Para Penguasa Dana Masyarakat
12 Desember, 2025
Perkembangan Dana Pihak Ketiga mencerminkan denyut kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan nasional.
Keterangan foto: Ilustrasi celengan ayam.
Ringkasan
• Pertumbuhan DPK Tetap Kuat di Tengah Perubahan Ekonomi
DPK nasional mencapai Rp9.676,8 triliun per September 2025. Giro naik 14,20 persen, tabungan tumbuh 6,43 persen, dan deposito meningkat 10,39 persen. Angkanya menunjukkan kepercayaan publik terhadap perbankan tetap kuat meski masyarakat punya banyak pilihan investasi lain. Kenaikan giro mencerminkan aktivitas bisnis yang pulih. Sementara lonjakan deposito mencerminkan respon nasabah terhadap kenaikan suku bunga.
• KBMI 4 Mendominasi Penghimpunan Dana Masyarakat
Empat bank besar, yaitu Mandiri, BRI, BCA, dan BNI, menguasai 53,44 persen total DPK nasional. Modal inti dan jaringan yang besar membuat mereka menjadi pusat aliran dana masyarakat. Mandiri unggul di giro, BCA memimpin tabungan, BRI dominan di deposito. Kontribusi bank kecil relatif kecil sehingga struktur pasar semakin terkonsentrasi pada bank bermodal besar.
• Rendahnya Literasi Keuangan Menghambat Pemerataan DPK
Tingkat literasi keuangan hanya 66,46 persen dan inklusi 80,51 persen pada 2025. Produk keuangan syariah bahkan hanya dikenali separuh masyarakat. Rendahnya pemahaman membuat dana masyarakat cenderung terkonsentrasi di bank besar. Kondisi ini membuka risiko sistemik. Penguatan edukasi, insentif bagi bank menengah, dan pemanfaatan teknologi digital menjadi langkah kunci untuk memperluas akses simpanan secara lebih merata.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) atau dana masyarakat menjadi indikator penting yang menggambarkan kesehatan sistem perbankan sekaligus kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan. DPK bukan hanya fondasi intermediasi perbankan, tetapi juga salah satu penopang stabilitas sistem keuangan nasional.
DPK adalah seluruh simpanan masyarakat yang dihimpun bank, berupa giro (rekening koran), tabungan, dan deposito. Simpanan masyarakat itu menjadi sumber pendanaan utama bank untuk menyalurkan kredit dan investasi. Semakin besar penghimpunannya, semakin tinggi likuiditas bank dan semakin kuat fungsi intermediasi sistem keuangan.
Jenis simpanan masyarakat ini, khususnya giro dan tabungan, dikenal juga sebagai “dana murah”. Disebut demikian lantaran bank bisa menghimpunnya dengan bunga rendah, bahkan nyaris nol. Berbeda dengan deposito berjangka, yang membutuhkan pembayaran bunga lebih tinggi, misalnya 4-6% tergantung tenor dan suku bunga pasar.
Dana murah merupakan sumber pendanaan paling efisien bagi bank, sehingga mereka berlomba-lomba memperkuat rasio CASA (Current Account Saving Account)—rasio proporsi dana murah (tabungan dan giro) terhadap total DPK. Peningkatan porsi dana murah dapat menurunkan cost of fund sebuah bank sehingga mendorong efisiensi dan menjaga stabilitas. Oleh karena itu Rasio CASA menggambarkan efektivitas operasional sebuah bank.
Bank-bank nasional dituntut untuk tidak hanya bersaing dalam menghimpun dana murah, tetapi juga memastikan bahwa struktur DPK tetap efisien dan berkelanjutan di tengah fluktuasi kondisi makroekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap penghimpunan dana di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan, dipengaruhi oleh normalisasi kebijakan moneter, percepatan digitalisasi layanan keuangan, serta perubahan pola konsumsi dan preferensi simpanan masyarakat.
Sejalan dengan pemulihan ekonomi pascapandemi, pertumbuhan DPK menunjukkan pola yang dinamis. Likuiditas yang sempat longgar memasuki fase pengetatan, sementara kompetisi antarbank dalam menarik dana murah semakin intens.
Di sisi lain, inovasi produk simpanan berbasis digital, integrasi ekosistem pembayaran, dan meningkatnya literasi keuangan mendorong diversifikasi sumber dana masyarakat. Hal ini menjadikan perkembangan DPK tidak lagi sekadar cermin pergerakan suku bunga, tetapi juga refleksi dari transformasi struktur ekonomi dan perilaku finansial masyarakat Indonesia.
Pada publikasi kali ini NEXT Indonesia Center memaparkan tren DPK secara komprehensif. Bank-bank apa saja yang menjadi penguasa dana murah itu?
Aliran Dana Masyarakat di Perbankan
Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam dunia perbankan nasional melaju stabil. Hal tersebut mencerminkan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan serta perkembangan layanan keuangan digital.
Secara struktural, simpanan masyarakat dalam lembaga perbankan terbagi dalam tiga jenis utama, yaitu:
• Giro (Demand Deposit): Jenis simpanan yang bersifat sangat likuid dan digunakan untuk kebutuhan transaksi, terutama oleh korporasi dan lembaga pemerintah.
• Tabungan (Saving Deposit): Simpanan dengan fleksibilitas penarikan dan sering digunakan masyarakat untuk menyimpan dana dalam jangka pendek hingga menengah.
• Deposito Berjangka (Time Deposit): Simpanan yang memiliki jangka waktu tertentu dan umumnya menawarkan bunga lebih tinggi dibandingkan tabungan.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melaporkan, belakangan ini terlihat tren pertumbuhan DPK. Simpanan masyarakat di bank secara total naik 10,38% secara tahunan (year on year, yoy) menjadi Rp9.676,8 triliun per September 2025. Semua jenis simpanan tumbuh positif. Giro meningkat 14,20%, tabungan tumbuh 6,43%, sementara deposito berjangka naik 10,39%.
Tren pertumbuhan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tetap menempatkan dananya di lembaga keuangan formal, meskipun terdapat berbagai alternatif investasi semacam reksa dana, emas, dan aset digital. Hal ini juga menandakan bahwa fungsi intermediasi perbankan masih sangat relevan, terutama di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi dan fluktuasi suku bunga acuan.
Pertumbuhan giro secara tahunan menunjukkan peningkatan aktivitas bisnis dan transaksi digital. Di sisi lain, pertumbuhan tabungan yang relatif moderat (6,43%) mencerminkan tingkat konsumsi masyarakat yang kembali normal pascapandemi, serta peningkatan pengalihan dana ke instrumen investasi lain oleh kalangan menengah.
Deposito mengalami pertumbuhan sebesar 10,39%, didorong oleh kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia selama tahun 2024 dan awal 2025. Banyak nasabah memilih memindahkan dana dari tabungan ke deposito guna memperoleh imbal hasil yang lebih tinggi. Selain itu, promosi bunga dan kemudahan penempatan deposito melalui mobile banking juga mendorong peningkatan simpanan jenis ini.
Secara keseluruhan, tren pertumbuhan DPK menunjukkan keberhasilan strategi bank dalam mempertahankan kepercayaan publik. Inovasi digital, penetrasi layanan ke daerah, serta efisiensi biaya operasional menjadi faktor kunci dalam menjaga pertumbuhan simpanan masyarakat di tengah dinamika ekonomi nasional dan global.
Mengenal Pengelompokan Bank
Modal inti (core capital) adalah komponen utama permodalan bank yang mencerminkan kekuatan keuangan dasar sebuah bank. Ia mencerminkan kemampuan bank untuk menyerap kerugian, membiayai ekspansi usaha, dan menjaga kepercayaan nasabah serta pasar.
Komponen ini, dijelaskan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 12/POJK.03/2021 tentang Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI), terdiri dari:
1. Modal Disetor: dana yang disetorkan pemegang saham (equity).
2. Laba Ditahan: akumulasi keuntungan bank yang tidak
3. Cadangan Umum: dana yang dialokasikan untuk menutup risiko kerugian di masa depan.
4. Instrumen Modal Lainnya: termasuk saham preferen1 dan instrumen hibrida2 tertentu yang disetujui regulator.
1. Jenis saham yang memberikan hak istimewa kepada pemegangnya, yaitu prioritas dalam menerima dividen tetap dan klaim aset saat likuidasi dibandingkan saham biasa, menjadikannya perpaduan unik antara saham (kepemilikan) dan obligasi (pendapatan tetap).
2. Instrumen keuangan yang menggabungkan karakteristik utang (debt) dan modal (equity), sehingga diperlakukan berbeda di sistem pajak negara yang berbeda, misalnya dianggap utang di satu negara (bunga bisa jadi pengurang pajak) dan modal di negara lain (dividen tidak bisa dikurangi pajak).
KBMI berlaku efektif sejak tahun 2021 sebagai pengganti klasifikasi Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU). Berdasarkan modal inti, bank-bank di Indonesia dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
1. KBMI 1: Modal inti sampai dengan Rp6 triliun
2. KBMI 2: Modal inti lebih dari Rp6 triliun hingga Rp14 triliun
3. KBMI 3: Modal inti lebih dari Rp14 triliun hingga Rp70 triliun
4. KBMI 4: Modal inti lebih dari Rp70 triliun
Pengelompokan berdasarkan modal inti ini bertujuan untuk menciptakan sistem pengawasan yang lebih proporsional terhadap kompleksitas usaha bank. Dengan KBMI, regulator dapat menetapkan ketentuan yang sesuai dengan kapasitas permodalan, skala kegiatan, serta risiko yang dihadapi oleh masing-masing bank. Skema ini juga mendorong konsolidasi perbankan, sehingga bank-bank kecil dapat bergabung atau meningkatkan modal untuk naik kelas.
Selain itu, klasifikasi KBMI memungkinkan pembagian kewenangan kegiatan usaha yang lebih terukur, seperti pendirian kantor cabang di luar negeri, penerbitan produk derivatif, atau keterlibatan dalam pasar modal. Hal ini memperkuat struktur industri perbankan nasional agar lebih siap menghadapi persaingan regional dan global. Dengan kata lain, pengelompokan KBMI adalah fondasi penting dalam membangun industri perbankan yang sehat, efisien, dan inklusif.
Dominasi Bank Bermodal Lebih dari Rp70 Triliun
Per Juni 2025, menurut catatan OJK, ada 105 bank yang beroperasi di Indonesia. Mayoritas, yakni 61 bank, masuk dalam KBMI 1. Sementara, bank dengan modal inti tertinggi (KBMI 4) hanya ada 4 bank. Tiga di antaranya adalah bank milik pemerintah—BRI, BNI, dan Bank Mandiri—satu lagi adalah bank swasta, yaitu BCA.
Keempat bank KBMI 4 tersebut amat dominan dalam dunia perbankan nasional. Jaringan kantornya mencapai 12.608 unit, sekitar 53,56% dari total kantor bank yang berdiri di seluruh Indonesia. Menyusul di belakangnya adalah KBMI 3 dengan jumlah 14 bank dan total kantor 4.484 buah.
Bank Central Asia atau BCA adalah bank dengan modal inti individual terbesar saat ini. Per Juni 2025, nilainya tercatat Rp239,9 triliun, naik dari Rp216 triliun pada tahun sebelumnya. Bank Rakyat Indonesia (BRI) ada di posisi kedua dengan Rp238,5 triliun, juga naik dari Rp233,9 triliun pada Juni 2024.
Sementara Bank Mandiri di posisi ketiga dengan modal inti Rp212,7 triliun. Selanjutnya, Bank Negara Indonesia atau BNI dengan Rp130,8 triliun.
Data lain yang penting dari sebuah bank adalah nilai aset, yang juga digunakan oleh regulator untuk mengukur stabilitas sistemik suatu bank. Stabilitas sistemik merupakan kondisi di saat sistem perbankan berfungsi dengan baik, sehat, dan mampu menahan guncangan (baik dari dalam maupun luar negeri) tanpa menyebabkan keruntuhan yang dapat mempengaruhi keseluruhan sistem keuangan dan perekonomian suatu negara.
Bank dengan nilai aset individual terbesar saat ini adalah Bank Mandiri. Data OJK per Juni 2025 menunjukkan Bank Mandiri memiliki total aset bernilai Rp1.972,6 triliun. Kemudian ada BRI (Rp1.933,7 triliun), BCA (Rp1.459,8 triliun), dan BNI (Rp1.151,9 triliun).
Gambaran modal inti dan nilai aset tersebut menunjukkan betapa dominannya empat bank di KBMI 4 tersebut dalam dunia perbankan nasional. Modal inti dan nilai aset bank-bank KBMI 4 itu jauh di atas mereka yang berada di KBMI 3.
BRI, BCA, Mandiri, dan BNI dapat dianggap sebagai entitas bisnis yang “too big to fail” (terlalu besar untuk gagal). Artinya, dengan ukuran mereka yang sangat besar (modal inti di atas Rp70 triliun) dan peran vitalnya dalam sistem keuangan nasional, kegagalan salah satunya akan berdampak sistemik dan memerlukan intervensi besar dari pemerintah atau otoritas keuangan.
Siapa Penghimpun Dana Masyarakat Terbesar?
Melihat dari modal inti dan nilai asetnya, sudah dapat ditebak bahwa bank-bank di KBMI 4 adalah para penguasa dana pihak ketiga di Indonesia. Data OJK Juni 2025 mencatat total Dana Pihak Ketiga (DPK) yang ada di brankas bank-bank lokal mencapai Rp9.329 triliun.
Sebagian besar dari dana tersebut, yakni Rp3.370,6 triliun, berupa deposito berjangka. Simpanan dalam bentuk giro ada di tempat kedua dengan Rp3.024,5 triliun, sementara total tabungan tercatat Rp2.933 triliun.
Tabel di atas menunjukkan bahwa penguasa DPK adalah bank dengan kategori KBMI 4. Para raksasa keuangan nasional itu menguasai Rp4.985,2 triliun, atau 53,44% dana masyarakat yang masuk ke dalam sistem perbankan. Sementara total DPK pada Bank KBMI 3 mencapai Rp2.348,7 triliun, atau 25,18%. Dengan demikian, secara kumulatif kelompok KBMI 3 dan 4 menguasai 78,61% dari total DPK masyarakat.
Bank-bank KBMI 1 dan 2 relatif kecil dan kontribusi penghimpunannya terhadap DPK minor bila dibandingkan dominasi raksasa perbankan. Berikut ini pemetaan penguasaan perbankan terhadap simpanan masyarakat tersebut.
Bank Mandiri Penguasa Giro
Sebagai bank hasil merger empat BUMN, Bank Mandiri merupakan pemimpin pasar dalam penghimpunan dana giro. Pada Juni 2025, volume giro yang dikelola Mandiri tercatat mencapai sekitar Rp615,5 triliun.
Bank ini secara konsisten menarik dana dari segmen korporasi besar, institusi pemerintah, dan BUMN lainnya, dengan menawarkan layanan cash management yang canggih dan terintegrasi. Fitur-fitur seperti pembayaran massal, auto-debit, dan sistem pelaporan transaksi real-time menjadi andalan Mandiri dalam mempertahankan dominasi di giro. Tak hanya itu, penetrasi di sektor transaksi keuangan pemerintah daerah serta sinergi dengan platform G2P (government-to-person) juga berperan penting.
Bank milik negara itu juga gencar melakukan digitalisasi layanan bisnis dan memperluas solusi treasury dan trade finance berbasis teknologi. Produk-produk digital seperti Livin’ by Mandiri dan Mandiri Internet Bisnis turut memperkuat pengalaman pengguna dan loyalitas klien korporasi. Dengan fokus pada segmen nasabah bernilai tinggi dan ekosistem bisnis besar, Mandiri membangun ketergantungan sistemik yang tinggi terhadap layanannya, sehingga aliran dana giro tetap stabil meskipun suku bunga kompetitif.
Berbondong Menabung di BCA
Berdasarkan laporan triwulanan OJK per Juni 2025, BCA tercatat sebagai bank dengan nilai tabungan terbesar, yaitu mencapai Rp587,5 triliun. Dominasi bank dalam kelompok usaha Djarum Group dalam tabungan ritel merupakan hasil dari konsistensi dalam pelayanan digital, inovasi produk, serta kenyamanan layanan yang dirasakan nasabah. Produk seperti Tahapan BCA dan fasilitas autodebet yang terhubung ke berbagai layanan pembayaran digital membuat BCA menjadi pilihan utama masyarakat kelas menengah ke atas.
BCA juga dikenal unggul dalam kemudahan pembukaan rekening secara online, kemitraan dengan ekosistem pembayaran digital seperti e-commerce dan ride-hailing, serta kecepatan proses transaksi melalui aplikasi myBCA dan KlikBCA. Nasabah diberikan fleksibilitas tinggi, disertai citra merek yang kuat dan jaringan ATM yang luas. Semua ini membuat tabungan di BCA sangat likuid dan mudah digunakan, menjadikannya primadona dana murah di industri.
BRI Raja Deposito Berjangka
BRI menjadi penguasa deposito berjangka nasional dengan nilai sebesar Rp506,1 triliun per Juni 2025. Posisi ini menegaskan kekuatan bank pelat merah itu tidak hanya di tabungan mikro, tetapi juga sebagai pemain utama dalam penghimpunan dana jangka panjang. Dominasi deposito BRI ditopang oleh basis nasabah yang luas dan loyal, termasuk segmen pensiunan, Aparatur Sipil Negara (ASN), hingga nasabah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang beralih ke deposito saat bunga kompetitif.
Strategi BRI dalam memperluas deposito mencakup promosi suku bunga yang menarik, produk deposito fleksibel berbasis digital (e-deposito), serta pendekatan melalui jaringan kantor dan agen BRILink yang sangat masif. BRI juga mengintegrasikan layanan deposito dengan program loyalitas dan bundling produk keuangan lainnya, seperti asuransi dan investasi, menjadikannya pilihan strategis bagi nasabah yang menginginkan stabilitas dan imbal hasil optimal.
Secara keseluruhan, ketiga bank tersebut memimpin di segmen simpanan berbeda berkat kekuatan struktur, strategi bisnis, dan eksekusi digital yang tepat sasaran. Dominasi ini menjadikan mereka bukan hanya sebagai pemimpin dalam penghimpunan DPK, tetapi juga sebagai indikator stabilitas sistem keuangan nasional.
Jalan di Tempat Literasi dan Keuangan
Tingkat pengenalan masyarakat terhadap keuangan di Indonesia cenderung jalan di tempat. Ada kenaikan, tapi tipis-tipis saja.
Setiap tahun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan survei bertajuk “Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK)”. Untuk tahun 2025, indeks literasi atau pengetahuan masyarakat serta keterampilan dan keyakinannya terhadap layanan keuangan rata-rata hanya 66,46% atau sekitar tujuh dari 10 orang yang memiliki literasi, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang 65,43%.
Sedangkan tingkat inklusi keuangan, yakni ketersediaan akses produk dan layanan jasa keuangan, 80,51%. Tahun lalu, posisi indeksnya sebesar 75,02%.
Kalau dibandingkan antara keuangan konvensional dan syariah, ketimpangannya tampak sangat nyata. Lebih dari separuh masyarakat Indonesia belum mengenal produk keuangan syariah. Bahkan ketersediaan aksesnya pun masih minim: hanya 13,41% yang dapat mengakses.
Mungkin tak berlebihan jika saat ini Dana Pihak Ketiga (DPK) terkonsentrasi di bank-bank besar. Selain kemampuan penetrasi pasarnya yang tinggi, tingkat keterkenalan dan kepercayaan masyarakat terhadap bank besar lebih tinggi dibandingkan lainnya.
Kondisi ini sekaligus menciptakan tantangan. Di satu sisi, skalanya yang besar dan efisiensi operasional memungkinkan bank KBMI 4 seperti Mandiri, BRI, BCA, dan BNI menjadi motor utama intermediasi pembiayaan nasional. Namun di sisi lain, konsentrasi yang terlalu tinggi pada kelompok tersebut juga dapat memunculkan risiko sistemik jika tidak diiringi dengan tata kelola yang kuat.
Untuk memperkuat ketahanan dan inklusivitas sistem keuangan, regulator dan pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan sejumlah hal. Pertama, peningkatan literasi dan inklusi keuangan agar masyarakat dapat mengakses produk simpanan dengan lebih luas, termasuk dari bank KBMI 3 atau Bank Pembangunan Daerah (BPD). Kedua, pengembangan kerangka insentif bagi bank yang mampu menumbuhkan dana murah dari sektor UMKM atau wilayah tertinggal. Ketiga, memperluas penggunaan teknologi open banking dan interoperabilitas layanan digital, sehingga efisiensi penghimpunan DPK bisa meningkat tanpa bergantung pada jaringan fisik.
Dengan strategi yang tepat dan dukungan regulasi yang adaptif, sistem penghimpunan DPK di Indonesia dapat terus tumbuh secara berkelanjutan, merata, dan inklusif. Hal ini tidak hanya menopang stabilitas sistem keuangan nasional, tetapi juga memperkuat peran perbankan dalam membiayai pembangunan ekonomi jangka panjang.