Research  By Editorial Desk

Panasnya Komoditas Gas Indonesia

10 Oktober, 2025

Polemik subsidi gas melon kian memanas. Dua menteri berseteru soal data, sementara impor naik, subsidi membengkak, dan praktik oplosan kian marak.

Ilustrasi kompor gas - NEXT INdonesia Center

Keterangan foto: Ilustrasi kompor gas.

DOWNLOADS


25.10.10.Review. Gas Melon dan Pukulan Ganda Pemerintah.jpeg

Gas Melon dan Pukulan Ganda Pemerintah

Download

Ringkasan
Sengketa Data Subsidi Gas

Dua menteri berselisih mengenai data penerima dan besaran subsidi gas LPG 3 kg yang dianggap tidak sinkron dan membingungkan publik.
Lonjakan Impor dan Beban Fiskal
Kebutuhan impor LPG melon meningkat tajam, memicu pembengkakan anggaran subsidi yang membebani keuangan negara.
Maraknya Praktik Oplosan di Lapangan
Selain masalah data dan impor, praktik pengoplosan gas subsidi makin marak, menandakan lemahnya pengawasan dan distribusi di tingkat daerah.

 

 

NEXT Indonesia Center - Harga jual liquified petroleum gas (LPG) tabung 3 kg bersubsidi, yang lebih dikenal dengan sebutan elpiji atau gas melon, memantik perdebatan publik antara dua menteri dalam Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto.

Berawal dari keterangan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa (30/9/2025). Purbaya, dalam rapat tersebut, memaparkan selisih antara harga keekonomian dengan harga jual barang-barang yang disubsidi pemerintah. Harga keekonomian gas melon, kata Menteri Purbaya, adalah Rp42.750 per tabung, sementara harga jual yang ditetapkan pemerintah adalah Rp12.750.

Dengan demikian, pemerintah menanggung beban subsidi sebesar Rp30.000/tabung, atau 70,18% dari harga keekonomiannya. Subsidi tersebut dinikmati oleh 41,5 juta rumah tangga dan memakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 hingga Rp80,2 triliun.

Keterangan Purbaya tersebut lantas ditanggapi oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Dia menegaskan bahwa Menteri Keuangan telah salah membaca data, sehingga menyampaikan hal yang keliru. Namun, Bahlil sama sekali tidak menjelaskan di mana letak kesalahan data yang dimaksud. Dia juga tidak memaparkan data yang benar versinya.

Gas, khususnya LPG 3 kg, memang isu yang panas. Keputusan pemerintah melarang penjualan elpiji melalui pengecer pada awal tahun 2025 memantik gelombang protes dan antrean di pangkalan resmi PT Pertamina (Persero). Setelah antrean panjang membawa korban, Presiden Prabowo menginstruksikan kepada Menteri ESDM untuk mengizinkan pengecer menjualnya kembali sembari membenahi tata kelola penyaluran elpiji.

Panasnya urusan gas ini juga sampai ke persoalan hukum. Pada Juni 2024 eks-Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan divonis sembilan tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan setelah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengadaan gas alam cair (liquified natural gas, LNG) periode 2011-2014 oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. LNG tersebut diimpor dari Corpus Christi Liquefaction (CCL), anak usaha Cheniere Energy, produsen dan eksportir LNG yang berbasis di Amerika Serikat.

Karen dinyatakan terbukti menimbulkan kerugian negara sekitar US$113,84 juta (sekitar Rp 1,77 triliun), memperkaya diri sendiri sebesar Rp1,09 miliar dan US$104.000, serta memperkaya CCL sebesar US$113,84 juta.

Karen kemudian mengajukan banding, namun vonis sembilan tahun dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung memutuskan memperberat hukuman. Dalam putusan kasasinya, MA memvonis Karen 13 tahun penjara dan menaikkan denda menjadi Rp650 juta subsider enam bulan kurungan.

Dua peristiwa tersebut menunjukkan betapa panasnya bisnis gas alam di Indonesia. Bisnis ini memang menggiurkan, karena menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Indonesia memiliki cadangan gas sebesar 51,98 triliun kaki kubik. Angka itu terdiri dari tiga kategori yaitu terbukti (proven)1, terkira (probable)2, dan terduga (possible)3. Wajar bila banyak yang tertarik untuk terlibat dalam bisnis tersebut.

1. Peluang ekstraksi gas sedikitnya 90%
2. Peluang ekstraksi gas paling sedikit 50%.
3. Peluang ekstraksi gas paling besar 10%.

Pada publikasi kali ini NEXT Indonesia Center mengulas perkembangan bisnis gas alam di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir untuk melihat pertumbuhan ekspor-impor dan nilai subsidi. Selain itu juga kami menghitung potensi terjadinya illicit financial flow (aliran dana gelap) melalui trade misinvoicing (pemalsuan faktur perdagangan) pada bisnis gas alam ini.

Pukulan Ganda dari Gas

Gas termasuk komoditas “panas” di Indonesia. Sumber daya alam ini telah berkembang menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat Indonesia. Saat ini nyaris tidak ada rumah tangga yang tidak membutuhkan gas sebagai sumber energi.

Penggunaan gas dalam rumah tangga meningkat sejak pemerintah menjalankan program konversi minyak tanah ke gas alam cair (liquified natural gas, LPG) pada tahun 2007. Tujuan program ini adalah menekan angka subsidi minyak tanah serta meningkatkan pemanfaatan sumber energi yang bersih dan ramah lingkungan, khususnya bagi warga tak mampu.

Program konversi minyak tanah ke LPG ini dilaksanakan dengan dasar hukum Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Pukulan Ganda dari Gas Nasional, Peraturan Presiden No.104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 Kg, serta Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian LPG. Subsidi minyak tanah kemudian beralih menjadi subsidi LPG 3 kg.

Akan tetapi, ketika gas melon telah menjadi produk yang amat dibutuhkan masyarakat, sejumlah permasalahan muncul. Pemerintah pun seolah dihantam pukulan ganda (double hit).

Pukulan pertama adalah terus bertambahnya dana subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah seiring meningkatnya permintaan masyarakat terhadap gas melon. Tabel di bawah menunjukkan pada periode lima tahun terakhir, besaran subsidi gas melon sempat melampaui Rp100 triliun pada tahun 2022.

Angka subsidi sempat turun menjadi Rp74,3 triliun pada 2023, tetapi kembali naik 7,96% menjadi Rp80,2 triliun pada tahun berikutnya. Nilai subsidi LPG 3 kg pada tahun 2024 itu nyaris setengah dari realisasi subsidi energi tahun 2024 yang mencapai Rp177,6 triliun.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, pemerintah menganggarkan Rp197,8 triliun untuk subsidi energi. Porsi subsidi gas melon tercatat Rp82,9 triliun atau 41,38% dari total subsidi energi, sedikit di bawah alokasi untuk listrik yang mencapai Rp89,8 triliun. Subsidi bahan bakar, termasuk solar dan minyak tanah, hanya sekitar 12,67%.

Pukulan kedua diderita pemerintah karena nilai impor gas alam juga terus melonjak. Dalam lima tahun terakhir, nilai impor gas mencapai titik tertinggi pada 2022, yakni US$4,9 miliar atau sekitar Rp72,7 triliun. Kenaikan tersebut terjadi berbarengan dengan titik tertinggi nilai subsidi gas melon sepanjang sejarah, Rp100 triliun.

Kenaikan nilai impor tidak hanya mencerminkan peningkatan volume, tetapi juga fluktuasi harga global. Tahun 2012–2013 terjadi lompatan tajam seiring pengalihan LPG ke sektor rumah tangga, sementara lonjakan 2021–2022 terkait pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Tren ini menggambarkan bahwa anggaran subsidi dan impor meningkat secara bersamaan—sebuah pukulan ganda yang membebani APBN dan neraca perdagangan.

Mengapa Senang Mengimpor LPG?

Meskipun Indonesia merupakan produsen gas alam dan LNG, konsumsi LPG domestik jauh melebihi produksi dalam negeri. Oleh karena itu, impor LPG harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)  menunjukkan bahwa volume produksi LPG nyaris stagnan dalam 20 tahun terakhir. Produksi tertinggi hanya mencapai 2,48 juta ton pada 2010. Setelah itu angkanya hanya bergerak di kisaran 2 juta ton, bahkan sejak tahun 2019 hingga 2024 volume produksi LPG Indonesia belum pernah lagi mencapai angka tersebut.

Saat produksi stagnan sementara penggunaan domestik terus naik, tak ada jalan lain kecuali mengimpor LPG dari negara-negara mitra. Pada tahun 2024, sekitar 77,64% kebutuhan LPG domestik dipenuhi oleh impor.

Ada beberapa faktor penyebab rendahnya produksi LPG dalam negeri yang kerap diutarakan oleh para pemangku kepentingan. Pertama, masih terbatasnya fasilitas fraksinasi, yang dibutuhkan untuk memisahkan propana (C3H8) dan butana (C4H10) dari gas alam. Pembangunan fasilitas ini membutuhkan biaya besar, kabarnya mencapai puluhan triliun rupiah, sehingga kilang LNG existing memilih untuk lebih fokus pada ekspor LNG ketimbang memproduksi LPG.

Lalu, harga LPG 3 kg bersubsidi yang hanya Rp12.750 per tabung, masih jauh di bawah nilai keekonomian Rp42.750, sehingga sulit menarik investor untuk membangun pabrik baru. Bila infrastruktur fraksinasi itu tidak juga terwujud, Indonesia masih akan mengimpor LPG dalam jumlah besar.

Itulah mengapa pemerintah terus mencari cara untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap LPG sehingga bisa memotong pengeluaran subsidi. Beberapa cara yang tengah dicoba antara lain mensubstitusi LPG dengan penggunaan gas pipa (jarigan gas, jargas) serta gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME).

Jargas adalah program pemerintah untuk menyalurkan gas bumi melalui pipa ke rumah tangga dan pelaku usaha kecil, dengan tujuan menyediakan energi yang lebih aman, efisien, bersih, dan lebih murah dibandingkan LPG. Program ini dikelola oleh Pertamina PGN dan bertujuan untuk diversifikasi energi.

Sementara DME adalah gas tak berwarna yang merupakan senyawa organik paling sederhana dengan rumus kimia CH3OCH3. DME berpotensi besar digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti diesel dan LPG karena pembakarannya yang bersih dan emisi yang rendah.

Subsidi Menanjak, Oplosan Marak

Subsidi LPG untuk tabung 3 kg di Indonesia dimulai pada tahun 2007. Hal ini berkaitan dengan program konversi minyak tanah ke LPG yang dicanangkan pemerintah untuk mengurangi beban subsidi minyak tanah.

Tujuan utama program ini, seperti tercatat dalam buku panduan “Konversi Mitan ke Gas,” yang diterbitkan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian ESDM, adalah sebagai upaya diversifikasi energi, mengurangi penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi, efisiensi anggaran subsidi, serta menyediakan bahan bakar yang lebih bersih bagi rumah tangga dan usaha mikro.

Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 kg menjadi dasar hukum subsidi tersebut. Peraturan ini menetapkan bahwa pemerintah menyediakan dan mendistribusikan paket perdana yang berisi tabung 3 kg beserta kompor dan regulator kepada rumah tangga pengguna minyak tanah dan menetapkan harga jual LPG 3 kg yang disubsidi.

Program tersebut menargetkan distribusi 42 juta paket tabung LPG 3 kg kepada rumah tangga dan usaha mikro, dengan pendanaan yang sebagian berasal dari pos subsidi dalam APBN. Sejak saat itu, harga eceran tabung 3 kg ditetapkan pemerintah dan disubsidi, sehingga selama lebih dari satu dekade pemerintah menanggung selisih harga pasar untuk menjaga keterjangkauan bagi masyarakat berpendapatan rendah.

Grafik di atas memperlihatkan bahwa tren nilai subsidi LPG 3 kg terus naik hingga mencapai titik tertinggi Rp100,4 triliun pada tahun 2022. Jumlah tersebut memakan 58,41% anggaran subsidi energi, juga mencapai 39,71% dari total anggaran subsidi pemerintah pada tahun itu.

Subsidi gas melon berkurang 25,99% pada 2023 menjadi Rp74,3 triliun, tetapi naik lagi 7,96% menjadi Rp80,2 triliun pada 2024. Pada APBN 2025 pemerintah menetapkan angka subsidi LPG naik jadi Rp87,6 triliun, kemudian diturunkan menjadi Rp80,3 triliun dalam RAPBN 2026.

Jurang lebar antara harga subsidi, yang dipatok harga jual batas atas Rp19.000 per tabung, dengan harga keekonomian membuat marak praktik curang LPG oplosan. Para pelaku praktik itu memindahkan isi gas LPG bersubsidi 3 kg ke dalam tabung gas non-subsidi 12 kg untuk dijual dengan harga lebih mahal, antara Rp190.000 hingga Rp250.000 per tabung.

Penelusuran berita periode Januari-Oktober 2025 ditemukan sedikitnya ada 11 kasus pengoplosan LPG yang berhasil diungkap polisi. Salah satunya, sebuah sindikat besar pengoplos LPG di Gianyar, Bali, yang terbongkar pada Maret 2025, mengaku mendapatkan omset sekitar Rp650 juta per bulan dari hasil pengoplosan itu.

Praktik lancung tersebut tak hanya merugikan negara, tetapi juga masyarakat karena kesulitan mendapatkan gas melon. Kelangkaan LPG membuat tak sedikit pedagang eceran yang kemudian melambungkan harga jual LPG 3 kg jauh di Rp19.000/tabung, harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah.

Selain itu, belum juga jelasnya data masyarakat yang berhak membeli gas melon menyebabkan masih banyak rumah tangga berpenghasilan tinggi yang memborongnya. Dengan berat serupa, membeli 4 tabung LPG 3 kg masih lebih hemat bila dibandingkan sebuah LPG 12 kg.

Kecurangan-kecurangan tersebut membuat subsidi LPG menjadi salah sasaran. Masih ada orang-orang yang sesungguhnya mampu malah ikut menikmati dana subsidi.

Related Articles

blog image

Pukulan Ganda Gas Melon

Subsidi gas melon dan impor gas alam jadi beban ganda bagi pemerintah. Salah sasaran dan potensi dana siluman menekan APBN puluhan triliun rupiah.

Selengkapnya
blog image

Potensi Dana Gelap di Transaksi Gas Impor

Data perdagangan gas Indonesia 2015–2024 ungkap potensi aliran dana gelap hingga miliaran dolar selisih ekspor-impor dengan Singapura, Jepang, dan AS.

Selengkapnya
blog image

Serba Singapura Aliran Minyak Indonesia

Ekspor-impor minyak Indonesia 2015–2024 terpantau rawan manipulasi faktur. Potensi dana gelap tercatat hingga miliaran dolar AS.

Selengkapnya