Ribuan Triliun Potensi Pajak Menguap dari Misinvoicing Impor
30 September, 2025
Manipulasi faktur impor senilai Rp10.080 triliun terdeteksi, negara rugi pajak besar dari komoditas telepon pintar dan minyak olahan.

Keterangan foto: Ilustrasi pelabuhan ekspor impor.
NEXT Indonesia Center - Hasil riset NEXT Indonesia Center menemukan adanya dugaan praktik manipulasi faktur dari transaksi impor atau trade misinvoicing senilai US$720 miliar sepanjang periode 2014-2023. Nilai itu setara dengan Rp10.080 triliun, berdasarkan rata-rata kurs tengah Bank Indonesia sepanjang periode observasi yang mencapai Rp14.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
MOST POPULAR
Peneliti NEXT Indonesia Center Sandy Pramuji menjelaskan, trade misinvoicing adalah perbedaan pencatatan nilai ekspor-impor antara dua negara mitra dagang. Dalam kasus impor misalnya, kasus itu bisa terjadi melalui praktik under-invoicing (nilai impor dilaporkan lebih rendah dari catatan ekspor di negara asal produk) maupun over-invoicing (nilai impor dilaporkan lebih tinggi dari catatan ekspor di negara asal produk).
“Praktik trade misinvoicing dalam impor ini salah satu bentuk dari aliran dana haram (illicit financial flow, IFF), yang berpotensi menyebabkan hilangnya penerimaan pajak dalam jumlah sangat besar,” ujarnya di Jakarta, 30 September 2025.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, dari hasil data UN Comtrade periode 2014–2023, nilai misinvoicing impor Indonesia mencapai US$720 miliar atau setara dengan Rp10.080 triliun. Konversi tersebut menggunakan rata-rata kurs tengah Bank Indonesia sepanjang periode observasi, Rp14.000 per dolar AS.
Sandy menegaskan, misinvoicing impor, terutama under-invoicing, langsung menggerus potensi penerimaan negara dari bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh). Dari dua komoditas saja—telepon pintar (HS 8517) dan minyak olahan (HS 2710)—negara berpotensi kehilangan lebih dari Rp80 triliun pajak dalam satu dekade.
“Angka ini bahkan lebih besar daripada Rp60 triliun yang tengah coba ditagih pemerintah dari penunggak pajak dalam negeri,” kata Sandy.
Berdasarkan regulasi, PPN impor ditetapkan sebesar 11% dari nilai pabean sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024 yang mengatur tentang PPN atas barang kena pajak. Sedangkan PPh Pasal 22 untuk komoditas telepon dan smartphone (HS 8517) ditetapkan 10% berdasarkan PMK No. 41/2022 yang mengatur pembayaran atas pajak penyerahan barang impor.
Sementara sebagian besar komoditas minyak olahan (HS 2710) tidak termasuk objek PPh Pasal 22, sehingga hanya dikenakan PPN. Perhitungan ini menunjukkan potensi kehilangan pajak sebesar Rp64,4 triliun dari HS 8517 dan Rp17,7 triliun dari HS 2710 dalam kurun sepuluh tahun terakhir.
Hasil riset NEXT Indonesia Center menemukan adanya dugaan praktik manipulasi faktur dari transaksi impor atau trade misinvoicing senilai US$720 miliar sepanjang periode 2014-2023. Nilai itu setara dengan Rp10.080 triliun, berdasarkan rata-rata kurs tengah Bank Indonesia sepanjang periode observasi yang mencapai Rp14.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Peneliti NEXT Indonesia Center Sandy Pramuji menjelaskan, trade misinvoicing adalah perbedaan pencatatan nilai ekspor-impor antara dua negara mitra dagang. Dalam kasus impor misalnya, kasus itu bisa terjadi melalui praktik under-invoicing (nilai impor dilaporkan lebih rendah dari catatan ekspor di negara asal produk) maupun over-invoicing (nilai impor dilaporkan lebih tinggi dari catatan ekspor di negara asal produk).
“Praktik trade misinvoicing dalam impor ini salah satu bentuk dari aliran dana haram (illicit financial flow, IFF), yang berpotensi menyebabkan hilangnya penerimaan pajak dalam jumlah sangat besar,” ujarnya di Jakarta, 30 September 2025.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, dari hasil data UN Comtrade periode 2014–2023, nilai misinvoicing impor Indonesia mencapai US$720 miliar atau setara dengan Rp10.080 triliun. Konversi tersebut menggunakan rata-rata kurs tengah Bank Indonesia sepanjang periode observasi, Rp14.000 per dolar AS.
Sandy menegaskan, misinvoicing impor, terutama under-invoicing, langsung menggerus potensi penerimaan negara dari bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh). Dari dua komoditas saja—telepon pintar (HS 8517) dan minyak olahan (HS 2710)—negara berpotensi kehilangan lebih dari Rp80 triliun pajak dalam satu dekade.
“Angka ini bahkan lebih besar daripada Rp60 triliun yang tengah coba ditagih pemerintah dari penunggak pajak dalam negeri,” kata Sandy.
Berdasarkan regulasi, PPN impor ditetapkan sebesar 11% dari nilai pabean sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024 yang mengatur tentang PPN atas barang kena pajak. Sedangkan PPh Pasal 22 untuk komoditas telepon dan smartphone (HS 8517) ditetapkan 10% berdasarkan PMK No. 41/2022 yang mengatur pembayaran atas pajak penyerahan barang impor.
Sementara sebagian besar komoditas minyak olahan (HS 2710) tidak termasuk objek PPh Pasal 22, sehingga hanya dikenakan PPN. Perhitungan ini menunjukkan potensi kehilangan pajak sebesar Rp64,4 triliun dari HS 8517 dan Rp17,7 triliun dari HS 2710 dalam kurun sepuluh tahun terakhir.