Rumus Terbaik untuk Upah Layak
05 Desember, 2025
Mulai tahun 2026, pemerintah pusat tak lagi menetapkan upah minimum dalam satu angka tunggal, seperti selama ini.
Keterangan foto: Ilustrasi kalkulator.
Ringkasan
• Rumus Upah Baru Memicu Perdebatan
Anda melihat pemerintah mendorong formula berbasis inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks α sebagai cara menjaga iklim usaha. Tapi serikat buruh menilai rumus ini menekan kenaikan upah dan mengabaikan biaya hidup. Putusan MK yang menegaskan KHL sebagai dasar penghitungan memperkuat argumen buruh bahwa formula harus diubah agar lebih berpihak pada kesejahteraan pekerja.
• Kesenjangan Upah Masih Lebar di Daerah
Meski UMP naik, banyak buruh masih menerima upah di bawah ketentuan. Di Aceh, rata-rata gaji 23% lebih rendah dari UMP, sementara Jawa Barat membayar jauh lebih tinggi dari batas minimum. Daerah dengan dominasi sektor informal seperti pertanian cenderung tidak mengikuti UMP. Ini menandakan pengawasan lemah dan struktur ekonomi daerah belum mampu menopang upah layak.
• Upah Tidak Selalu Mengimbangi Inflasi
Data 2020–2025 menunjukkan kenaikan upah tidak konsisten mengejar kenaikan harga. Hanya 2022 ketika upah naik jauh lebih tinggi dari inflasi. Tahun lain, pekerja kehilangan daya beli. Anda perlu melihat bahwa kebijakan upah tanpa strategi produktivitas dan penegakan hukum hanya memberi ilusi perlindungan. Pemerintah diminta menyusun rentang UMP berbasis KHL dan memastikan kepatuhan di lapangan agar upah benar-benar melindungi pekerja.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) kembali menjadi salah satu isu ketenagakerjaan paling dinamis di Indonesia menjelang 2026. Pemerintah telah mengumumkan perubahan penting dalam skema pengupahan nasional, yakni “UMP 2026 tidak lagi ditetapkan dalam satu angka tunggal,” tetapi menggunakan rentang (range) yang memungkinkan setiap provinsi menyesuaikannya dengan kondisi daerah.
Menurut Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, kebijakan baru ini telah disetujui oleh Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah pusat ingin memberikan fleksibilitas bagi pemerintah daerah dalam merespons dinamika ekonomi yang berbeda-beda di seluruh wilayah Indonesia.
Perubahan tersebut muncul di tengah perdebatan yang masih hangat terkait penggunaan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023 tentang Perubahan atas PP No. 36/2021 tentang Pengupahan. Pemerintah menilai rumus yang menggabungkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks α (alpha) merupakan cermin produktivitas serta mekanisme pengupahan yang lebih terukur dan ramah investasi. Pemerintah melihat konsistensi formula sebagai kunci kepastian usaha sekaligus langkah menjaga stabilitas biaya tenaga kerja.
Namun, kalangan buruh dan berbagai organisasi pekerja menilai formula ini membatasi kenaikan upah dan mengabaikan tekanan biaya hidup yang meningkat dari waktu ke waktu, terutama harga pangan, perumahan, dan transportasi.
Perdebatan tersebut semakin mengemuka setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023 yang menegaskan bahwa penetapan upah minimum harus kembali berlandaskan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai komponen utama. Putusan ini menjadi penanda penting bahwa perhitungan upah tidak boleh semata mengikuti variabel ekonomi makro, tetapi harus memastikan pekerja memiliki standar hidup yang wajar. Bagi buruh, putusan MK memperkuat argumentasi bahwa PP 51/2023 perlu ditinjau ulang atau disesuaikan agar lebih mencerminkan realitas kesejahteraan pekerja.
Dalam konteks tersebut, kebijakan UMP 2026 yang menggunakan rentang upah memunculkan harapan sekaligus kekhawatiran baru. Di satu sisi, fleksibilitas memungkinkan pemerintah daerah mengakomodasi kondisi lokal dan potensi memasukkan KHL secara lebih eksplisit dalam proses penetapan. Di sisi lain, buruh menilai bahwa skema ini dapat menjadi celah bagi penetapan upah yang lebih rendah di daerah dengan daya tawar pekerja yang lemah. Perdebatan antara perlindungan daya beli pekerja dan kebutuhan menjaga iklim investasi pun kembali menghangat.
Publikasi NEXT Indonesia Center kali ini membahas soal perhitungan dan perkembangan upah minimum buruh di Indonesia dalam enam tahun terakhir. Data upah akan dibedah untuk melihat apakah rata-rata upah yang diterima pekerja di daerah masing-masing sudah sesuai dengan UMP yang ditetapkan pemerintah setempat. Selain itu, pekerja pada sektor-sektor apa saja yang sudah menerima upah sesuai ketetapan.
Menyusun Rumus Upah Minimum
Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, telah menyatakan bahwa penyesuaian Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk tahun 2026 tetap menggunakan formula yang tersusun dalam pasal 26 Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023. Dalam PP itu juga dinyatakan agar provinsi melakukan penyesuaian upah minimum setiap tahun.
Pemerintah menganggap formula ini lebih berimbang. Tak hanya inflasi yang dijadikan pertimbangan, tetapi juga pertumbuhan ekonomi serta indeks tertentu (α) yang mencerminkan produktivitas dan tingkat penyerapan tenaga kerja di suatu daerah.
Dalam pandangan pemerintah, pendekatan ini penting untuk menjaga kelangsungan usaha dan mengurangi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kenaikan upah yang dianggap terlalu tinggi. Airlangga juga menekankan bahwa formula yang konsisten akan memberikan kepastian bagi investor serta mendorong iklim usaha yang lebih stabil.
Gelombang kritik keras tetap datang dari serikat buruh dan organisasi pekerja. Mereka menilai formula dalam PP 51/2023 justru membuat kenaikan upah jauh lebih kecil dari kebutuhan aktual, terlebih karena faktor α (alpha) sering kali mendorong hasil perhitungan ke angka minimum.
Padahal, menurut organisasi pekerja, kenaikan harga pangan, sewa rumah, dan biaya transportasi tidak bisa diimbangi hanya dengan rumus berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Formula itu dianggap mengabaikan prinsip utama bahwa upah minimum adalah jaring pengaman sosial, bukan sekadar variabel makroekonomi.
Pemerintah menegaskan patuh terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi No. 168/PUU-XXI/2023. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) akan menjadi unsur yang masuk dalam penghitungan upah minimum 2026. Selain itu, Menteri Airlangga juga menyatakan upah baru bakal disesuaikan dengan kriteria Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization, ILO).
ILO belum pernah mengeluarkan rumus upah minimum. Tetapi, pada pasal 3 Minimum Wage Fixing Convention 1970, yang masih berlaku hingga kini, dinyatakan bahwa unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan tingkat upah minimum, sejauh memungkinkan dan sesuai dengan praktik dan kondisi nasional, meliputi:
(a) Kebutuhan pekerja dan keluarganya, dengan mempertimbangkan tingkat upah umum di negara tersebut, biaya hidup, tunjangan jaminan sosial, dan standar hidup relatif kelompok sosial lainnya;
(b) Faktor ekonomi, termasuk persyaratan pembangunan ekonomi, tingkat produktivitas, dan keinginan untuk mencapai dan mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi.
Dinamisnya Pergerakan Upah
Perkembangan upah minimum di Indonesia selama 2020–2025 menunjukkan perjalanan yang sangat dinamis, dipengaruhi kombinasi kondisi ekonomi, perubahan regulasi, dan intervensi kebijakan nasional. Namun secara rata-rata per tahun, tetap terjadi kenaikan.
Periode awal, khususnya 2020–2021, ditandai oleh stagnasi akibat pandemi Covid-19. Banyak provinsi tidak menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP), karena pemerintah menekankan stabilitas usaha dan mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pada masa ketidakpastian ekonomi. Data menunjukkan sejumlah provinsi — termasuk Aceh, Sumatra Utara, dan beberapa wilayah Jawa — menetapkan zero growth pada 2021.
Mulai 2022, kenaikan upah kembali terjadi meski masih terbatas. Rata-ratanya rendah dan sangat tergantung pada kondisi ekonomi masing-masing daerah. Pada 2023–2024, dinamika upah semakin variatif setelah formula baru Peraturan Pemerintah (PP) No. 36/2021, yang kemudian diperbarui menjadi PP No. 51/2023, diterapkan.
Formula tersebut menggunakan kombinasi inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks produktivitas α (alpha). Provinsi dengan basis industri dan jasa yang kuat mencatat kenaikan lebih besar dibanding wilayah agraris dan kawasan timur.
Puncak perubahan terjadi pada 2025, ketika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah intervensi langsung melalui kebijakan kenaikan upah secara nasional sebesar 6,5%. Kebijakan ini dikeluarkan untuk menyesuaikan upah dengan tekanan biaya hidup yang meningkat, menstimulasi daya beli domestik, dan memberi sinyal arah baru kebijakan ekonomi pemerintah.
Jika ditarik ke belakang, rentang 2020–2025 memperlihatkan dua fase besar: stagnasi pandemi dan pemulihan bertahap menuju percepatan kenaikan. Secara kumulatif, sebagian besar provinsi mencatat kenaikan total dalam lima tahun sebesar 15–25%, dengan rata-rata kenaikan tahunan berada di kisaran 3–4%. Namun, akselerasi paling signifikan jelas terjadi pada 2025 akibat kebijakan nasional tersebut.
Secara nasional, sepanjang periode tersebut upah minimum buruh naik 24,08%. Ada enam provinsi dengan pertumbuhan upah minimum di atas rata-rata nasional, yaitu DI Yogyakarta (32,82%), Jawa Timur (30,37%), Sulawesi Tengah (26,52%), DKI Jakarta (26,20%), Maluku Utara (25,22%), dan Jawa Tengah (24,53%).
Kesenjangan Standar dan Realisasi Upah
Meski Upah Minimum Provinsi (UMP) telah ditetapkan, tak sedikit buruh yang masih menerima bayaran jauh di bawah angka minimal tersebut. Kenyataan itu membuat mereka sulit berpacu dengan inflasi atau laju kenaikan harga, sehingga sulit untuk memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup layak.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa per Agustus 2025, secara nasional rata-rata upah buruh berada 0,45% di atas upah minimum yang telah ditetapkan. Mayoritas provinsi patuh terhadap UMP yang mereka tetapkan, meski masih ada 18 provinsi dengan rata-rata upah pekerja di bawah UMP.
Kesenjangan paling lebar antara angka UMP dengan upah pekerja terjadi di Aceh. Data BPS menunjukkan upah pekerja di provinsi tersebut mencapai rata-rata Rp2,84 juta/bulan, sekitar 23,01% di bawah UMP Rp3,69 juta/bulan. Kemudian, ada Sumatra Selatan (-18,10%) dan Kepulauan Bangka Belitung (-17,38%) yang melengkapi tiga besar provinsi dengan disparitas UMP dan upah terbesar.
Jawa Barat menjadi provinsi dengan rata-rata upah buruh jauh lebih tinggi dibandingkan UMP. Para pekerja di provinsi itu rata-rata menerima gaji Rp3,77 juta/bulan, sekitar 71,96% lebih tinggi dari UMP Rp2,19 juta/bulan.
Secara nominal, pada umumnya upah tertinggi diterima oleh para pekerja di DKI Jakarta. Mereka menerima upah rata-rata Rp5,09 juta/bulan atau 9,39% lebih tinggi dari UMP setempat.
Ada beberapa alasan yang kerap disebut sebagai penyebab banyaknya buruh yang mau menerima upah lebih rendah dari UMP. Salah satunya adalah persaingan kerja yang ketat dan kebutuhan mendesak untuk mendapatkan pekerjaan.
Persaingan yang ketat membuat daya tawar (bargaining power) pekerja melemah saat berhadapan dengan pengusaha. Para pencari kerja terpaksa menurunkan ekspektasi gaji yang diharapkan.
Kondisi itu juga bisa terjadi jika perekonomian di daerah tersebut didominasi oleh sektor usaha informal, seperti pertanian atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). UMP tidak secara langsung berlaku untuk pekerja informal, sementara usaha kecil dan mikro, menurut PP No. 51/2023 dikecualikan dari kewajiban untuk mengupah karyawan sesuai UMP. Besar upah pekerja biasanya ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan pemberi kerja.
Sebagai gambaran, menurut data BPS, pada tahun 2024 sekitar 83,5% dari 2,4 juta pekerja di Aceh bekerja di sektor informal pertanian. Jadi tak heran jika rata-rata upah buruh di sana jauh lebih rendah dibandingkan upah minimum provinsi.
Sebenarnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, ada sanksi yang berat bagi perusahaan yang melanggar ketentuan UMP, yaitu pidana penjara antara 1-4 tahun dan denda antara Rp100 juta hingga Rp400 juta.
Oleh karena itu masih banyak pekerjaan rumah pemerintah untuk memastikan kepatuhan para pengusaha di setiap provinsi terhadap UMP yang telah ditetapkan. Selain itu, pemerintah juga perlu membantu agar perekonomian di daerah-daerah tersebut bergerak lebih cepat sehingga para pengusahanya mampu menjalankan kewajiban mereka.
Disparitas Upah Sektoral
Badan Pusat Statistik (BPS) membagi sektor ekonomi ke dalam 17 lapangan pekerjaan utama. Dari daftar itu terlihat disparitas dan perkembangan upah rata-rata para pekerja Indonesia.
Secara keseluruhan, upah rata-rata pekerja Indonesia berdasarkan data Agustus 2025 mencapai Rp3,3 juta/bulan. Ada 10 sektor ekonomi yang para pekerjanya berpenghasilan di atas rata-rata nasional.
Rata-rata upah tertinggi didapat oleh pekerja pada sektor informasi dan komunikasi. Data BPS Agustus 2025 menunjukkan besarannya mencapai rata-rata Rp5,3 juta/bulan, sekitar 60,61% di atas upah rata-rata nasional.
Ada tiga lapangan pekerjaan lainnya yang upah rata-rata pekerjanya juga menembus Rp5 juta/bulan, yaitu aktivitas keuangan dan asuransi (Rp5,1 juta/bulan); pengadaan listrik, gas, uap/air padas dan udara dingin (Rp5,1 juta/bulan); dan, pertambangan dan penggalian (Rp5 juta/bulan). Penerima upah terendah adalah pekerja bidang aktivitas jasa lainnya, yang rata-rata upahnya hanya mencapai Rp2 juta/bulan.
Hal yang sebaiknya mendapat perhatian lebih dari para pemangku kepentingan adalah rendahnya upah pekerja bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan. Rata-rata upah mereka hanya Rp2,5 juta/bulan. Padahal Indonesia kerap membanggakan diri sebagai negara agraris, juga memiliki kawasan hutan dan perairan (darat dan laut) yang amat luas.
Berpacu dengan Inflasi
Penyesuaian upah minimum dengan laju inflasi tahunan memang sangat penting. Tujuannya untuk menjaga daya beli riil dari para pekerja, terutama mereka yang berpenghasilan kecil, alias di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP).
Bila mengamati pergerakan inflasi dan upah minimum dalam delapan tahun terakhir, tampak hubungan antara keduanya tidak selalu ideal. Hanya sekali, pada tahun 2022, kenaikan upah (12,2%) jauh lebih tinggi daripada inflasi (4,7%). Itu pun terjadi setelah dua tahun berturut-turut sebelumnya upah tumbuh negatif akibat terganggunya laju perekonomian karena pandemi Covid-19.
Setelah 2022, tren kenaikan UMP tampak menurun. Memang angkanya sempat lebih tinggi dari inflasi hingga Agustus 2024, tetapi per Agustus 2025, inflasi kembali naik lebih tinggi dibandingkan kenaikan upah pekerja.
Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa kenaikan upah pekerja di 16 provinsi tidak mampu mengejar kenaikan harga akibat inflasi.
Memastikan Upah yang Layak
Data telah menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menjamin para pekerja mendapatkan upah yang layak. Terutama, memastikan bahwa semua pemangku kepentingan, khususnya pengusaha, mematuhi kesepakatan bersama terkait nilai upah minimal.
Hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 168/2023 menegaskan bahwa Kebutuhan Hidup Layak (KHL) harus menjadi dasar utama penghitungan. KHL jangan sampai hanya menjadi referensi tambahan, tetapi menjadi fondasi untuk merumuskan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota(UMK). Hal ini penting untuk memperkuat kepercayaan pekerja terhadap proses pengupahan.
Pemerintah juga perlu merancang skema rentang (range) UMP dengan parameter yang jelas. Batas bawah harus mengacu pada nilai KHL, sementara batas atas mempertimbangkan kemampuan usaha, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan pendekatan ini, fleksibilitas daerah tetap terjaga tanpa membuka ruang penetapan upah yang terlalu rendah atau tidak realistis bagi pekerja.
Selain itu, penting adanya tahap transisi bagi daerah dengan kesenjangan besar antara upah minimum dan KHL. Penyesuaian bertahap dalam dua atau tiga tahun akan membantu dunia usaha beradaptasi, sekaligus meningkatkan daya beli pekerja secara konsisten. Upaya ini perlu didukung data KHL yang lebih akurat melalui digitalisasi survei, peningkatan kualitas data harga, dan transparansi perhitungan.
Akhirnya, penetapan upah minimum sebaiknya dihubungkan dengan kebijakan peningkatan produktivitas nasional. Kenaikan upah yang stabil akan mendorong perusahaan berinvestasi pada pelatihan, teknologi, dan proses produksi yang lebih efisien.
Dengan komunikasi publik yang jelas dan dialog sosial yang berkelanjutan, kebijakan upah dapat menjadi instrumen yang menyeimbangkan perlindungan pekerja, keberlanjutan usaha, dan arah pembangunan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.