Para Penguasa Jalur Udara Indonesia
07 November, 2025
Pemerintah siapkan diskon tiket pesawat sepanjang Nataru untuk rute domestik, karena diyakini dapat memompa konsumsi rumah tangga dan daya beli.
Keterangan foto: Ilustrasi papan catur dengan bidak pesawat.
Ringkasan
• Pemerintah Beri Diskon Tiket Pesawat untuk Nataru 2025-2026
Kementerian Perhubungan menurunkan harga tiket penerbangan domestik kelas ekonomi sebesar 13–14% untuk periode 22 Desember 2025–10 Januari 2026. Kebijakan ini bertujuan meringankan beban masyarakat saat libur Natal dan Tahun Baru sekaligus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan konsumsi rumah tangga.
• Diskon Dinikmati Kelas Menengah, Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Program diskon terutama dinikmati keluarga kelas menengah yang menjadi pengguna utama tiket ekonomi. Dengan biaya perjalanan yang lebih murah, minat bepergian meningkat dan diharapkan dapat mendorong konsumsi di sektor pariwisata dan perdagangan daerah, memperkuat efek domino terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
• Lion Air Dominasi Pasar, Pelita Air Paling Tepat Waktu
Lion Air Group masih menguasai 54% pangsa pasar penerbangan nasional dengan 222 juta penumpang selama 2015–2024. Sementara itu, Pelita Air menonjol dengan tingkat ketepatan waktu tertinggi selama tiga tahun berturut-turut (93,41%), menunjukkan persaingan layanan maskapai semakin ketat pasca-pandemi.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Harga tiket pesawat akan sedikit lebih murah saat terbang pada masa Natal dan Tahun Baru (Nataru) nanti. Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi, pada 21 Oktober 2025, mengumumkan bakal ada diskon tiket penerbangan domestik sebesar 13-14% untuk angkutan Natal 2025 dan tahun baru 2026.
Penurunan harga itu tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 50 Tahun 2025. Tiket yang mendapat diskon adalah tiket domestik kelas ekonomi untuk periode penerbangan 22 Desember 2025 hingga 10 Januari 2026, dengan periode pembelian 22 Oktober 2025 hingga 10 Januari 2026.
Langkah itu, menurut Menteri Dudy, merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam meringankan beban masyarakat yang ingin merayakan Natal dan tahun baru. Tentu dimaksudkan juga sebagai stimulus ekonomi untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi pada semester II-2025. Penurunan harga tiket pesawat dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat.
Penurunan tarif tiket pesawat tersebut merupakan hasil penyesuaian sejumlah komponen biaya, antara lain:
• Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 6%;
• Fuel surcharge (FS) pesawat jet sebesar 2%, FS propeller (baling- baling) sebesar 20%;
• Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara sebesar 50%;.
• Pelayanan Jasa Pendaratan, Penempatan, dan Penyimpanan Pesawat Udara sebesar 50%;
• Penurunan harga avtur pada 37 bandara; dan
• Layanan advance serta extend dan operating hours yang lebih panjang.
Bukan kali pertama pemerintah menggelontorkan insentif menjelang libur panjang. Selama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kebijakan ini pertama kali dilakukan sebelum memasuki libur panjang Natal 2024 dan Tahun Baru 2025. Saat itu, harga tiket pesawat penerbangan domestik dipangkas sekitar 10% selama 16 hari.
Kemudian, menjelang Hari Raya Idul Fitri 1446 H (Lebaran 2025), pemerintah kembali memberi diskon tiket pesawat antara 13-14%. Diskon tersebut menumbuhkan penumpang sebesar 0,56% menjadi 5.608.370 orang dari 5.576.737 orang pada periode Lebaran 2024.
Diskon tersebut diharapkan dapat menggoda masyarakat, sehingga makin banyak yang mempertimbangkan pesawat terbang sebagai pilihan utama transportasi. Pada publikasi ini, NEXT Indonesia Center akan memaparkan kelompok ekonomi yang menikmati diskon tersebut, serta beberapa data menarik seputar dunia penerbangan di Indonesia.
Transportasi Udara Bukan Lagi Simbol Status
Ada suatu masa harga tiket masih teramat mahal, sehingga bepergian menggunakan pesawat terbang menjadi simbol status ekonomi. Tapi saat ini, meski naik pesawat masih kerap dianggap eksklusif, namun sudah semakin banyak warga yang bisa menjangkau. Tak hanya warga kelas atas yang bisa naik pesawat.
Apalagi, selain Full Service Carrier (FSC)1 seperti Garuda Indonesia, sudah ada banyak pilihan Low-cost Carrier (LCC)2 dengan harga tiket lebih murah seperti Air Asia atau Pelita Air. Kehadiran maskapai bujet inilah yang membuat warga kelas menengah mendominasi daftar penumpang.
1. Maskapai Full-Service Carrier (FSC) adalah maskapai yang menawarkan berbagai layanan lengkap kepada penumpangnya, dan membedakan diri dari Low-Cost Carrier (LCC) melalui model operasional serta pengalaman pelanggan yang disediakan.
2. Low-Cost Carrier (LCC) adalah jenis maskapai penerbangan yang beroperasi dengan model bisnis efisiensi biaya untuk menawarkan harga tiket yang lebih murah dibandingkan maskapai layanan penuh (full-service carrier).
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024, dari setiap kelompok kelas ekonomi, miskin hingga kelas atas, ada keluarga yang mengaku pernah naik pesawat terbang. Sekitar 1,3 juta dari 72,7 juta rumah tangga, atau 1,79%, pernah mengangkasa di Indonesia. Bahkan, 0,25% dari rumah tangga miskin mengaku pernah menggunakan moda transportasi tersebut.
Penumpang terbanyak jika dihitung dari jumlah, berasal dari kelas menengah (middle class) dan menuju kelas menengah (aspiring middle class), dengan total 1.132.023 keluarga, atau 87,2% dari 1,3 juta keluarga Indonesia yang pernah naik pesawat.
Dengan demikian, program diskon tiket pesawat ini sepertinya paling banyak dinikmati oleh keluarga kelas menengah Indonesia. Apalagi diskon diberikan hanya untuk pembelian tiket kelas ekonomi. Kelompok keluarga kelas atas biasanya lebih memilih duduk di kelas bisnis atau eksekutif.
Diskon tiket pesawat dan penurunan biaya komponen penerbangan (fuel surcharge, tarif bandara, dan PPN) secara langsung membuat perjalanan udara menjadi semakin terjangkau. Dengan perjalanan yang lebih murah, orang lebih mungkin bepergian ke kota asal, dalam hal ini untuk merayakan Natal bersama keluarga, atau ke destinasi wisata untuk menyambut tahun baru.
Kedatangan para tamu itu pada gilirannya akan mendorong pengeluaran konsumsi di daerah tujuan, baik untuk akomodasi, konsumsi, transportasi lokal, maupun belanja oleh-oleh. Jadi, kebijakan ini diambil, terutama untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi.
Potensi pengembangan bisnis penerbangan masih sangat besar. Apalagi, baru 1,8% keluarga Indonesia yang sudah memanfaatkan moda transportasi tersebut.
Geliat Setelah Pandemi
Jumlah penumpang penerbangan di Indonesia, baik domestik maupun internasional, juga telah kembali tumbuh setelah sempat anjlok ketika pandemi Covid-19 melanda. Padahal, sebelum pembatasan perjalanan diberlakukan, jumlah penumpang pesawat di Indonesia tengah naik tinggi.
Pada tahun terakhir sebelum pandemi (2019), data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunjukkan total penumpang penerbangan mencapai 105,3 juta orang. Bahkan pada Januari 2020 penumpang domestik masih tumbuh 9,4% secara tahunan atau year-on-year (yoy) menjadi 6,8 juta orang, sementara penumpang internasional naik 18,50% (yoy) menjadi 3,3 juta orang.
Akan tetapi, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) era pandemi menekan total penumpang sepanjang tahun 2020 menjadi hanya 42,58 juta orang, tergerus 51,29% (yoy).
Penurunan terbesar terjadi pada Mei 2020 ketika penumpang domestik terpangkas 98,4% (yoy), sementara penumpang internasional berkurang 99,03%.
Titik terendah penerbangan Indonesia terjadi pada 2021, ketika total penumpang domestik dan internasional hanya mencapai 34,7 juta orang sepanjang tahun.
Dunia penerbangan kembali bangkit setelah pemerintah, melalui penerapan new normal melonggarkan larangan bepergian bagi masyarakat. Pelaku industri yang tergabung dalam Indonesia National Air Carriers Association (INACA) sejak awal Agustus 2020 juga menginisiasi “Safe Travel Campaign” untuk memberi jaminan kesehatan dan keselamatan penerbangan bagi masyarakat Indonesia. Perlahan aktivitas penumpang pesawat kembali meningkat.
Penumpang penerbangan domestik dan internasional kembali tumbuh dan mulai mendekati volume sebelum pandemi melanda. Pada tahun 2024 total penumpang mencapai 101,96 juta orang, semakin mendekati angka penumpang tahun 2019.
Harga tiket pesawat yang semakin terjangkau berpotensi untuk meningkatkan jumlah penumpang, yang pada akhirnya juga bakal menguntungkan maskapai-maskapai Indonesia.
Bali Masih Jadi Destinasi Favorit
Diskon tiket sebaiknya menjadikan load factor (LF), atau tingkat keterisian pesawat, sebagai salah satu penentu. Potongan harga yang besar pada rute favorit berpeluang meningkatkan LF, sehingga semua pemangku kepentingan bakal diuntungkan.
Bali masih menjadi tujuan favorit di Indonesia. Data Kementerian Perhubungan menunjukkan rute penerbangan dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta (CGK) menuju Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali (DPS) mencatatkan jumlah penumpang terbanyak pada tahun 2024, yakni 4,72 juta orang.
Menurut data otoritas Bandara Soekarno-Hatta ada 40 penerbangan menuju Bali dari bandara tersebut, yang dilayani 10 maskapai domestik setiap harinya. Dengan total kursi yang tersedia 5,5 juta seat, tingkat keterisian pesawat (load factor) Jakarta-Bali pada 2024 mencapai 87%.
Jumlah penumpang CGK-DPS lebih banyak 1,6 kali bila dibandingkan dengan peringkat kedua, yaitu rute CGK menuju Bandara Internasional Juanda (SUB) di Surabaya dengan 2,98 juta penumpang. Pada tempat ketiga ada rute CGK ke Kualanamu (KNO), Medan, dengan jumlah penumpang 2,96 juta orang pada 2024.
Data Kemenhub juga menunjukkan bahwa load factor pada rute-rute favorit tersebut belum ada yang mencapai 90%, apalagi 100%. LF tertinggi tercatat pada rute Bali-Surabaya yang mencapai 89%.
Pemerintah dapat coba memfokuskan pemberian insentif bagi penumpang untuk rute-rute favorit tersebut. LF yang mencapai 100% tentunya akan menguntungkan maskapai, sekaligus menggerakkan perekonomian. Selain itu, para pemangku kepentingan juga bisa memberikan diskon lebih besar pada rute penerbangan menuju sejumlah destinasi wisata yang tengah dikembangkan menjadi “Bali Baru,” guna menarik minat para calon pelancong.
Lion Paling Laris
Kalau menyimak perbincangan di berbagai ruang, Lion Air kerap menjadi buah bibir para penumpang pesawat dengan beragam keluhannya. Mulai dari ketidaksesuaian jadwal, kondisi pesawat, bagasi, hingga pelayanan penumpang kerap jadi bahan kritik dan sindiran, terutama di media sosial.
Akan tetapi, perusahaan yang didirikan Rusdi Kirana—kini wakil ketua MPR RI 2024-2029—pada tahun 2000 tersebut adalah maskapai terbesar di Indonesia saat ini. Banyak rute yang hanya dilayani oleh Lion Air, sehingga calon penumpang tak punya pilihan. Rusdi Kirana dalam sebuah wawancara dengan majalah Angkasa pada tahun 2015 menyatakan, “My airlines is the worst in the world, but you have no choice. Makanya, ada yang bilang, Lion Air dibenci, tapi dirindu.”
Suka atau tidak dengan pernyataan itu, jumlah penumpang membuktikan pernyataan bos Lion Air tersebut bertuah. Maskapai berlogo singa itu mengangkut total 222,85 juta penumpang dalam 10 tahun terakhir (2015-2024). Pangsa pasarnya atau market share mencapai 31,78% dari total 701,3 juta penumpang yang diangkut sepanjang periode tersebut.
Bila seluruh anak perusahaan Lion Air Group juga digabungkan—Batik Air, Super Air Jet, dan Wings Abadi Airlines—maka raksasa penerbangan Indonesia itu menguasai 54,13% pasar jalur udara nasional. Jauh di atas flag carrier Garuda Indonesia dan anak usahanya, Citilink, yang dimiliki pemerintah.
Saat ini Lion Air memiliki 118 pesawat terbang yang melayani 449 penerbangan per hari ke 41 tujuan domestik dan 20 tujuan internasional.
Pelita Paling Tepat Waktu
Tingkat ketepatan jadwal keberangkatan menjadi salah satu pertimbangan utama penumpang dalam memilih maskapai. Namun tentu saja, pertimbangan ini baru berlaku jika ada lebih dari satu maskapai yang melayani rute tersebut.
Pada tiga tahun terakhir, maskapai dengan tingkat ketepatan waktu penerbangan domestik paling tinggi, bukanlah flag carrier Garuda Indonesia. Posisi tersebut ditempati oleh Pelita Air Indonesia sepanjang tiga tahun berturut-turut sejak 2022. Tingkat ketepatan waktu Pelita Air mencapai rata-rata 93,41% pada periode 2022-2024.
Padahal, anak usaha PT Pertamina (Persero) tersebut baru melayani penerbangan domestik komersial sejak April 2022. Sebelumnya, berdiri pada 1963 dengan nama Pertamina Air Service dan berganti nama menjadi Pelita Air sejak 1970, maskapai ini hanya melayani charter atau sewa pesawat, serta dukungan logistik untuk industri minyak dan gas di wilayah terpencil Indonesia. Saat ini, Pelita Air mengoperasikan 12 pesawat yang melayani sembilan rute domestik.
Melengkapi posisi tiga besar paling tepat waktu adalah dua maskapai pelat merah lainnya, yaitu Garuda Indonesia dan Citilink. Masing-masing mencatatkan rata-rata ketepatan waktu 86,44% untuk Garuda dan 82,36% untuk Citilink.
Sementara Lion Air, maskapai terbesar dan terlaris di Indonesia, ada di peringkat ke-10 dengan rata-rata ketepatan waktu penerbangan 69,89% pada periode 2022-2024.