Simulasi Penerimaan Negara dari Bea Keluar Batu Bara
19 Desember, 2025
Jika bea keluar batu bara diberlakukan, dalam hitungan NEXT Indonesia Center, kas negara bisa bertambah hingga Rp19 triliun.
Keterangan foto: Ilustrasi Batu bara
Ringkasan
• Bea Keluar untuk Tambah Ruang Fiskal
Pemerintah berencana mengaktifkan kembali bea ekspor batu bara mulai 2026 untuk memperkuat penerimaan negara. Targetnya hingga Rp20 triliun. Kebijakan ini tertuang dalam RAPBN 2026 dan diposisikan sebagai penutup defisit serta penopang belanja prioritas negara.
• Instrumen Dorong Hilirisasi dan Pasokan Domestik
Bea keluar dirancang untuk menahan laju ekspor batu bara mentah dan menggeser insentif ke hilirisasi. Pemerintah ingin memastikan pasokan dalam negeri aman dan investasi ke gasifikasi serta industri turunan lebih menarik. Krisis pasokan PLTU 2021–2023 jadi pelajaran utama.
• Dampak Daya Saing Dinilai Masih Terkendali
Perhitungan NEXT Indonesia Center menunjukkan potensi bea sekitar Rp19 triliun dengan tarif tengah 2,5 persen. Data global memperlihatkan harga batu bara Indonesia masih jauh di bawah rata-rata dunia. Risiko penurunan daya saing dinilai terbatas jika tarif fleksibel dan mengikuti harga pasar.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Pemerintah Indonesia berencana mengaktifkan kembali bea keluar atau pungutan ekspor batu bara mulai 2026. Untuk apa kebijakan itu diberlakukan?
Pungutan ekspor untuk batu bara terakhir kali diberlakukan pada periode 2005–2006, kemudian dihapus selama hampir dua dekade. Kini, rencana kembalinya pungutan ekspor tersebut tertulis dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 pada bagian “perluasan basis bea keluar”. Soal pengaturan teknisnya, dalam RAPBN dinyatakan akan mengacu pada peraturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Keputusan ini menandai perubahan besar dalam arah kebijakan sektor energi dan fiskal Indonesia. Maklum, batu bara selama ini menjadi salah satu sumber penerimaan negara terbesar sekaligus penopang utama sistem ketenagalistrikan nasional.
Mengingat Indonesia adalah eksportir batu bara terbesar di dunia, kebijakan ini diperkirakan membawa dampak luas. Ada kombinasi alasan fiskal, tata kelola sektor energi, insentif hilirisasi, hingga stabilisasi pasokan domestik yang menjadi dasar kebijakan tersebut.
Dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung DPR, Senin (8/12/2025), Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa pendapatan bea keluar batu bara tersebut dapat menutupi defisit APBN. Purbaya menyebut, bea yang bakal masuk dari ekspor komoditas itu diperkirakan mencapai Rp20 triliun.
Saat ini pemerintah memang tengah menghadapi kebutuhan anggaran yang besar. Dana itu, terutama untuk membiayai program prioritas pemerintah, penguatan pertahanan, subsidi energi, hingga transisi energi menuju sistem yang lebih bersih. Dalam konteks ini, pengaktifan kembali bea keluar dapat menjadi instrumen yang tidak hanya memperkuat penerimaan negara, tetapi juga memberikan fleksibilitas fiskal saat harga batu bara global sedang tinggi.
Kebijakan pungutan ekspor juga terkait erat dengan strategi hilirisasi. Selama ini, tingginya keuntungan dari ekspor batu bara mentah membuat investasi ke sektor hilir—seperti gasifikasi dimetil eter (DME), coal-to-chemicals, atau diversifikasi energi—jadi kurang menarik.
Melalui kebijakan bea keluar, struktur insentif diharapkan berubah, sehingga nilai tambah lebih banyak diciptakan di dalam negeri. Pemerintah sepertinya ingin memastikan bahwa batu bara tidak hanya menjadi komoditas ekspor, tetapi juga bahan baku industri yang menghasilkan manfaat ekonomi lebih luas.
Pada publikasi ini, NEXT Indonesia Center coba menghitung potensi penerimaan negara dari penerapan bea terhadap ekspor batu bara. Apakah sesuai dengan hasil perhitungan pemerintah yang mencapai Rp20 triliun tersebut?
Maju-Mundur Bea Ekspor Batu Bara
Selama ini, meski dasar hukum bea ekspor sudah ada sejak lama, batu bara jarang tersentuh oleh instrumen tersebut. Satu-satunya periode ketika batu bara dikenai pungutan ekspor hanya pada periode 2005–2006, saat pemerintah ingin menjaga kecukupan pasokan dalam negeri di tengah lonjakan harga global.
Setelah pungutan itu dicabut pada 2006, batu bara kembali berada di luar daftar komoditas kena bea keluar. Penerimaan dari sektor ini lebih banyak berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mineral dan batu bara (minerba)—berupa pungutan royalti—dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Tabel di bawah ini merangkum sejarah pungutan pada komoditas batu bara hingga tahun ini.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, situasi ekonomi nasional kini berubah. Pemerintah menghadapi kebutuhan fiskal yang besar untuk beragam proyek pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan instrumen yang dapat memperkuat penerimaan negara. Salah satu yang ditilik bakal efektif adalah pengaktifan kembali bea keluar batu bara.
Potensi penerimaan bea keluar komoditas memang sangat besar. Indonesia, sejak sekitar tahun 2006, dikenal sebagai pengekspor batu bara dengan volume terbesar di dunia. Gelar itu bertahan hingga saat ini.
Sejak harga batu bara internasional melonjak hingga mencapai US$400 per ton pada 2022, produksi nasional terus digenjot dan menorehkan rekor. Tahun 2023, produksi batu bara tercatat 775 juta ton dan kembali melonjak menjadi 836 juta ton pada 2024. Hingga Oktober 2025, produksinya telah mencapai 661,2 juta ton.
Jadi, realisasi produksi selalu di atas target nasional. Dalam 30 tahun terakhir, meski tampak fluktuatif, volume ekspor cenderung terus meningkat.
Kontribusi batu bara terhadap penerimaan negara juga relatif besar. Data Kementerian Keuangan pada tabel di bawah menunjukkan Kontribusinya terhadap PNBP dalam tiga tahun terakhir, meski fluktuatif, selalu berada di atas 10%. Dengan demikian, tambahan pendapatan berupa bea masuk dari komoditas SDA ini bakal membantu menggemukkan dompet negara.
Selain tambahan cuan, bea ekspor batu bara juga akan membantu menyeimbangkan kembali preferensi produsen—dari kecenderungan mengekspor menjadi pemenuhan kebutuhan domestik. Krisis pasokan batu bara untuk PLTU pada priode 2021–2023 menjadi pelajaran penting. Saat itu, produsen jor-joran mengekspor batu bara karena harga dunia meroket, sehingga pemenuhan kebutuhan nasional terpinggirkan.
Kehadiran bea keluar bisa mengerem hasrat ekspor. Dengan begitu, pasokan pasar domestik lebih terjamin, tanpa harus menggunakan kebijakan ekstrem, seperti larangan ekspor.
Utak-atik Potensi Pendapatan Negara dari Bea Keluar
Pertanyaan besarnya: berapa potensi uang masuk ke kas negara saat bea ekspor batu bara ditetapkan?
Hingga hasil riset ini terbit, pemerintah, baik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun Kementerian Keuangan, belum merilis rumus baku penghitungan bea keluar bagi komoditas batu bara yang akan diterapkan mulai 2026. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa baru menyatakan besaran tarifnya antara 1-5% dari nilai ekspor. Mekanismenya bisa fleksibel, menyesuaikan dengan kualitas batu bara dan kondisi pasar global saat itu.
Sementara, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Tri Winarno, mengatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan formula untuk bea tersebut beserta struktur tarifnya. Tri menolak mengungkapkan rinciannya kepada publik, namun ia memastikan bahwa bea itu tak akan diterapkan saat harga pasar merosot.
“Kita harus menghitung bagaimana industri tetap bisa berkelanjutan sementara negara juga menerima penerimaan yang optimal. Jangan sampai kita menciptakan situasi di mana perusahaan-perusahaan bangkrut karena beban keuangan tambahan,” jelas Tri, dikutip Petromindo.com.
NEXT Indonesia Center coba menghitung potensi penerimaan negara dari bea keluar batu bara jika diberlakukan mulai tahun 2026. Rumus yang digunakan sama dengan yang digunakan pemerintah saat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 95/PMK.02/2005 tentang Penetapan Tarif Pungutan Ekspor Atas Batu Bara diberlakukan.
Pungutan Ekspor = Tarif × Harga Patokan Ekspor (HPE) × Jumlah Satuan Barang × Kurs
Ketentuan tambahan:
• Tarif dan HPE yang berlaku adalah tarif/HPE pada saat Pemberitahuan Ekspor Barang (PBE) didaftarkan.
• Jika HPE tidak tersedia, digunakan nilai freight on board
(FOB), yaitu biaya-biaya terkait hingga barang berada di atas kapal di pelabuhan muat. Rumusnya sebagai berikut: Pungutan Ekspor = Tarif x Jumlah Satuan x Hara FOB x Kurs.
• Nilai kurs yang digunakan adalah kurs yang berlaku saat pembayaran pungutan.
Selain rumus di atas, dalam simulasi ini NEXT Indonesia Center hanya mengacu kepada volume ekspor jenis batu bara yang masuk kode Harmonized System (HS Code) 2701, yaitu batu bara dan briketnya. Jadi, tidak termasuk lignit (batu bara termuda dan berkualitas paling rendah) yang masuk kode HS 2702.
Sedangkan volume ekspor batu bara pada tahun 2026 diperkirakan dari angka tren ekspor dalam 10 tahun terakhir, yang dibagi menjadi perkiraan volume pesimis, moderat, dan optimis. Pembagian yang sama juga diberlakukan pada Harga Patokan Ekspor (HPE), dan kurs dolar AS terhadap rupiah.
Untuk besaran tarif, NEXT Indonesia Center mematok nilai tengah antara 1-5%, yaitu 2,5%. Hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Hasil hitungan NEXT Indonesia Center menunjukkan pada versi optimis, potensi penerimaan dari bea keluar batu bara dapat mencapai Rp19 triliun pada 2026. Angka itu tidak terpaut jauh dari hitungan Menteri Purbaya yang mencapai Rp20 triliun.
Menghitung Potensi Penurunan Daya Saing
Ada banyak kekhawatiran yang muncul di media: akibat penetapan bea keluar, harga batu bara asal Indonesia akan mahal, sehingga mengurangi daya saing di pasar global. Apalagi, sudah tabiat konsumen untuk mencari produk yang lebih murah.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Indonesia Mining Association (IMA), dan Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) sudah menyuarakan bahwa tambahan pungutan berpotensi menekan margin dan daya saing di dunia. Apalagi, menurut mereka, tren harga batu bara tengah menurun, sementara ongkos produksi terus naik.
“Menurut saya jika tetap dikeluarkan semestinya setelah HBA (Harga Batu Bara Acuan) berada di atas US$160 per ton. Juga sebaiknya dengan tiered basis seperti royalti, sehingga bea keluar berbeda atas harga yang berbeda,” kata Ketua IMEF Singgih Widagdo, dikutip Kontan.
Akan tetapi, data International Trade Center (ITC) menunjukkan data berbeda. Harga jual batu bara Indonesia, setidaknya pada periode 2020-2024, selalu sekitar 32,6% di bawah harga rata-rata dunia. Oleh karena itu, ditambah bea keluar sebesar 5% pun masih terbuka ruang lebar bagi produsen batu bara Indonesia untuk bersaing di pasar dunia.
Sebagai contoh, harga freight on board (FOB) batu bara Indonesia tahun 2024 tercatat US$75,1/ton, lebih rendah 35,2% di bawah rata-rata harga dunia yang saat itu mencapai US$116,0/ton. Hitung-hitungan kasarnya, tambahan 5% bea ekspor akan menaikkan harga batu bara asal Indonesia menjadi sekitar US$78,9 per ton. Jadi, hanya lebih mahal dari batu bara asal Kazakhstan dan masih jauh lebih murah dari delapan negara pengekspor batu bara besar lainnya.
Arah Baru Ekspor Batu Bara Indonesia
Rencana penerapan kembali bea ekspor batu bara mulai 2026 menandai perubahan penting dalam cara Indonesia mengelola salah satu komoditas strategisnya. Setelah hampir dua dekade tanpa pungutan ekspor, pemerintah kini melihat bahwa batu bara—sebagai penopang energi dan salah satu sumber penerimaan negara terbesar—perlu dikelola dengan kerangka fiskal yang lebih adaptif terhadap kebutuhan pembangunan.
Kebijakan tersebut hadir di tengah kebutuhan pembiayaan negara yang meningkat dan dorongan untuk menyeimbangkan kembali orientasi sektor mineral dan batu bara: antara ekspor, hilirisasi, dan pemenuhan kebutuhan domestik.
Meski demikian, kekhawatiran pelaku industri tidak dapat diabaikan. Mereka menilai bahwa pungutan tambahan dapat menekan margin di tengah tren harga yang cenderung melemah. Karena itu, kunci keberhasilan kebijakan ini terletak pada timing dan desain aturan yang tepat, misalnya dengan menyusun formula penghitungan yang transparan atau aturan diterapkan saat harga tinggi, ditahan ketika harga rendah.
NEXT Indonesia Center melihat ada beberapa langkah yang dapat memperkuat efektivitas kebijakan ini. Pertama, pemerintah perlu mempertimbangkan struktur tarif berjenjang yang mengikuti pergerakan harga dan kualitas batu bara. Kedua, bea ekspor harus selaras dengan agenda hilirisasi agar Indonesia tidak terus mengekspor sumber daya mentah tanpa nilai tambah. Ketiga, mekanisme evaluasi berkala perlu disiapkan untuk menyesuaikan kebijakan dengan dinamika pasar global.
Dengan pendekatan yang lebih luwes dan berbasis data, bea ekspor batu bara dapat menjadi instrumen yang bukan hanya mengisi kas negara, tetapi juga mengarahkan sektor energi Indonesia menuju struktur yang lebih kuat dan berkelanjutan.