Akal-akalan di Ekspor Batu Bara
26 Desember, 2025
Aktivasi bea ekspor batu bara menaikkan penerimaan negara sekaligus menutup celah manipulasi dalam aktivitas ekspor.
Keterangan foto: Ilustrasi timbangan batu bara.
Ringkasan
• Tambang Ilegal Membuka Celah Misinvoicing
Maraknya tambang batu bara ilegal di IKN dan Muara Enim menunjukkan pengawasan hulu lemah. Produksi tidak tercatat masuk ke jalur resmi lewat dokumen perusahaan berizin. Kondisi ini membuat data produksi, distribusi, dan ekspor tidak sinkron. Celah ini memudahkan manipulasi nilai dan volume ekspor.
• Lonjakan Harga Selalu Diikuti Kebocoran Nilai
Data UN Comtrade menunjukkan misinvoicing terjadi berulang saat harga batu bara melonjak, terutama 2008 dan 2022. Under-invoicing dan over-invoicing mencapai miliaran dolar. India menjadi tujuan dengan nilai misinvoicing terbesar karena volume besar dan variasi kualitas. Selisih kecil per ton menghasilkan dana gelap besar.
• Bea Ekspor Perlu Didukung Reformasi Data
Bea ekspor batu bara sejak 2026 berpotensi menambah penerimaan dan menekan manipulasi nilai. Namun instrumen ini tidak cukup berdiri sendiri. Pemerintah perlu integrasi data produksi dan ekspor lintas lembaga. Verifikasi kualitas harus real-time. Tanpa itu, kebocoran akan tetap terjadi.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Dalam satu bulan terakhir, publik kembali disuguhi deretan temuan aktivitas tambang batu bara ilegal di berbagai daerah—mulai dari kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur hingga Kabupaten Muara Enim di Sumatra Selatan. Penertiban yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta aparat penegak hukum mengungkap skala operasi yang jauh lebih luas dari sekadar cemilan aktivitas tanpa izin.
Ribuan ton batu bara disita, alat berat diamankan, dan tersangka yang diduga menjadi investor jaringan ilegal ditangkap. Di Muara Enim, sekitar 1.430 ton batu bara ilegal ditemukan di tiga lokasi penampungan, sementara di Kalimantan Timur aparat mengidentifikasi ratusan hektare aktivitas tambang ilegal yang bahkan merambah kawasan konservasi seperti Taman Hutan Rakyat (Tahura)1 Bukit Soeharto.
1.Kawasan pelestarian alam yang dikelola pemerintah daerah untuk tujuan konservasi, pendidikan, penelitian, rekreasi, dan pariwisata alam.
Rangkaian kasus tersebut menyoroti masalah struktural dalam tata kelola sektor batu bara. Bukan hanya soal penambangan tanpa izin, tetapi juga tentang lemahnya pengawasan lintas rantai produksi—mulai dari pencatatan volume, pergerakan komoditas, hingga pemanfaatan dokumen perizinan. Bahkan wilayah konsesi resmi milik PT Bukit Asam (PTBA) pun turut disusupi aktivitas ilegal, menegaskan bahwa praktik-praktik ini mampu menembus sistem yang seharusnya terkontrol dengan baik.
Konteks ini relevan untuk memahami isu yang berada di hilir rantai nilai, yaitu misinvoicing ekspor batu bara. Jika arus fisik komoditas di dalam negeri saja belum tercatat secara akurat, maka ketidaksesuaian antara volume dan nilai ekspor yang dilaporkan—baik melalui under-invoicing, over-invoicing, manipulasi nilai kalori, hingga penyalahgunaan Harmonized System code (kode HS)—menjadi lebih mungkin terjadi.
Sekadar mengingatkan, misinvoicing merupakan kekeliruan pada faktur ekspor, sehingga data yang dicatat oleh negara asal (pengirim) tidak selaras dengan data pabean negara penerima. Sedangkan under-invoicing –sebagai contoh pada kasus ekspor– pelaporan nilai ekspor di negara asal lebih rendah dibandingkan nilai pada catatan impor di negara tujuan. Untuk over-invoicing dalam kasus yang sama, catatan ekspor komoditas di negara asal lebih besar dibandingkan catatan impor di negara tujuan.
Misinvoicing tidak hanya bersandar pada rekayasa dokumen di pelabuhan ekspor. Bisa juga terjadi pada ketidakberesan data di hulu, termasuk potensi masuknya batu bara ilegal ke aliran perdagangan formal melalui berbagai modus penyamaran asal komoditas.
Temuan lapangan tentang tambang ilegal memperlihatkan potensi besar terjadinya kekeliruan data, yakni berupa produksi yang tidak tercatat, penjualan yang tidak dilaporkan, dan pemanfaatan dokumen perusahaan berizin untuk mengalirkan produk ilegal. Semua ini menciptakan celah antara realisasi produksi, distribusi, dan ekspor dalam basis data pemerintah. Celah tersebut merupakan prasyarat utama terjadinya misinvoicing.
Dalam riset ini NEXT Indonesia Center akan menguraikan misinvoicing pada perdagangan komoditas batu bara, di mana celahnya, dan bagaimana pemerintah dapat memperkuat sistem pengawasan produksi serta ekspor untuk menutup ruang terjadinya aliran dana gelap (illicit financial flows) di sektor tersebut.
Menggenjot Penerimaan dari Batu Bara
Mulai tahun 2026, pemerintah telah memutuskan untuk menggenjot penerimaan dari ekspor batu bara. Caranya, memberlakukan kembali bea keluar batu bara yang terakhir kali berlaku 20 tahun lalu. Saat ini, pengusaha batu bara hanya dikenakan biaya royalti dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang kerap 0%.
Pendapatan pemerintah dari batu bara ini menjadi penting di tengah kebutuhan fiskal yang besar untuk pembiayaan beragam proyek pembangunan. Apalagi, Indonesia sejak tahun 2006 telah menjadi salah satu pengekspor batu bara terbesar dunia. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir, volume ekspor batu bara Indonesia menempati peringkat teratas dunia, mengungguli Australia.
Produksi dan volume ekspor batu bara Indonesia juga terus ditingkatkan, terutama sejak harganya di pasar internasional melonjak hingga sekitar US$400 per ton pada tahun 2022. Tahun 2023, produksi batu bara mencatat rekor baru 775 juta ton dan rekor itu dilampaui setahun kemudian dengan produksi 836 juta ton. Hingga Oktober 2025, produksi batu bara nasional telah mencapai 661,2 juta ton.
Grafik di bawah menunjukkan bahwa dalam 30 tahun terakhir, meski tampak fluktuatif, volume ekspor cenderung terus meningkat. Sementara porsi batu bara yang diekspor tampak cenderung menurun, bahkan sudah berada di bawah 50% dari total produksi, yakni sekitar 49% pada 2023 dan 48,53% pada 2024.
Tujuan utama pemerintah ingin mengenakan bea ekspor batu bara tentu untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sumber daya alam di tengah volatilitas harga global. Selama ini, penerimaan negara dari komoditas tersebut sangat bergantung pada royalti dan pajak yang bersifat pro-siklus, sehingga tidak selalu sebanding dengan lonjakan keuntungan eksportir saat harga tinggi.
Bea ekspor dipandang sebagai instrumen tambahan untuk menangkap windfall profit–penambahan penghasilan akibat kenaikan harga–, seperti ketika harga melonjak pada akhir tahun 2021 hingga awal 2023 (lihat grafik di bawah). Selain itu, bea ekspor juga dapat memperluas basis penerimaan negara, sekaligus memperkuat konsolidasi fiskal ketika kebutuhan belanja negara meningkat dan ruang pembiayaan perlu dijaga.
Apalagi, ekspor batu bara sejauh ini berkontribusi relatif besar terhadap total ekspor Indonesia. Kontribusi tersebut mencapai titik tertinggi, US$46,8 miliar pada 2022, ketika harga batu bara tengah tinggi-tingginya. Tahun itu nilai ekspor batu bara menyumbang 16,01% dari total nilai ekspor Indonesia yang tercatat US$292,2 miliar. Sementara, data 10 tahun terakhir menunjukkan sumbangsih batu bara rata-rata mencapai 11,32% dari total ekspor nasional.
Selain alasan fiskal, bea ekspor juga memiliki fungsi tata kelola dan struktural. Pungutan atas ekspor bahan mentah diharapkan dapat menahan hasrat ekspor berlebihan, memberi napas hilirisasi, serta memperkuat pengawasan atas volume dan nilai ekspor batu bara.
Dalam konteks maraknya tambang ilegal dan potensi misinvoicing, bea ekspor menjadi alat untuk menutup celah under-invoicing (nilai barang dilaporkan lebih rendah dari nilai yang sesungguhnya diekspor), sekaligus memastikan bahwa eksploitasi SDA memberikan manfaat yang lebih adil dan berkelanjutan bagi negara.
Penadah Utama Batu Bara Indonesia
Pada periode 2020-2024, Indonesia mengekspor total 1,8 miliar ton batu bara ke seluruh dunia. Ke mana sebagian besar ekspor komoditas batu bara Indonesia berlabuh? Jawabannya adalah India. Sepanjang periode tersebut, Indonesia mengapalkan 496,2 juta ton “emas hitam” ke India. Jumlah tersebut setara dengan 27,08% dari total volume ekspor batu bara sepanjang periode lima tahun itu.
Permintaan besar datang dari India karena kebutuhan pembangkit listrik dan industri skala raksasa yang terus tumbuh. Selain itu, spesifikasi batu bara termal Indonesia, yang umumnya berkalori menengah-rendah, cocok untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang beroperasi di India. Jarak pelayaran Indonesia–India yang relatif dekat melalui Samudra Hindia juga membuat biaya logistik lebih kompetitif dibanding pemasok lain, terutama saat harga global bergejolak.
Pelanggan terbesar kedua adalah Tiongkok. Pada periode waktu yang sama, 415,5 juta ton batu bara Indonesia masuk ke pasar negeri Tirai Bambu itu. Meski berstatus sebagai salah satu produsen batu bara terbesar dunia, negara tersebut tetap butuh mengimpor batu bara sebagai bagian dari manajemen risiko pasokan dan biaya dalam sistem energi yang sangat besar dan dinamis. Sama seperti dengan India, spesifikasi batu bara asal Indonesia juga cocok dengan yang dibutuhkan PLTU di Tiongkok.
Filipina (164,1 juta ton) ada di peringkat ketiga, disusul Malaysia (132,8 juta ton), Jepang (130,6 juta ton), dan Korea Selatan (123,3 juta ton), yang melengkapi lima besar negara tujuan ekspor batu bara Indonesia.
Misinvoicing dan Booming Harga
Keuntungan besar yang ditawarkan dari hasil ekspor batu bara tampaknya terlalu menggoda untuk ditampik pedagang lancung. Tim NEXT Indonesia Center menelusuri data perdagangan antar-negara yang dikumpulkan oleh UN Comtrade dan menemukan bahwa data ekspor batu bara Indonesia memberikan sinyal terjadinya misinvoicing.
Seperti tampak pada grafik di bawah, trade misinvoicing berupa under-invoicing (angka ekspor yang dilaporkan lebih kecil dari sesungguhnya) telah terjadi sejak lama. Puncak under-invoicing, juga yang terbesar hingga sekarang, terjadi pada tahun 2008. Nilainya diperkirakan mencapai US$4,9 miliar.
Pada tahun itu memang terjadi lonjakan harga batu bara dunia, dari antara US$50-70 per ton sepanjang tahun 2007 berdasarkan Newcastle Coal Index2, menjadi kisaran US$180-190 per ton pada pertengahan tahun 2008. Dalam waktu relatif singkat harga naik hampir tiga kali lipat. Lonjakan ini didorong oleh permintaan kuat dari Asia, terutama Tiongkok dan India, keterbatasan pasokan global, serta arus spekulasi komoditas sebelum akhirnya krisis keuangan global meledak.
2. Indeks harga acuan utama untuk kontrak batu bara fisik di pasar Asia.
Namun, menjelang akhir 2008, harga batu bara kembali turun ke kisaran US$60–80 per ton. Pola naik sangat tajam lalu jatuh sangat cepat inilah yang menciptakan ruang besar bagi under-invoicing ekspor. Banyak eksportir batu bara yang kemungkinan besar memanfaatkan lonjakan harga untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan memanipulasi data ekspor.
Terjadinya over-invoicing ekspor (melaporkan nilai ekspor yang lebih besar dari sesungguhnya) juga tampak setiap tahun dan trennya cenderung naik. Bahkan, pada 2024 untuk pertama kali nilai over-invoicing ekspor mencapai sekitar US$3 miliar, melebihi under-invoicing yang tercatat US$1,7 miliar. Artinya, semakin banyak dana gelap masuk ke sistem perbankan nasional dari ekspor batu bara tersebut.
Pola serupa terjadi lagi pada tahun 2022, meski nilai under-invoicing ekspor tidak sebesar pada 2008. Perang Rusia vs. Ukraina yang meledak pada 2022 memicu krisis energi global.
Rusia, pemasok utama gas ke Eropa, dikenakan sanksi oleh Eropa dan sekutunya. Pasokan gas dari Rusia terhambat, sehingga negara-negara Eropa beralih ke batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi mereka.
Akibatnya, permintaan global terhadap batu bara melonjak mendadak. Pasokan batu bara tidak bisa menyesuaikan dengan permintaan secepat itu dan harga pun meroket.
Harga batu bara termal acuan internasional (Newcastle Coal Index) yang pada awal 2021–awal 2022 masih di kisaran US$100–150 per ton, melonjak drastis dan sempat menyentuh US$450 per ton dalam beberapa transaksi. Ini berarti harga naik 3–4 kali lipat dalam waktu kurang dari satu tahun.
Bagi Indonesia, 2022 menjadi tahun windfall batu bara, ketika penerimaan melonjak bukan karena reformasi struktural, melainkan akibat shock harga global. Dampak lonjakan harga tersebut tercermin langsung pada penerimaan negara Indonesia.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melonjak tajam dari Rp189,2 triliun pada 2021 menjadi Rp351 triliun pada 2022, atau meningkat hampir 86% dalam satu tahun. Dari total PNBP ESDM 2022 tersebut, kontribusi sektor mineral dan batu bara (minerba) mencapai sekitar Rp183,4 triliun.
Namun, lonjakan penerimaan tersebut juga membawa konsekuensi tata kelola. Ketika harga meningkat ekstrem dan cepat, selisih antara harga spot, harga kontrak jangka panjang, serta perbedaan kualitas (kalori) batu bara melebar tajam. Kondisi ini memperbesar risiko misinvoicing ekspor, terutama jika pengawasan produksi dan ekspor tidak sepenuhnya terintegrasi.
Misinvoicing Ekspor Batu Bara ke India Capai US$9,7 Miliar
Trade misinvoicing juga membayangi ekspor batu bara Indonesia ke India. Dengan status sebagai tujuan ekspor terbesar, tak heran jika nilai misinvoicing ekspor ke negara tersebut juga menjadi yang terbesar. Dalam 20 tahun terakhir (2005-2024), nilai manipulasi faktur ekspor mencapai US$9,7 miliar, atau sekitar 38% dari total nilai under-invoicing yang sebesar US$26,3 miliar pada periode tersebut.
Nilai misinvoicing ekspor batu bara Indonesia ke India cenderung besar. Ini bukan anomali satu atau dua tahun, melainkan pola yang berulang ketika harga tinggi (lihat tabel di atas).
Faktor utama yang kemungkinan menjadi penyebabnya adalah kenyataan bahwa India mengimpor batu bara Indonesia dalam jumlah yang besar dan rentang kualitas yang lebar, terutama yang digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara sebagai energi primer. Akibatnya, muncul peluang untuk memanipulasi harga.
Eksportir bisa menurunkan nilai invoice dengan alasan kualitas, padahal harga riil yang dibayarkan pembeli di India jauh lebih tinggi. Bagi otoritas kepabeanan, perbedaan ini sulit diverifikasi tanpa pengujian kualitas yang ketat dan real-time.
Eksportir juga bisa saja menjual batu bara tersebut ke anak usaha (trading arm) di yurisdiksi lain dengan harga murah, baru kemudian mengirimkannya ke India. Praktik ini dapat membuat nilai ekspor di Indonesia tercatat kecil, tetapi biaya impor yang dibayarkan pembeli di India justru besar.
Kemudian, lonjakan harga global memperbesar insentif ekonomi untuk misinvoicing. Pada periode seperti 2008 dan terutama 2022, harga batu bara melonjak ekstrem. Setiap US$10–20 per ton selisih harga berarti nilai yang sangat besar ketika volume ekspor mencapai puluhan atau ratusan juta ton. Dalam situasi ini, eksportir menjadikan under-invoicing sebagai cara cepat untuk menyimpan keuntungan di luar sistem finansial Indonesia. Apalagi tidak ada bea ekspor yang harus dibayar.
Singkatnya, besarnya misinvoicing ekspor batu bara ke India terjadi karena terjalinnya tiga hal: volume yang tambun, fleksibilitas kualitas dan kontrak, serta lemahnya integrasi pengawasan produksi dan ekspor.
Selama struktur tersebut tidak dibenahi—misalnya lewat penguatan verifikasi kualitas, integrasi data produksi-ekspor, dan instrumen fiskal seperti bea ekspor—India akan tetap muncul sebagai mitra dagang dengan nilai misinvoicing terbesar dalam statistik Indonesia.
Bea Ekspor Sebagai Instrumen Ganda
Temuan tambang batu bara ilegal, perbedaan data ekspor antar-lembaga, serta pola trade misinvoicing yang berulang menunjukkan bahwa persoalan sektor batu bara Indonesia bersifat struktural, bukan insidental. Misinvoicing ekspor tidak muncul secara tiba-tiba di pelabuhan, melainkan berakar dari ketidakberesan pencatatan di hulu hingga hilir, mulai dari produksi, kualitas, distribusi, hingga pelaporan nilai ekspor.
Lonjakan harga batu bara dunia pada 2008 dan 2022 membuktikan bahwa periode commodity boom selalu menjadi ujian terberat tata kelola. Windfall penerimaan negara dapat terjadi bersamaan dengan meningkatnya risiko kebocoran nilai melalui under-invoicing, terutama ketika volume ekspor sangat besar dan pengawasan lintas data belum terintegrasi secara memadai.
Rencana pengenaan kembali bea ekspor batu bara perlu dilihat sebagai instrumen ganda. Ia bukan semata untuk menggenjot penerimaan negara, tetapi juga sebagai mekanisme disiplin fiskal dan tata kelola perdagangan. Bea ekspor dapat mempersempit ruang manipulasi nilai ekspor, sekaligus menjadi alat cross-check antara data produksi, penjualan, dan ekspor.
Ke depan, pemerintah perlu memperkuat integrasi data produksi–ekspor lintas kementerian/lembaga, termasuk penyelarasan pencatatan antara ESDM, BPS, Bea Cukai, dan sistem perdagangan internasional. Verifikasi kualitas batu bara secara lebih ketat dan real-time juga menjadi kunci untuk menutup celah manipulasi nilai berbasis perbedaan kalori.
Tanpa pembenahan struktural tersebut, misinvoicing akan terus menjadi momok dalam ekspor batu bara Indonesia—menggerus penerimaan negara, merusak kredibilitas data perdagangan, dan melemahkan tujuan keadilan pengelolaan sumber daya alam. Bea ekspor hanya akan efektif jika ditempatkan sebagai bagian dari reformasi tata kelola yang lebih menyeluruh, bukan sebagai kebijakan fiskal yang berdiri sendiri.