Tekanan dari Gula Impor
31 Oktober, 2025
Harga gula yang terus merangkak naik, bocornya gula rafinasi, hingga kesejahteraan petani menjadi pekerjaan rumah besar di tengah ambisi swasembada.
Keterangan foto: Ilustrasi peti kemas berisi gula tumpah.
Ringkasan
• Maraknya Gula Oplosan Rugikan Petani dan Industri Nasional
Kasus pengoplosan gula rafinasi ilegal dengan gula putih lokal menekan harga pasar dan menghambat penyerapan gula petani. Akibatnya, ribuan ton gula hasil panen 2025 menumpuk tanpa pembeli, sementara industri gula nasional tertekan oleh praktik curang dan penyelundupan yang merugikan petani serta BUMN pangan.
• Ketergantungan Impor Masih Tinggi, Produksi Lokal Belum Mampu Penuhi Kebutuhan
Produksi gula nasional yang rata-rata 2,3 juta ton per tahun masih jauh dari kebutuhan 6,5 juta ton, membuat Indonesia terus bergantung pada impor dari Brasil dan Thailand. Ketidakseimbangan ini menekan devisa negara dan memperburuk defisit perdagangan, meski pemerintah menargetkan swasembada gula konsumsi dalam beberapa tahun ke depan.
• Gula Berperan dalam Kesejahteraan dan Kemiskinan
Harga gula yang tinggi berdampak ganda: membebani konsumen miskin sekaligus memengaruhi pendapatan petani tebu. Karena itu, stabilisasi harga dan peningkatan produktivitas menjadi kunci agar kebijakan bisa menekan kemiskinan tanpa merugikan petani, melalui modernisasi pabrik dan efisiensi produksi.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Belum lama ini, terungkap peredaran gula oplosan di Indonesia yang meresahkan industri gula nasional. Pada Juli 2025 misalnya, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah membongkar praktik pengoplosan gula di Banyumas. Pelaku mencampur gula kristal rafinasi (GKR)1, yang seharusnya untuk keperluan industri, dengan gula kristal putih (GKP)2 kualitas reject, lalu mengemasnya dalam karung merek lokal “Raja Gula“.
1. Jenis gula yang telah melalui proses pemurnian ekstra dari gula mentah (raw sugar) atau tebu, sehingga menghasilkan gula putih dengan tingkat kemurnian sukrosa yang sangat tinggi. Gula rafinasi digunakan sebagai bahan baku industri, tidak dijual langsung ke konsumen karena tidak memiliki nutrisi lain seperti vitamin dan mineral.
2. Jenis gula yang umum digunakan untuk konsumsi rumah tangga, dibuat dari tebu atau bit yang diproses melalui penyaringan (sulfitasi) dan dapat dikonsumsi langsung.
Padahal, mengacu pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 17 Tahun 2022, gula kristal rafinasi dilarang dijual kepada distributor, pedagang, dan/atau konsumen. Namun, produksi ilegal di Banyumas, dikabarkan detik.com, mencapai 300–500 ton per bulan dengan omzet ratusan juta rupiah.
Peredaran gula oplosan dan rembesan gula rafinasi ke pasar konsumsi berdampak buruk bagi ekosistem gula nasional. ID Food, holding BUMN Pangan, menyatakan praktik ini merugikan produsen resmi dan petani tebu, karena gula rafinasi ilegal yang beredar dijual murah, sehingga menekan harga dan penyerapan GKP produksi petani lokal. Akibatnya, gula petani sulit terserap pasar dan menumpuk di pabrik.
Dampak nyata terlihat pada musim giling 2025. Bukannya mencicipi manisnya panen, petani tebu justru kesulitan menjual gula mereka. Per 30 Juli 2025, dikabarkan Kompas.id, tercatat 51.635 ton gula petani menumpuk tak laku terjual. Lelang gula yang biasanya ramai di puncak giling justru sepi pembeli di sentra tebu Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Jawa Barat. Bahkan pada pertengahan Juni 2025 sempat dilaporkan tidak ada penawar sama sekali di lelang GKP PT Rajawali I, anak usaha ID Food.
Pedagang enggan membeli gula petani meski pada harga acuan pemerintah (HAP) Rp14.500/kg. Kalau pun ada yang berminat, mereka menawar hingga ke bawah harga acuan tersebut. Hal ini terjadi karena pasar dibanjiri gula murah hasil rembesan GKR dan oplosan. Gula rafinasi yang seharusnya khusus untuk industri makanan dan minuman telah dijual bebas di pasar dengan harga lebih murah, sehingga menekan harga GKP lokal. Kasus Banyumas tadi menjadi contoh nyata.
Selain itu, impor ilegal yang masuk lewat jalur-jalur tidak resmi di perbatasan, seperti lewat Sumatra atau Kalimantan, menambah pasokan gelap yang memukul gula petani. Bagi petani tebu dan pabrik gula nasional, kondisi ini sangat merugikan.
Harga gula petani yang pada Mei–Juni 2025 masih sekitar Rp14.550–14.850 per kg merosot menjadi Rp14.500–14.600 per kg pada Juli. Beberapa pabrik produsen seperti ID FOOD dan PT Pabrik Gula (PG) Kebon Agung, masih berupaya membeli gula petani sesuai HAP Rp14.500, namun kemampuan mereka terbatas.
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mendesak Bulog dan BUMN Pangan menyerap stok gula petani untuk mencegah kerugian lebih lanjut. Jika dibiarkan menumpuk, petani terancam kolaps dan enggan menanam tebu musim berikutnya. Di sisi lain, konsumen juga dirugikan oleh gula oplosan yang mutunya di bawah standar sehingga membahayakan kesehatan dan merusak kepercayaan publik terhadap gula legal.
Gula adalah komoditas pangan yang penting bagi masyarakat Indonesia. Pemerintah bahkan telah mencanangkan untuk mencapai swasembada gula paling lambat tahun 2028, dengan rincian swasembada gula konsumsi pada 2026 dan gula industri serta bioethanol berbasis tetes tebu paling lambat pada 2028. Versi Kementerian Pertanian, target itu bergeser masing-masing dua tahun, sehingga lengkapnya menjadi 2030.
Pada publikasi ini NEXT Indonesia Center coba mengurai pahitnya tekanan gula di Tanah Air. Kami coba melihat perkembangan bisnis gula di Indonesia, termasuk pertumbuhan impor, potensi trade misinvoicing, serta pentingnya komoditas ini dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Potensi Pasar Gula Putih di Indonesia
Bisnis gula di Indonesia memang manis. Gula merupakan komoditas pangan strategis, baik sebagai konsumsi rumah tangga yang berupa gula kristal putih (GKP), maupun gula kristal rafinasi (GKR) sebagai bahan baku industri. Potensinya sangat besar mengingat tingginya kebutuhan domestik, bahkan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan berkembangnya industri makanan- minuman berpemanis.
Ditambah lagi, dari 283,5 juta jiwa warga Indonesia, tak sedikit yang menyukai makanan dan minuman manis. Data Badan Pangan Nasional (Bapanas) menunjukkan bahwa pada tahun 2024 konsumsi gula warga mencapai 5,37 kg/kapita/tahun.
Perlu dicatat bahwa data tersebut hanya menghitung konsumsi gula pasir, belum termasuk kandungan gula pada beragam makanan dan minuman jadi, bumbu, hingga olahan susu.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa total belanja rumah tangga Indonesia untuk gula rata-rata mencapai Rp25,5 triliun per tahun. Tiga provinsi dengan penduduk terbanyak menjadi konsumen terbesar. Jawa Timur ada di peringkat teratas dengan nilai konsumsi Rp4,1 triliun/tahun, disusul Jawa Tengah (Rp3,3 triliun/tahun), dan Jawa Barat (Rp2,6 triliun/tahun).
Kelompok rumah tangga di Kalimantan Utara menjadi yang paling sedikit merogoh dompet mereka untuk membeli gula. Totalnya hanya Rp103 miliar per tahunnya.
Nilai konsumsi rumah tangga tersebut tentu saja menggiurkan. Apalagi, harga gula di pasar lokal jauh lebih tinggi daripada harga gula impor, seperti tampak pada grafik di bawah ini.
Gambar tersebut mengungkapkan, konsumen Indonesia membayar gula di dalam negeri sekitar 2–3 kali lipat dibandingkan harga internasional. Tingginya harga domestik ini disebabkan beberapa faktor, antara lain biaya produksi lokal yang tinggi karena rendemen3 tebu rendah (5–7%), pabrik kurang efisien, rantai distribusi panjang, serta kebijakan proteksi (impor gula konsumsi dibatasi untuk melindungi petani).
Akibat perbedaan harga, dorongan untuk menyelundupkan atau mengoplos gula impor sangat besar. Bahkan, berdasarkan grafik di atas, apabila harga gula impor per Juli 2025, Rp6.019/kg, dinaikkan dua kali lipat saat dijual di pasar domestik, keuntungan penjual masih lebih besar dari modal yang dikeluarkannya.
Karpet Merah Gula Impor
Hingga saat ini, ketergantungan Indonesia terhadap gula impor juga masih tinggi. Kemampuan produksi dalam negeri masih jauh lebih rendah dari kebutuhan nasional.
Produksi gula lokal pada periode 2016-2024 hanya mencapai rata-rata 2,3 juta ton per tahun. Sementara impor gula pada periode yang sama mencapai rata-rata 5,1 juta ton per tahun. Dengan demikian, volume impor gula nyaris dua kali lipat dari produksi dalam negeri.
Kebutuhan gula di dalam negeri untuk konsumsi, industri, dan kawasan berikat, menurut Kementerian Koordinator Bidang Pangan (Kemenko Pangan), mencapai 6,5 juta ton pada 2025. Sementara produksi gula nasional diproyeksikan baru mencapai 2,6 juta ton tahun ini. Oleh karena itulah impor gula mentah masih diperlukan, terutama untuk menutupi kebutuhan industri.
Kuota impor gula dalam Neraca Komoditas 2025 ditetapkan sebesar 4,3 juta ton. Hingga September, realisasinya sudah mencapai 70% atau sekitar 2,9 juta ton dari kuota yang ditetapkan. Pemerintah sempat berencana menambah impor gula mentah untuk kebutuhan konsumsi sebesar 200.000 ton. Namun, Menteri Perdagangan Budi Santoso seperti dikabarkan CNBC, menahan sementara realisasi impor tersebut untuk melakukan evaluasi dan mencoba memanfaatkan stok yang ada.
Dari perspektif bisnis, harga domestik yang tinggi sebenarnya memberi peluang keuntungan bagi produsen lokal apabila mampu meningkatkan output. Pemerintah berupaya menarik investasi untuk revitalisasi pabrik gula dan perluasan lahan tebu. Target jangka menengah adalah swasembada gula konsumsi, sehingga Indonesia tidak lagi tergantung impor dan harga bisa lebih stabil.
Potensi pasar 2–3 juta ton/tahun bisa dipenuhi industri gula nasional sendiri jika produktivitas tebu ditingkatkan dan pabrik modern berkapasitas besar dibangun. Ada ceruk pasar gula premium atau organik untuk konsumen tertentu, serta potensi ekspor ke negara tetangga jika Indonesia mampu surplus di masa depan.
Selain itu, Industri makanan dan minuman jadi di Indonesia memerlukan sekitar 3 juta ton gula rafinasi per tahun. Selama ini, kebutuhan tersebut dipenuhi 11 pabrik gula rafinasi domestik, tetapi bahan bakunya 100% impor raw sugar.
Harga gula rafinasi cenderung mengikuti perkembangan di pasar internasional plus biaya konversi. Dengan fluktuasi harga global (misal melonjaknya harga 2021–2022), industri pengguna gula merasakan dampaknya saat mengeluarkan biaya produksi. Kondisi ini turut mendorong pemerintah turut bergerak menjaga pasokan raw sugar agar cukup dan harga terkendali. Bahkan saat harga gula di pasar internasional naik tinggi, ada desakan dari pelaku industri agar kuota impor ditambah guna menekan harga. Tentu saja dilematis bagi pemerintah, karena bersinggungan dengan harapan melindungi petani tebu.
Potensi bisnis gula juga menyiratkan tantangan. Di satu sisi, pasar luas dengan harga tinggi menjanjikan keuntungan bagi produsen. Pada sisi lain, jika harga terlalu tinggi, konsumen beralih ke pemanis lain atau konsumsi turun. Pemerintah perlu menjaga agar harga gula terjangkau konsumen namun tetap menguntungkan petani –keseimbangan yang sulit namun vital.
Importir Nomor Wahid Dunia Sejak 2019
Indonesia termasuk importir gula terbesar di dunia. Bahkan menurut data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), Indonesia konsisten menjadi pengimpor gula mentah nomor 1 dunia sejak 2019, mengalahkan Tiongkok.
Pada musim perdagangan Mei 2023–April 2024, Indonesia mengimpor sekitar 5 juta ton gula mentah atau sekitar 8,8% dari total impor gula global. Ketergantungan ini tampak dari tren historis impor gula yang cenderung meningkat.
Data UN Comtrade pada grafik di atas menunjukkan bahwa impor gula pasir Indonesia, baik volume maupun nilai, mulai melonjak tahun 2012. Sejak saat itu, volume dan nilainya bergerak fluktuatif, tetapi cenderung naik dan sejak tahun 2020 bertahan di atas 5 juta ton per tahun. Tren ini mengindikasikan kebutuhan domestik yang makin besar dan lambatnya peningkatan produksi lokal.
Dari segi nilai impor, beban devisa Indonesia untuk gula juga sangat tinggi. Pada 2022, meski volume puncak sekitar 6 juta ton, nilai impornya masih sekitar US$2,9 miliar. Lalu tahun 2024 mencatat rekor nilai tertinggi: impor 5,3 juta ton pada tahun itu bernilai US$3,0 miliar (sekitar Rp45 triliun).
Rekor nilai ini terjadi karena harga gula dunia naik signifikan pada saat itu, sehingga meski volume 2024 tidak setinggi 2022, nilai dolar yang dibayar justru lebih besar. Kontribusi impor gula terhadap defisit neraca perdagangan cukup terasa, meski sebagian merupakan bahan baku industri (gula mentah).
Mayoritas gula impor Indonesia periode 2020-2024 datang dari dua negara, Brasil dan Thailand. Kedua negara tersebut bergantian menjadi pemasok terbesar gula ke Indonesia pada periode tersebut. Brasil, produsen gula nomor 1 dunia, ada di posisi teratas dengan total nilai impor selama lima tahun tersebut mencapai US$4,4 miliar, sementara impor dari Thailand, negara penghasil gula no. 1 di Asia Tenggara, bernilai US$4,3 miliar.
Selain itu, Australia, India, dan beberapa negara Amerika Tengah (Guatemala, Meksiko) turut memasok gula mentah mereka ke Indonesia.
Kebijakan impor gula Indonesia diatur ketat oleh pemerintah melalui sistem kuota dan penugasan. Gula konsumsi (GKP) hanya boleh diimpor oleh BUMN (Bulog atau ID FOOD) dalam kondisi tertentu, seperti ancaman kelangkaan atau stok tipis. Adapun gula mentah (raw sugar) untuk industri rafinasi diimpor oleh pabrik rafinasi sesuai alokasi berdasarkan kebutuhan industri pengguna.
Walau demikian, sejarah mencatat kebijakan ini tak lepas dari kontroversi. Kasus “Mafia Gula” beberapa kali mencuat, termasuk dugaan permainan kuota impor dan data kebutuhan. Contohnya, kasus hukum yang menyeret Thomas “Tom“ Lembong (mantan Mendag 2015–2016) terkait kasus penyimpangan izin impor gula -kasus ini mendapatkan abolisi atau penghentian perkara oleh Presiden Prabowo Subianto- menjadi sorotan publik. Tentu saja sekaligus membuka mata bahwa tata kelola perdagangan gula belum sepenuhnya transparan.
Oleh karena itu, persoalan mendasar seperti akurasi data demand-supply dan pengawasan pelaksanaan impor tetap menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah. Apalagi kerap terjadi inkonsistensi kebijakan pemerintah sendiri, seperti maju-mundurnya keputusan untuk mengimpor tambahan 200.000 gula mentah pada tahun ini. Inkonsistensi ini menunjukkan perencanaan stok yang lemah sehingga impor darurat sering tak terhindarkan.
Secara keseluruhan, tren impor gula Indonesia masih tinggi lantaran produksi belum mampu menutup kebutuhan. Kebijakan jangka menengah diarahkan mengurangi impor seiring peningkatan produksi dalam negeri.
Pemerintah menargetkan swasembada gula konsumsi beberapa tahun ke depan –meski target ini sudah berulang kali molor. Sambil berjalan ke arah itu, manajemen impor ditingkatkan agar tepat volume, tepat waktu, dan tidak merugikan petani lokal. Upaya lain adalah diversifikasi sumber impor untuk mendapatkan harga terbaik dan mengurangi risiko geopolitik (misal kalau satu negara pemasok gagal panen).
Komoditas Gula dan Kemiskinan
Harga dan ketersediaan gula tidak hanya berdampak pada pelaku usaha, tetapi juga terhadap kesejahteraan masyarakat miskin. Gula pasir merupakan salah satu komoditas dalam keranjang konsumsi yang dipakai BPS untuk menghitung Garis Kemiskinan. Artinya, perubahan harga gula akan memengaruhi besaran garis kemiskinan dan daya beli rumah tangga miskin.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), gula pasir menyumbang sekitar 1,78% dari garis kemiskinan di perkotaan, dan 2,4% di perdesaan. Dengan kata lain, dari total pengeluaran penduduk miskin, sekitar 2% di antaranya digunakan untuk membeli gula. Persentase ini menempatkan gula di jajaran 10 besar komoditas makanan penyumbang kemiskinan.
Kontribusi gula pada garis kemiskinan yang besar, menunjukkan tingginya sensitivitas harga gula terhadap kemiskinan. Ketika harga gula naik tinggi, pengeluaran rumah tangga miskin ikut terkerek. Jika pendapatan miskin tidak naik seiring kenaikan harga, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan bisa bertambah.
Dengan demikian, stabilisasi harga gula menjadi bagian dari upaya pengendalian inflasi pangan dan pengentasan kemiskinan. Pemerintah rutin memasukkan gula sebagai komoditas yang dipantau dalam program Stabilisasi Harga Pangan, misalnya melalui operasi pasar oleh Bulog menjelang Ramadan untuk gula selain beras.
Dilema Kebijakan Harga
Komoditas gula melibatkan dua kelompok kepentingan —ada konsumen dan produsen/ petani. Kebijakan pro-konsumen menginginkan harga gula terjangkau, karena murahnya harga gula akan langsung meringankan beban pengeluaran masyarakat miskin. Sebaliknya, kebijakan pro-petani membutuhkan harga gula yang cukup tinggi supaya petani tebu memperoleh pendapatan layak.
Pemerintah berupaya menyeimbangkan ini lewat penetapan Harga Acuan di tingkat petani dan konsumen. HAP petani Rp11.500–12.500/kg (tergantung kualitas) dimaksudkan agar petani tidak rugi, sedangkan HET konsumen Rp14.500/kg melindungi konsumen dari harga yang terlalu mahal.
Praktiknya, HET sering terlampaui saat stok kurang, sementara petani kadang menjual di bawah HAP ketika panen melimpah tapi penyerapan rendah. Ketimpangan struktur pasar menyebabkan posisi tawar petani lemah sehingga kemiskinan juga banyak dijumpai di komunitas petani tebu.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan daerah sentra tebu, seperti di sebagian Kabupaten Kediri (9,95%), Lamongan (12,16%), dan Bondowoso (12,60%), tingkat kemiskinannya masih di atas rata-rata nasional (8,47%), sebagian karena hasil panen tebu tidak selalu menguntungkan.
Dengan demikian, hubungan gula dan kemiskinan harus dilihat dari dua sisi. Pertama, gula sebagai beban pengeluaran konsumen miskin. Kedua, gula sebagai sumber pendapatan petani miskin. Idealnya, kebijakan mampu menurunkan harga bagi konsumen sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Bagaimana caranya? Cara terbaik adalah meningkatkan produktivitas. Jika rendemen tebu dan efisiensi pabrik naik, biaya produksi gula lokal bisa turun, sehingga petani bisa mendapat harga pokok lebih murah tanpa mengorbankan margin mereka.
Modernisasi industri gula akan memungkinkan harga gula turun ke level lebih kompetitif sehingga konsumen diuntungkan, namun petani tetap memperoleh bagi hasil yang wajar dari volume produksi yang lebih tinggi.
Selain itu, program diversifikasi sumber penghasilan petani, misalnya tumpangsari tebu dengan tanaman pangan lain, atau memanfaatkan limbah tebu seperti tetes untuk dijual, dapat menambah pendapatan petani tebu. Pada saat bersamaan, ikhtiar itu dapat mengurangi ketergantungan semata pada harga gula.