kredit masih terkelola dengan baik, sekaligus mengisyaratkan bahwa dunia usaha masih mampu membayar kewajiban kreditnya,” jelas Christiantoko.
Karena itu, lanjutnya, dunia usaha perlu didorong lagi untuk beraktivitas. Peluangnya sangat terbuka, mengingat indeks manufaktur Indonesia untuk periode Agustus 2025 yang dikeluarkan oleh S&P Global ada di posisi 51,5 atau sedang melakukan ekspansi. Begitu pun dengan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian, untuk periode yang sama indeksnya ada di posisi 53,55.
Dorongan untuk dunia usaha itu, bisa saja dalam bentuk kemudahan atau stimulus fiskal. “Tapi jangan lupa, kegiatan industri itu ada dalam kelolaan Kementerian Perindustrian. Di sinilah pentingnya paket kebijakan yang terintegrasi itu,” katanya.
Begitu pun dengan upaya untuk mendorong tingkat permintaan dari masyarakat sebagai konsumen akhir. Program-program stimulus yang dapat mendorong daya beli, harus tetap dijalankan agar ada insentif bagi dunia usaha untuk beraktivitas lebih.