Insight  By Editorial Desk

Mengukur Ketahanan Energi Indonesia

01 Mei, 2025

Indonesia ada di urutan ke-5 di ASEAN untuk urusan ketahanan energi. Masih banyak pekerjaan rumah, walaupun kinerja ketahanan energi nasional membaik.

Ilustrasi kabel hampir putus - NEXT Indonesia Center

Keterangan foto: Ilustrasi kabel hampir putus.

DOWNLOADS


cover white paper mengukur ketahanan energi indonesia.jpeg

Mengukur Ketahanan Energi Indonesia

Download

Ringkasan
• Ketahanan dan Kemandirian Energi Jadi Prioritas Nasional

Presiden Prabowo menegaskan swasembada energi sebagai target besar pemerintahannya untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan menghadapi ketidakpastian geopolitik global. Ketahanan energi dipandang sebagai fondasi penting bagi kedaulatan ekonomi, stabilitas sosial, serta pembangunan berkelanjutan Indonesia.
• Posisi Indonesia di Indeks Ketahanan Energi Dunia Masih Moderat
Berdasarkan World Energy Trilemma Index 2024, Indonesia menempati peringkat ke-58 dunia dengan skor total 60,5. Kinerja baik terlihat pada keamanan energi, namun masih lemah pada aspek keadilan energi dan keberlanjutan lingkungan, terutama karena dominasi energi fosil dalam bauran energi nasional.
• Tantangan Utama: Ketergantungan Fosil dan Transisi Energi Bersih
Meskipun akses dan harga energi di Indonesia relatif baik, ketergantungan pada batu bara dan impor LPG masih tinggi. Upaya menuju energi ramah lingkungan terus dilakukan, termasuk peningkatan bauran energi baru terbarukan (EBT) dan pembentukan Satgas Ketahanan Energi untuk mempercepat transisi menuju sumber energi bersih di masa depan.

NEXT Indonesia Center - Ketahanan dan kemandirian energi berperan penting bagi keberlangsungan sebuah bangsa, tak terkecuali Indonesia. Pasokan energi yang ideal mesti mencukupi ke seluruh pelosok negeri, mudah dan murah aksesnya, lebih baik lagi jika sebagian besar energi tersebut merupakan produksi sendiri atau mandiri.

Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa dan kebutuhan energi yang terus meningkat, penguatan sektor tersebut memang perlu menjadi prioritas strategis. Ketersediaan energi yang stabil dan terjangkau sangat vital bagi aktivitas ekonomi, mulai dari industri, transportasi, hingga rumah tangga.

Ketahanan energi, dengan demikian, menjadi faktor kunci bagi pertumbuhan ekonomi nasional serta stabilitas sosial Indonesia. Kebijakan ini sulit untuk ditawar.

Presiden Prabowo sudah menegaskan bahwa ketahanan dan swasembada (kemandirian) energi adalah salah satu target besar pemerintahannya. Pernyataan ini disampaikan saat pidato pertama sebagai Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024. Ketergantungan pada sumber energi dari luar negeri, katanya, menjadi ancaman serius di tengah ketidakpastian geopolitik dunia.

“Kalau terjadi hal yang tidak kita inginkan, kita akan sulit mendapatkan sumber energi dari negara lain. Oleh karena itu, kita harus swasembada energi dan kita mampu untuk swasembada energi,” kata Presiden ke-8 itu di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, ketahanan energi didefinisikan sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Sementara kemandirian energi, pada PP yang sama, dijelaskan sebagai terjaminnya ketersediaan energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari sumber dalam negeri.

Melalui white paper ini NEXT Indonesia Center coba menggambarkan kondisi energi Indonesia saat ini dengan melihat tingkat ketahanan energi Indonesia di dunia dan ASEAN, serta perkembangan komponen-komponen yang menjadi tolok ukurnya.

“Kalau terjadi hal yang tidak kita inginkan, kita akan sulit dapat sumber energi dari negara lain. Oleh karena itu, kita harus swasembada energi dan kita mampu untuk swasembada energi.” - Presiden Prabowo Subianto.

Indonesia Nomor 58 di Dunia

Saat ini, alat ukur ketahanan energi yang sahih dan diakui dunia adalah Indeks Trilema Energi Dunia (World Energy Trilemma Index) yang dirilis setiap tahun sejak 2010 oleh Konsil Energi Dunia (World Energy Council/WEC). Organisasi yang berdiri sejak 1923 ini menyebut dirinya sebagai  “sebuah jaringan komunitas energi global yang independen dan imparsial.”

Pada dasarnya, Indeks Trilema adalah nilai kinerja sistem energi sebuah negara berdasarkan tiga dimensi, yaitu:

• Keamanan energi (energy security)

Mengukur kapasitas suatu negara untuk memenuhi permintaan energi saat ini dan masa depan dengan andal, serta kemampuan untuk bertahan dan bangkit kembali dengan cepat dari guncangan sistem dengan gangguan minimal pada pasokan. Dimensi ini mencakup efektivitas pengelolaan sumber energi domestik dan eksternal, serta keandalan dan ketahanan infrastruktur energi.

• Keadilan energi (energy equity)

Kemampuan suatu negara untuk menyediakan akses energi yang andal, terjangkau, dan universal untuk penggunaan domestik dan komersial. Dimensi ini menangkap akses dasar terhadap listrik dan bahan bakar serta teknologi memasak bersih, akses ke tingkat konsumsi energi yang memungkinkan kesejahteraan, serta keterjangkauan listrik, gas, dan bahan bakar.

• Keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability)

Keselarasan kebijakan dan praktik energi suatu negara dengan tujuan keberlanjutan, seperti adopsi energi terbarukan, efisiensi energi, dan pengurangan emisi karbon. Dimensi ini berfokus pada produktivitas dan efisiensi pembangkit energi, transmisi dan distribusi, dekarbonisasi, serta kualitas udara.

Keseimbangan tiga dimensi tersebut, menurut WEC, memungkinkan terwujudnya kemakmuran dan dapat meningkatkan daya saing sebuah negara.

Dalam Indeks Trilema Energi Dunia 2024, yang menghitung data energi tahun 2023, Indonesia menempati peringkat ke-58 dari 108 negara dengan skor total 60,5. Secara rinci, Indonesia mendapat poin 66,4 untuk keamanan energi, 57 dalam keadilan energi, dan 60,6 untuk keberlanjutan lingkungan.

Sebagai perbandingan, posisi nomor 1 dalam daftar indeks Trilema ini diduduki Denmark dengan skor 83,2. Peringkat terbawah adalah Nigeria dengan skor 27,7.

Sementara, bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam.

Dari tiga dimensi yang diukur, kelemahan kinerja sistem energi Indonesia tampak ada pada komponen keadilan energi (energy equity). Meski demikian, bila melihat perkembangan 10 tahun terakhir, skor keadilan energi di Indonesia terus membaik setelah sempat jatuh pada tahun 2011. Artinya, walau belum sempurna, energi di Indonesia semakin mudah diakses dan harganya terjangkau.

Keamanan energi (energy security) Indonesia juga tumbuh membaik, termasuk meningkatnya kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik dari 30.915,35 Megawatt pada akhir 2009 menjadi 72.976,3 Megawatt pada akhir 2023, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Di ASEAN, skor keamanan energi Indonesia hanya kalah dari Malaysia.

Penurunan skor terjadi pada komponen keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability). Sumber energi dalam kehidupan sehari-hari warga Indonesia yang sebagian besar dari bahan bakar fosil (batu bara, gas, minyak) menjadi penyebab utama belum membaiknya komponen ini.

Terkait keberlanjutan lingkungan ini, Energy security score Enviromental sustainability score Energy equity score pemerintah telah memasang target untuk menggunakan 100% energi terbarukan dan ramah lingkungan dalam 10 tahun mendatang. Bahkan pada 20 Januari 2025, Presiden Prabowo telah meresmikan 37 proyek strategis nasional ketenagalistrikan, yang seluruhnya dari energi bersih dan terbarukan.

Merumuskan Ketahanan Energi Indonesia

Pemerintah Indonesia memiliki komponen tersendiri untuk mengukur ketahanan energi. Komponen tersebut ditetapkan oleh Dewan Energi Nasional (DEN), lembaga mandiri beranggotakan perwakilan pemerintah dan pemangku kepentingan energi nasional.

DEN, yang berdiri berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2008 tentang Pembentukan Dewan Energi Nasional dan Tata Cara Penyaringan Calon Anggota Dewan Energi Nasional, bertugas untuk merancang Kebijakan Energi Nasional (KEN), menetapkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), menetapkan langkah penanggulangan krisis energi, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan energi yang bersifat lintas sektor.

Ada empat komponen penentu ketahanan energi yang ditetapkan oleh DEN, yaitu:

1. Ketersediaan energi (availability): Ketersediaan energi dan sumber energi baik dari domestik maupun luar negeri.

2. Kemampuan akses (accessibility): Kemampuan untuk mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk mengatasi tantangan geografik dan geopolitik.

3. Harga terjangkau (affordability): Keterjangkauan biaya investasi energi, mulai dari biaya eksplorasi, produksi, dan distribusi, hingga keterjangkauan konsumen terhadap harga energi.

4. Ramah lingkungan (acceptability): Penggunaan energi yang peduli lingkungan (darat, laut, dan udara) termasuk penerimaan masyarakat (nuklir dan sebagainya).

Bila dicermati, empat komponen ketahanan energi DEN tersebut, yang juga dikenal dengan sebutan 4A, serupa dengan komponen Indeks Trilema Energi versi WEC. Hanya saja DEN menetapkan kemampuan akses dan harga terjangkau sebagai dua komponen berbeda, sementara pada Indeks Trilema keduanya masuk menjadi bagian dari energy equity.

Kemudian DEN menetapkan skor kategori ketahanan energi sebagai berikut:

• Sangat Tahan: 8,00-10,00

• Tahan: 6,00-7,99

• Kurang Tahan: 4,00-5,99

• Rentan Tahan: 2,00-3,99

• Sangat Rentan: 0,00-1,99

Hasil perhitungan terbaru DEN yang diumumkan pada tahun 2024, skor ketahanan energi Indonesia tercatat mencapai 6,64. Dengan demikian masuk pada kategori “Tahan” versi DEN. Skor yang tidak terpaut jauh dari Indeks Trilema WEC.

Menurut DEN, beberapa hal yang menjadi penyebab belum tercapainya kategori “sangat tahan” adalah karena belum teratasinya persoalan impor energi, keterbatasan infrastruktur, dan persoalan subsidi- pengaturan harga energi.

Berikut kondisi energi Indonesia saat ini berdasarkan empat komponen ketahanan energi yang ditetapkan Dewan Energi Nasional tersebut.

Ketersediaan Energi (Availability) Dilema Dominasi Batu Bara

Hingga saat ini, pemerintah masih bisa memenuhi sebagian besar kebutuhan energi nasional, baik dari produksi dalam negeri maupun dengan mengimpor sumber energi dari negara lain.

Satu hal yang tak dapat dipungkiri, ketergantungan Indonesia terhadap sumber energi fosil masih sangat besar. Batu bara masih menjadi bagian terbesar dari bauran energi di Tanah Air. Saat ini Indonesia masuk dalam 10 besar negara penghasil batu bara. Sekitar 3,2% cadangan batu bara dunia, dengan volume 34.869 juta ton, terkubur di negeri ini.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa produksi batu bara pada 2023 mencapai 2,7 miliar barel setara minyak (BOE), jauh meninggalkan jenis sumber energi lainnya. Sekitar 67% hasil produksi tersebut dikapalkan ke luar negeri, sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Dengan demikian, meski termasuk energi “kotor”, sumbangan ekspor batu bara terhadap devisa negara masih terbilang besar.

Akan tetapi, meskipun cadangannya melimpah, ketergantungan terhadap batu bara ini menciptakan kerentanan, terutama terkait komitmen lingkungan dan peralihan jangka panjang menuju energi yang lebih bersih. Jenis sumber energi yang ramah lingkungan, berdasarkan data di atas, baru berkontribusi sekitar 6,8% dari total pemanfaatan domestik pada tahun 2023.

Hal yang perlu mendapat perhatian adalah ketergantungan terhadap LPG impor yang masih sangat besar. Sekitar 79,8 persen kebutuhan LPG di dalam negeri dipenuhi dari hasil impor. Kondisi ini membuat Indonesia rentan terhadap pergolakan harga LPG dunia juga kondisi geopolitik yang bisa mengganggu rantai suplainya.

Kemudahan Akses (Accessibility) Masih Urutan Lima di Kawasan ASEAN

Akses masyarakat terhadap energi dan sumber energi di Indonesia terbilang cukup baik. Kebutuhan listrik misalnya, per Januari 2025, rasio elektrifikasi nasional dilaporkan mencapai sekitar 99,8 persen, meningkat dari 99,4 persen pada 2023. Ini berarti sebagian besar wilayah dan penduduk Indonesia telah teraliri listrik.

Memang, Indonesia masih belum menyamai Brunei, Malaysia, Singapura, dan Thailand yang 100% wilayah mereka sudah teraliri listrik, tetapi negara-negara tersebut tidak memiliki tantangan geografis yang dihadapi oleh negara kepulauan besar seperti kita. Rasio tersebut juga sudah melebihi rata-rata dunia yang 91,6%.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memaparkan saat ini masih ada 6.700 dusun di 340 kecamatan, atau setara 1,3 juta rumah tangga, yang belum teraliri listrik dari PT PLN (Persero). Beberapa dari mereka memang berswadaya dengan membangun pembangkit listrik sendiri, tetapi biaya operasionalnya mahal lantaran menggunakan BBM sebagai bahan bakar dasar.

Pemerintah telah memasang target 100% elektrifikasi dalam lima tahun ke depan. Biaya yang dibutuhkan diperkirakan mencapai Rp48 triliun.

Hal yang dapat mengancam akses masyarakat terhadap energi adalah tata niaga liquefied petroleum gas atau LPG bersubsidi. Setelah terjadi kericuhan terkait tata niaga LPG bersubsidi ukuran 3 kg pada Februari lalu, pemerintah perlu menyusun cara baru agar LPG bersubsidi tersebut tepat sasaran namun tidak merugikan masyarakat berpenghasilan rendah.

Harga Terjangkau (Affordability) Indonesia Satu Di Antara yang Terbaik

Keterjangkauan harga, tentu saja, amat penting. Apa artinya produksi atau ketersediaan berlimpah bila mayoritas warga tidak mampu membelinya.

Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah terkait affordability ini adalah program BBM Satu Harga yang dimulai sejak tahun 2017. Tujuan kebijakan ini untuk mengurangi disparitas harga BBM antardaerah dan mendukung kesetaraan ekonomi di berbagai wilayah. Dengan demikian harga 1 liter bensin di tengah kota sama dengan harga di pelosok desa.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan sejak 2017 telah menyalurkan 1,2 juta kiloliter “BBM Satu Harga” melalui 489 penyalur di daerah-daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Namun, bagaimana harga BBM di Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya?

Per 14 April 2025, merujuk data GlobalPetrolPrices.com, rata-rata harga BBM di Indonesia mencapai Rp13.276 per liter. Harga tersebut merupakan salah satu yang paling terjangkau di Asia Tenggara, hanya kalah murah dari Vietnam (Rp12.755/liter) dan Malaysia (Rp7.814/liter).

Ada kabar bahwa harga BBM di Malaysia bakal naik pada pertengahan 2025 karena pemerintahan Perdana Menteri Anwar Ibrahim memutuskan untuk memangkas subsidi bensin RON95 bagi 15% warga berpenghasilan tertinggi (golongan T15). Tujuannya untuk memangkas subsidi sebesar MYR8 miliar, atau Rp30,8 triliun (kurs tengah Bank Indonesia per 28 April 2025). Sisa 85% penduduk Malaysia masih akan menikmati subsidi.

Singapura menjual BBM termahal di Asia Tenggara dengan harga Rp35.139/liter, sekitar 2,6 kali lebih mahal dibandingkan Indonesia. Bahkan harga BBM di Kamboja dan Laos juga lebih mahal dari Indonesia.

Dalam daftar negara dengan harga BBM termurah di dunia, Indonesia menempati peringkat ke-27. Libya adalah negara dengan harga BBM termurah, hanya sekitar Rp453/liter.

Jadi, meski banyak yang mengeluhkan mahalnya BBM di Indonesia, ternyata harganya relatif terjangkau bila dibandingkan dengan banyak negara lain.

Harga listrik di Indonesia juga termasuk murah di Asia Tenggara. Rata-rata harganya untuk konsumen residensial pada periode 2023-2025 mencapai Rp1.441/kWh, ke-4 termurah setelah Laos, Malaysia, dan Vietnam.

Untuk listrik komersial, harga di Indonesia adalah yang termurah, hanya Rp1.112/kWH. Harga tersebut lebih murah sekitar 8 persen dibandingkan Vietnam (Rp1.206/kWH), negara ASEAN yang kerap menjadi pesaing Indonesia dalam menarik investor asing.

Data di atas menunjukkan bahwa harga energi di Indonesia sesungguhnya masih terjangkau (affordable) dan bersaing bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Ramah Lingkungan (Acceptability)

Penggunaan sumber energi baru terbarukan yang lebih ramah lingkungan masih menjadi pekerjaan rumah besar di negeri ini. Walau demikian, keseriusan pemerintah dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menggunakan sumber energi yang lebih ramah lingkungan terus meningkat.

Walau masih sedikit dibandingkan sumber energi lain, komposisi konsumsi energi terbarukan sebagai sumber energi primer di Indonesia terus naik, khususnya sejak tahun 2018. Pada tahun itu keluar Peraturan Menteri ESDM No. 49/2018 tentang Penggunaan PLTS Atap oleh Konsumen PLN.

Peraturan tersebut mulai mendorong pemanfaatan energi surya di tingkat rumah tangga dan industri yang terhubung dengan jaringan PLN. Pada tahun 2023, penggunaan energi baru terbarukan (EBT) mencapai 10,4% dari total konsumsi energi, naik sedikit dari 9,9% pada tahun sebelumnya.

Target ambisius penggunaan EBT sempat ditetapkan pemerintah. Awalnya bauran EBT ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025, lalu naik menjadi 31% pada 2050. Namun Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN) merevisinya menjadi antara 17-20% pada 2025, selanjutnya sekitar 19-23% pada 2030 dan 70-72% hingga 2060.

Alasan utama revisi target tersebut adalah realitas pertumbuhan EBT yang hanya mencapai 1-2% per tahun. Sementara pada tahun 2024, bauran EBT baru berkisar 13%.

Presiden Prabowo menugaskan Kementerian ESDM untuk meningkatkan target bauran EBT dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang diketuai Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.

Saat komposisi bauran EBT kesulitan untuk naik, penggunaan batu bara malah meningkat hingga melebihi 40% sejak tahun 2022. Bahkan pemanfaatan energi fosil tersebut mengalahkan penggunaan minyak bumi sejak tahun 2020.

Padahal batu bara dikenal sebagai sumber energi “paling kotor” karena menghasilkan tingkat polusi udara yang tinggi. Jadi, tak heran bila skor environmental sustainability Indonesia dalam Indeks Trilema Energi juga mengalami tren penurunan sejak tahun 2020.

Tingginya tingkat penggunaan energi kotor tersebut memunculkan pertanyaan mengenai tingkat emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia.

Data Emissions Database for Global Atmospheric Research (EDGAR), emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh Indonesia telah meningkat 38,77% dalam rentang tahun 2013 hingga tahun 2023, dari 864,85 mt CO2eq menjadi 1200,20 mt CO2eq.

Emisi GRK yang diukur tersebut mencakup CO2 (hanya fosil), metana (CH4), Dinitrogen Oksida (N2O), dan gas F (GRK terfluorinasi). Emisi tersebut diagregasi menggunakan nilai Potensi Pemanasan Global dari IPCC AR5 (Laporan Penilaian ke-5 dari Intergovernmental Panel on Climate Change/Panel antarPemerintah tentang Perubahan Iklim).

Emisi GRK yang dihasilkan Indonesia menempati peringkat ke-7 dalam daftar 10 negara penghasil emisi GRK terbesar. Peringkat pertama ditempati Cina (15943,99 mt CO2eq), kemudian Amerika Serikat (5960,80 mt CO2eq), dan India (4133,55 mt CO2eq) melengkapi posisi tiga teratas.

Besaran emisi GRK yang dihasilkan penduduk seluruh dunia pada tahun 2023 mencapai total 52962,90 mt CO2eq.

Akan tetapi, bila dibagi dengan jumlah penduduk, emisi GRK per kapita Indonesia terbilang kecil, bahkan tidak masuk 5 besar di antara negara-negara Asia Tenggara. Nilainya 4,29 t CO2eq, hanya lebih tinggi dari Kamboja, Filipina dan Myanmar. Dua negara kecil di Asia Tenggara, Brunei Darussalam dan Singapura, justru mencatatkan nilai emisi GRK per kapita tertinggi, masing-masing 26,43 dan 12,22 t CO2eq.

Related Articles

blog image

Para Penguasa Jalur Udara Indonesia

Pemerintah siapkan diskon tiket pesawat sepanjang Nataru untuk rute domestik, karena diyakini dapat memompa konsumsi rumah tangga dan daya beli.

Selengkapnya
blog image

Kinerja Ekspor Bersih Tertinggi Dalam Lima Tahun Terakhir

Ekonomi Indonesia tumbuh 5,04% pada triwulan III-2025, didorong lonjakan ekspor 9,91% dan stabilnya konsumsi rumah tangga serta investasi.

Selengkapnya
blog image

Tekanan dari Gula Impor

Harga gula yang terus merangkak naik, bocornya gula rafinasi, hingga kesejahteraan petani menjadi pekerjaan rumah besar di tengah ambisi swasembada.

Selengkapnya