Research  By Editorial Desk

Bertopang pada PPh dan PPN

06 Juli, 2025

PPh dan PPN jadi penopang penerimaan negara secara keseluruhan. Duo pajak itu berkontribusi lebih dari 80% dari penerimaan perpajakan tiap tahunnya.

Ilustrasi dua pilar - Next Indonesia

Keterangan foto: Ilustrasi dua pilar

DOWNLOADS


cover next review Beban Berat Perpajakan.jpeg

Beban Berat Perpajakan

Download

Ringkasan
• PPh dan PPN adalah tulang punggung penerimaan perpajakan
Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menyumbang lebih dari 80% penerimaan perpajakan, namun pemerintah perlu diversifikasi sumber pajak seperti pajak digital dan pajak karbon untuk memperkuat fondasi fiskal.
• Tax ratio Indonesia masih rendah dan tertinggal di ASEAN
Selama 10 tahun terakhir, tax ratio Indonesia stagnan di kisaran 10%, jauh di bawah standar ideal 15% versi Bank Dunia, bahkan menjadi yang terendah di antara negara-negara ASEAN.
• Tax buoyancy turun, isyarat sistem perpajakan kurang responsif
Setelah sempat di atas 2 pada 2021–2022, nilai tax buoyancy Indonesia turun di bawah 1 pada 2023–2024, menunjukkan pertumbuhan pajak tak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi dan perlunya reformasi kebijakan dan administrasi pajak.

 

 

NEXT Indonesia - Ada dua komponen besar penerimaan perpajakan Indonesia. Pertama, komponen pajak, yang terdiri dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), serta pajak lainnya.

Kedua, komponen bea dan cukai yang terdiri dari pajak perdagangan internasional (bea masuk impor dan pungutan atas ekspor) dan cukai, yaitu pungutan yang dikelola oleh negara dan diberlakukan pada barang-barang tertentu yang memiliki sifat dan karakteristik khusus.

Penerimaan perpajakan sangat tergantung kepada PPh. Jenis pajak ini diatur berdasarkan sumber penghasilan, subjek pajak (individu atau badan), serta mekanisme pemotongan atau pembayaran. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta perubahannya, serta Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang berisikan beberapa poin perubahan penting terkait PPh.

Kontribusi PPh terhadap penerimaan perpajakan sepanjang 10 tahun terakhir, yakni sejak 2014 hingga proyeksi tahun 2025, rata-rata sekitar 48,21% terhadap total penerimaan perpajakan. Sepanjang periode itu, kontribusi PPh yang tertinggi terjadi pada 2019, yang mencapai 49,95%.

Penyumbang terbesar berikutnya untuk penerimaan perpajakan adalah PPN. Pajak ini dikenakan pada hampir semua barang dan jasa (broad- based tax) serta dibayarkan oleh semua lapisan masyarakat tanpa memandang penghasilan.

Penerimaan PPN melejit pada tahun 2022, naik 43,2% dibandingkan 2021, seiring berlakunya UU HPP yang membuat PPN naik dari 10% menjadi 11%. UU HPP sebenarnya juga mengamanatkan kenaikan PPN menjadi 12% mulai Januari 2025 dan pemerintah sudah siap menjalankannya. Akan tetapi, akibat ramainya protes masyarakat, Presiden Prabowo Subianto membatalkan kenaikan tersebut beberapa saat menjelang pergantian tahun.

PPh dan PPN menjadi penopang penerimaan perpajakan, juga penerimaan negara secara keseluruhan. Duo pajak itu selalu berkontribusi lebih dari 80% terhadap penerimaan perpajakan setiap tahunnya.

Walau PPh dan PPN adalah kontributor utama penerimaan perpajakan, perlu ada diversifikasi sumber penerimaan untuk menciptakan fondasi fiskal yang lebih stabil dan berkelanjutan. Pemerintah perlu mencari potensi pajak baru dan perluasan basis pajak. 

Beberapa potensi yang menarik untuk dikembangkan adalah pajak terhadap transaksi ekonomi digital (e-commerce), pajak karbon, dan penyesuaian PPh untuk golongan masyarakat super kaya. Khusus yang terakhir itu, adakah terbersit di benak pemerintah?

Tax Ratio Stagnan di Bawah Angka “Ideal”

Efisiensi sistem perpajakan suatu negara dalam mengumpulkan pendapatan dari kegiatan perekonomian dapat dilihat dari angka tax ratio (rasio pajak), yaitu rasio penerimaan perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Semakin tinggi tax ratio, semakin besar kemampuan pemerintah untuk membiayai belanja negara dan program pembangunan melalui penerimaan pajak domestik, bukan dari utang.

Sementara tax ratio yang rendah memberikan isyarat banyaknya pengemplang pajak, pendapatan dari sektor informal sangat besar, atau adanya insentif pajak yang berlebihan.

Memang tidak ada angka tax ratio deal yang mutlak berlaku di semua negara. Soalnya, kondisi ekonomi, demografi, tingkat pembangunan, dan model layanan publik setiap negara berbeda-beda. Namun Bank Dunia (World Bank) mengidentifikasi bahwa 15% dari PDB adalah tax ratio yang ideal atau optimal untuk negara-negara berkembang, seperti Indonesia.

Ambang batas 15% tersebut penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, serta menyediakan sarana keuangan bagi negara untuk berinvestasi untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Sebagai perbandingan, rata-rata tax ratio negara-negara maju anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencapai 34,1% pada 2021.

Perkembangan tax ratio Indonesia dalam 10 tahun terakhir tampak fluktuatif namun rata-ratanya berada di kisaran 10%. Rasio tersebutkerap menjadi sorotan karena relatif stagnan di bawah nilai ideal versi Bank Dunia. Bahkan, bila dibandingkan dengan negara-negara anggota Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), tax ratio Indonesia juga termasuk rendah. Bahkan ada di urutan paling buncit seperti terlihat di tabel bawah.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029, memasang target untuk meningkatkan tax ratio pada level antara 11,52% hingga 15%. 

Target tersebut akan coba dicapai antara lain dengan implementasi pembaruan sistem inti administrasi  perpajakan (core tax administration system) secara menyeluruh; reformasi pajak yang lebih progresif; penegakan hukum untuk peningkatan kepatuhan wajib pajak; serta simplifikasi proses bisnis dan pembenahan tata kelola kelembagaan. Dari semua itu, tentu yang terpenting adalah implementasinya agar tidak berhenti di atas kertas.

Awas, Tax Buoyancy Menyusut

Tax buoyancy merupakan indikator yang mengukur respons atau elastisitas penerimaan perpajakan terhadap kinerja Produk Domestik Bruto (PDB). Indikator ini menunjukkan seberapa besar penerimaan perpajakan meningkat (atau menurun) untuk setiap persentase perubahan pada PDB.

Tax buoyancy memperhitungkan baik pertumbuhan pendapatan maupun perubahan kebijakan diskresioner, seperti perubahan tarif perpajakan, perluasan basis pajak, atau reformasi administrasi. Rumus sederhana menghitungnya adalah membagi persentase perubahan penerimaan perpajakan dengan persentase perubahan PDB nominal.

Nilai tax buoyancy yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa setiap 1% pertumbuhan PDB akan menghasilkan peningkatan penerimaan perpajakan lebih dari pencapaian PDB tersebut. Kinerja ini memberikan isyarat bahwa sistem perpajakan negara tersebut terbilang efisien dan efektif dalam meningkatkan penerimaan.

Kalau tax buoyancy kurang dari 1, misalnya 0,8, artinya setiap 1% pertumbuhan PDB hanya menghasilkan peningkatan penerimaan perpajakan kurang dari 0,8%. Ini mengindikasikan bahwa sistem perpajakan kurang responsif terhadap pertumbuhan ekonomi, atau ada potensi penerimaan yang belum tergali.

Kinerja tax buoyancy Indonesia sempat mencapai angka di atas 2 pada 2021 dan 2022, yang menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan tumbuh lebih tinggi dari PDB. Akan tetapi, pada dua tahun berikutnya, nilai tersebut turun hingga di bawah 1.

Penurunan itu perlu diwaspadai karena menunjukkan pada tahun 2023 dan 2024 terjadi penyusutan penerimaan perpajakan meskipun perekonomian tumbuh positif. Saat ini, pemerintah tengah berupaya menaikkan tax buoyancy untuk mencapai target 1,16 pada akhir 2025.

Memastikan tax buoyancy berada di atas 1 secara konsisten perlu dilakukan pemerintah untuk bisa meningkatkan tax ratio. Kalau tax buoyancy terus berada di bawah 1, sulit untuk dapat menaikkan tax ratio, bahkan ada kemungkinan malah turun, karena berarti pertumbuhan penerimaan perpajakan tidak mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi.

Jika pertumbuhan penerimaan perpajakan tidak mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi, itu adalah sinyal bahaya bagi kesehatan fiskal suatu negara. Kondisi ini mengindikasikan adanya kelemahan fundamental dalam sistem perpajakan yang memerlukan intervensi serius.

Hal itu bisa dilakukan melalui reformasi kebijakan, misalnya dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan efektivitas insentif. Selain itu, administrasi perpajakan juga perlu diperbaiki dengan cara memodernisasi sistem perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Related Articles

blog image

Beban Berat Perpajakan

Kinerja penerimaan perpajakan belum maksimal, cenderung menurun setelah tahun 2022. Bahkan di posisi terendah dibandingkan negara-negara ASEAN.

Selengkapnya
blog image

Jalan Berliku Memungut Pajak E-Commerce

Inisiatif pembayaran pajak penghasilan ini dapat memberikan kemudahan bagi penjual daring dalam memenuhi kewajiban pajaknya.

Selengkapnya
blog image

Pertumbuhan Kredit Versus NPL

Hubungan antara NPL dan pertumbuhan kredit berbeda-beda sesuai karakteristik masing-masing.

Selengkapnya