Update  By Editorial Desk

Atasi "Akal-akalan" Misinvoicing, Pemerintah Harus Nyatakan Penghindaran Pajak dan Tetapkan Bea Keluar Ekspor Batu Bara

28 Desember, 2025

Di balik status jawara batu bara dunia, riset menemukan manipulasi data ekspor bernilai miliaran dolar yang menggerus penerimaan negara Indonesia.

Ilustrasi kertas dokumen terbakar - NEXT Indonesia Center

Keterangan foto: Ilustrasi kerta dokumen terbakar.

DOWNLOADS


Press Release_ Akal-akalan Misinvoicing Batu Bara_NEXT Indonesia Center.png

Press Release - Akal-akalan Misinvoicing Batu Bara

Download

Ringkasan
• 
Manipulasi Ekspor Batu Bara Terungkap
Riset NEXT Indonesia Center menemukan praktik trade misinvoicing dalam ekspor batu bara Indonesia. Skema ini bersifat terencana dan menekan nilai ekspor untuk menggerus penerimaan negara, terutama saat harga global tinggi.
• India Jadi Titik Terbesar Misinvoicing
Menurut Senior Analyst Sandy Pramuji, ekspor ke India mencatat manipulasi tertinggi. Akumulasi under-invoicing periode 2005–2024 mencapai US$9,7 miliar, dipicu volume besar, celah kualitas, dan lemahnya pengawasan.
• Bea Ekspor sebagai Alat Disiplin Data
Rencana bea ekspor 2026 dinilai strategis untuk fiskal dan tata kelola. Instrumen ini memaksa sinkronisasi data produksi, kualitas, dan ekspor, serta menutup celah manipulasi yang selama ini dimanfaatkan pelaku usaha.

NEXT Indonesia Center - Di balik dominasi Indonesia sebagai pemasok batu bara terbesar di dunia dengan volume ekspor kumulatif mencapai 1,8 miliar ton sepanjang periode 2020-2024, NEXT Indonesia Center menemukan sisi gelap tata kelola komoditas ini yang sarat dengan praktik manipulasi data perdagangan atau trade misinvoicing.

"Praktik misinvoicing ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan sebuah skema manipulatif terencana yang menggerus potensi penerimaan negara,” ujar Senior Analyst NEXT Indonesia Center, Sandy Pramuji, di Jakarta, Minggu (28/12/2025). 

Hasil analisis NEXT Indonesia Center menunjukkan bahwa negara-negara tujuan utama ekspor batu bara menjadi celah terbesar dalam praktik gelap ini. India, sebagai salah satu mitra dagang utama, teridentifikasi sebagai negara tujuan dengan tingkat manipulasi tertinggi.

“Dalam dua dekade terakhir (2005-2024), akumulasi manipulasi faktur ekspor batu bara Indonesia ke India mencapai angka fantastis, yakni US$9,7 miliar,” ungkap Sandy.

Menurut Sandy, besarnya angka misinvoicing ekspor batu bara ke India dipicu oleh tiga faktor, yakni volume pengiriman yang luar biasa besar, fleksibilitas berlebih pada spesifikasi kualitas serta kontrak, hingga lemahnya pengawasan antara rantai produksi dan ekspor. 

“Celah ini memungkinkan eksportir batu bara secara sepihak menekan nilai invoice dengan alasan rendahnya kualitas kalori, padahal harga riil yang berlaku di pasar tujuan jauh lebih tinggi. Tanpa mekanisme pengujian kualitas yang ketat dan real-time, otoritas kepabeanan kita sepertinya akan terus terjebak dalam kesulitan untuk memverifikasi nilai ekspor yang sebenarnya,” tegas Sandy.

Praktik misinvoicing berupa under-invoicing (angka ekspor yang dilaporkan lebih kecil dari sesungguhnya) telah terjadi sejak lama, terutama ketika terjadi lonjakan harga komoditas batu bara dunia. Pada tahun 2008 misalnya, saat harga batu bara melambung di kisaran US$180-190 per ton, nilai under-invoicing ekspornya tercatat mencapai US$4,9 miliar.

Instrumen Ganda Bea Ekspor Batu Bara

Misinvoicing ekspor batu bara tidak muncul secara tiba-tiba di pelabuhan, melainkan berakar dari ketidakberesan pencatatan di hulu hingga hilir, mulai dari produksi, kualitas, distribusi, hingga pelaporan nilai ekspor. Kondisi ini juga diperparah oleh ketidaksinkronan data ekspor batu bara yang signifikan antara Kementerian ESDM dan Badan Pusat Statistik (BPS). 

“Ketidaksinkronan ini terjadi karena BPS hanya mencatat data kode HS 2701 (batu bara), sementara Kementerian ESDM menjumlahkannya dengan kode HS 2702 (lignit). Celah pencatatan inilah yang dimanfaatkan untuk menyamarkan nilai ekspor yang sebenarnya,” jelas Sandy. 

Oleh karena itu, rencana pengenaan kembali bea ekspor batu bara pada tahun 2026 bisa menjadi langkah strategis yang bermanfaat ganda. Instrumen ini tidak hanya berfungsi memperkuat basis penerimaan negara untuk membiayai kebutuhan fiskal, tetapi juga menjadi mekanisme disiplin fiskal dan tata kelola perdagangan.

“Bea ekspor batu bara akan memaksa terjadinya sinkronisasi data dan menjadi alat cross-check yang ketat antara volume produksi, penjualan, dan ekspor guna menutup celah manipulasi nilai di masa depan,” pungkasnya.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu menyatakan bahwa praktik under-invoicing ini adalah salah satu bentuk penghindaran pajak (tax evasion) yang melanggar hukum. Dengan demikian, koordinasi data dengan aparat penegak hukum di negara mitra memiliki dasar yang kuat untuk melakukan pengusutan apabila terindikasi ada pelanggaran hukum. 

“Jika tidak dibenahi secara menyeluruh, misinvoicing akan terus menjadi momok dalam ekspor batu bara Indonesia yang akan menggerus penerimaan negara serta merusak kredibilitas data perdagangan,” ungkap Sandy. 

Bahkan tanpa reformasi tata kelola yang kuat, lanjut Sandy, status Indonesia sebagai jawara batu bara dunia hanya akan terus dimanfaatkan oleh praktik "akal-akalan" yang merugikan keadilan pengelolaan sumber daya alam nasional.

Related Articles

blog image

Akal-akalan di Ekspor Batu Bara

Aktivasi bea ekspor batu bara menaikkan penerimaan negara sekaligus menutup celah manipulasi dalam aktivitas ekspor.

Selengkapnya
blog image

Simulasi Bea Keluar Batu Bara 2026: Ada Potensi Tambahan Kas Negara Rp19 Triliun

Rencana bea keluar batu bara 2026 berpotensi menambah penerimaan negara hingga Rp19 triliun, sekaligus dorong hilirisasi dan menguji daya saing ekspor

Selengkapnya
blog image

Simulasi Penerimaan Negara dari Bea Keluar Batu Bara

Jika bea keluar batu bara diberlakukan, dalam hitungan NEXT Indonesia Center, kas negara bisa bertambah hingga Rp19 triliun.

Selengkapnya