Dana Siluman di Jalur Ekspor
28 Agustus, 2025
Setiap tahun, puluhan miliar dolar dana siluman dari perdagangan komoditas mengalir keluar-masuk Indonesia, terungkap dari selisih data dagang.
Keterangan foto: Ilustrasi kapal mainan.
Ringkasan
• Dana Siluman Rugikan Ekonomi Nasional
Aliran dana gelap (illicit financial flows/IFF) dari praktik trade misinvoicing menyebabkan potensi kehilangan pendapatan negara hingga ribuan triliun rupiah, terutama dari pajak dan bea ekspor-impor.
• Komoditas dan Negara Paling Rawan
Komoditas seperti minyak sawit, batu bara, limbah logam mulia, minyak bumi, dan perhiasan menjadi sarana utama misinvoicing ekspor Indonesia, dengan negara mitra seperti Tiongkok, Singapura, dan Bangladesh sebagai pihak yang paling sering terlibat.
• Perlu Pengawasan dan Regulasi Ketat
Masih longgarnya pengawasan ekspor-impor membuat praktik misinvoicing terus terjadi. Pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan, koordinasi internasional, dan transparansi data perdagangan untuk menekan aliran dana gelap.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Aliran dana gelap atau dana siluman (illicit financial flows, IFF) ditengarai telah menghantui perekonomian berbagai negara termasuk Indonesia, selama beberapa dekade terakhir. Kegiatan ini mesti diwaspadai dan diberantas karena merugikan perekonomian dan pembangunan di suatu negara.
Secara sederhana, IFF merujuk pada dana yang dihasilkan, dipindahkan, atau digunakan secara tidak sah melintasi batas negara. Dana siluman identik dengan perdagangan ilegal, penghindaran pajak (tax avoidance)1, penggelapan pajak (tax evasion)2, penyelundupan barang, juga penyembunyian hasil kejahatan supaya tidak terdeteksi, alias pencucian uang (money laundering).
1. Bentuk penghindaran pajak untuk mengurangi atau meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan celah ketentuan perpajakan suatu negara.
2. Penggelapan secara ilegal terhadap objek pajak yang dilakukan perorangan maupun korporasi.
“IFF atau dana siluman merupakan serangkaian metode dan praktik yang bertujuan untuk mentransfer modal keuangan keluar dari suatu negara yang melanggar hukum nasional atau internasional,” Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Aliran dana siluman sering kali bersembunyi di balik transaksi perdagangan atau investasi yang sah, sehingga sulit untuk dilacak dan diukur. Namun daya rusaknya terhadap perekonomian negara terbilang besar.
Dengan alasan itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) menjadikan IFF sebagai salah satu poin yang pada tahun 2030 harus bisa dikurangi secara signifikan. Tujuan tersebut tertera pada Target 16.4 yang menyatakan: Pada tahun 2030, secara signifikan mengurangi aliran keuangan dan senjata ilegal, memperkuat pemulihan dan pengembalian aset yang dicuri, dan memerangi semua bentuk kejahatan terorganisir. Pada bagian 16.4.1 dirinci dengan menegaskan upaya mengurangi besaran IFF, baik yang masuk maupun keluar dalam perdagangan antar-negara.
Penelitian yang dilakukan secara berkala oleh Global Financial Integrity (GFI), sebuah think tank berbasis di Washington DC yang fokus pada IFF, korupsi, perdagangan gelap dan pencucian uang, menunjukkan bahwa IFF kerap terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyebabnya, antara lain, ekspor yang masih didominasi komoditas primer, pengawasan perbatasan yang belum optimal, serta masih adanya celah dalam regulasi, khususnya ekspor-impor.
GFI memperkirakan, nilai IFF terkait perdagangan masuk dan keluar negara berkembang rata-rata mencapai sekitar 20% dari nilai total transaksi perdagangan negara berkembang dengan negara maju. Dengan demikian, berarti ratusan juta dolar dalam bentuk pendapatan pajak hilang. Padahal, dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, serta mengurangi kemiskinan.
Pada publikasi ini, NEXT Indonesia Center menelusuri aliran dana siluman dengan fokus pada ekspor sejumlah komoditas yang kemungkinan menjadi kendaraan praktik lancung ini. Dalam menghitung IFF, NEXT Indonesia Center memakai metode yang digunakan oleh GFI.
GFI menghitung trade misinvoicing (kecurangan dalam faktur perdagangan) menggunakan pendekatan gross excluding reversals (GER). Pendekatan ini mengkalkulasi ketidaksesuaian antara laporan nilai ekspor sebuah negara dengan laporan nilai impor di negara-negara tujuan untuk komoditas yang sama.
Studi terhadap misinvoicing ini penting untuk bisa menyusun kebijakan menyeluruh, mulai dari pengawasan hingga pencegahan, yang lebih efektif. Aliran dana siluman tersebut dapat menggerus potensi pendapatan negara dari cukai maupun perpajakan. Mestinya, penerimaan tersebut dapat dialokasikan untuk kepentingan masyarakat. Akibat tidak tercatat, keuntungannya justru hanya dinikmati segelintir orang.
Pembahasan dalam publikasi ini dibatasi pada misinvoicing nilai ekspor komoditas dari Indonesia ke negara-negara mitra. Sementara, untuk menganalisis illicit financial flows, publikasi ini menggunakan UN Comtrade Database dengan klasifikasi Harmonized System (HS)3 4-digit pada periode 2014 hingga 2023.
3. Sistem penamaan dan penomoran standar internasional yang digunakan untuk mengklasifikasikan barang-barang yang diperdagangkan secara global, dikelola oleh Organisasi Kepabeanan Dunia (WCO).
Modus Kecurangan Lewat Faktur Perdagangan
Dalam perdagangan internasional, dana gelap kerap mengalir melalui praktik trade misinvoicing atau kecurangan dalam faktur perdagangan, yaitu perbedaan pencatatan nilai ekspor–impor antara dua negara mitra dagang. Perbedaan data terjadi ketika eksportir atau importir memalsukan harga pada faktur barang yang diperdagangkan. Tujuannya bisa beragam, termasuk menghindari pajak dan cukai, cuci uang hasil kejahatan, menghindari kontrol mata uang, hingga menyembunyikan keuntungan di luar negeri.
Ada dua jenis misinvoicing yang mungkin dilakukan dalam ekspor komoditas, yaitu over-invoicing dan under-invoicing. Over-invoicing menurut Organisasi Kepabeanan Dunia (WCO) terjadi saat catatan ekspor komoditas di negara asal, dalam hal ini Indonesia, lebih besar dibandingkan catatan impor di negara tujuan. Hal ini mungkin dilakukan untuk mengeksploitasi insentif ekspor atau mekanisme capital flight (pelarian modal) secara terselubung ke Indonesia.
Sedangkan under-invoicing dalam ekspor adalah pelaporan nilai ekspor yang lebih rendah dibandingkan nilai catatan impor di negara tujuan. Eksportir mungkin ingin menyamarkan pendapatan yang diterima dari transaksi dagang. Akibatnya, potensi penerimaan negara dan devisa menjadi berkurang.
Sesuai dengan rumus penghitungan misinvoicing dari GFI, total nilai ekspor turut memperhitungkan biaya pengapalan dan asuransi sekitar 10-20% dari nilai ekspor. Dalam publikasi ini, NEXT Indonesia Center menggunakan perkiraan biaya pengapalan dan asuransi 10%.
Begini hitung-hitungannya. Misal, eksportir Indonesia mengirimkan minyak sawit ke India yang dinyatakan dalam faktur bernilai US$1 juta, tetapi India mencatatnya US$1,5 juta. Seharusnya, dengan biaya asuransi dan pengapalan 10%, India mencatat US$1,1 juta. Dengan demikian, telah terjadi under-invoicing sebesar US$400.000. Dengan begitu, potensi penerimaan negara dari angka US$400.000 itu pun menguap alias raib.
Dengan skenario serupa, tetapi pihak India mencatat impor minyak sawit dari Indonesia hanya senilai US$900.000. Dengan demikian, terlah terjadi over-invoicing senilai US$200.000. Selisih itulah yang disebut sebagai dana siluman yang masuk ke Indonesia, tentu dengan motif beraneka ragam. Namun yang pasti, selisih itu dicatat sebagai transaksi dagang yang sah.
NEXT Indonesia Center menelusuri catatan ekspor dan impor United Nations Commodity Trade Statistics Database (UN Comtrade), repositori statistik perdagangan internasional resmi yang diampu Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pada periode 2014-2023, tren misinvoicing pada catatan ekspor Indonesia tampak konsisten dengan nilai yang terbilang besar.
Sepanjang 10 tahun tersebut, terjadi over-invoicing dengan nilai rata-rata US$25,3 miliar per tahun. Sedangkan catatan under-invoicing bernilai rata-rata US$40,2 miliar per tahun.
Nilai misinvoicing terbesar tampak terjadi pada tahun 2022. Under- invoicing terbesar dalam satu dekade tersebut mencapai US$54,9 miliar, atau Rp821,5 triliun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI) 20224, sementara over-invoicing tercatat US$31,6 miliar atau Rp471,8 triliun.
4. Kurs tengah Bank Indonesia tahun 2022, US$1 = Rp14.945
Tren misinvoicing ini tampak berlangsung konsisten, terutama pada periode harga komoditas yang fluktuatif, ketika selisih harga pasar dengan harga pada faktur mudah dimanipulasi. Tak heran jika minyak sawit (crude palm oil, CPO) menjadi komoditas yang kerap mencatatkan misinvoicing relatif besar. Kasus ini akan diurai khusus pada bagian selanjutnya publikasi ini.
Dari catatan UN Comtrade, tampak ekspor ke negara mana saja yang mencatatkan nilai over-invoicing dan under-invoicing tertinggi. Dalam 10 tahun (2014-2023), under-invoicing terbesar ternyata terjadi pada ekspor komoditas ke Tiongkok. Nilainya mencapai US$53 miliar atau setara dengan Rp863 triliun5, dan mengambil porsi 13,19% dari total nilai under-invoicing yang terjadi pada satu dekade itu.
5. Semua nilai tukar dolar AS ke rupiah menggunakan kurs tengah Bank Indonesia 22 Juni 2025, US$1=Rp16.283, kecuali jika disebutkan berbeda.
Dengan demikian, ada potensi pajak yang lepas dari ekspor ke Tiongkok dengan taksiran sekitar Rp863 triliun dalam waktu 10 tahun tersebut. Pada periode yang sama, nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai US$343,9 miliar. Dengan demikian, proporsi under-invoicing tersebut mencapai 15,41% dari total ekspor ke Tiongkok.
Catatan ekspor ke Singapura ada di posisi kedua dengan nilai under- invoicing US$46,4 miliar. Selanjutnya, disusul Amerika Serikat, dengan nilai under-invoicing US$32,7 miliar.
Total nilai under-invoicing pada periode 2014-2023 tersebut mencapai US$401,6 miliar. Dengan demikian, hilanglah potensi penerimaan pajak dan bea/cukai dari ekspor yang bernilai sekitar Rp6.539,3 triliun tersebut.
Untuk kasus over-pricing, nilai tertinggi dicatatkan oleh ekspor komoditas Indonesia ke Singapura, yaitu mencapai US$24,2 miliar pada periode 2014-2023. Berarti, ada potensi dana gelap yang masuk ke Indonesia sekitar Rp394,2 triliun.
Bangladesh dan Malaysia melengkapi tiga besar negara mitra dagang Indonesia yang mencatatkan over-invoicing tertinggi. Nilai dana siluman dari dua negara tersebut masing-masing mencapai US$20,21 miliar dan US$17,24 miliar.
Pada periode 10 tahun itu, total over-invoicing ekspor Indonesia tercatat US$252,87 miliar, atau Rp4.117,5 triliun. Dengan demikian, senilai itu pula potensi masuknya dana gelap ke Indonesia. Kini, mungkin uang tersebut sudah dianggap halal karena dapat didalilkan sebagai aliran dana dari hasil perdagangan, walau pun sambil memanipulasi faktur.
5 Komoditas Tumpangan Dana Siluman Terbesar
NEXT Indonesia Center kemudian menelusuri data United Nations Commodity Trade Statistics Database (UN Comtrade), repositori statistik perdagangan internasional resmi yang diampu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk melihat komoditas yang telah mencatatkan misinvoicing ekspor Indonesia terbesar pada periode pengamatan (2014-2023). Dari catatan ini, pemerintah dapat mengintil untuk mencegah masuknya dana gelap hasil misinvoicing.
Under-invoicing, yakni ketika catatan ekspor Indonesia lebih rendah dibandingkan negara mitra, yang terbesar dalam periode 10 tahun (2014-2023) dicatatkan oleh komoditas berkode HS 7112 (rincian di tabel). Total nilainya mencapai US$15,4 miliar.
Sekadar gambaran, komoditas tersebut merupakan sisa atau produk buangan dari industri pengolahan atau barang bekas yang mengandung senyawa atau lapisan logam mulia. “Sampah” ini berpotensi diproses kembali untuk mendapat logam mulia, misalnya emas.
Boleh jadi misinvoicing HS 7112 ini terjadi karena eksportir memang mencatatkannya sebagai ekspor limbah logam mulia. Namun, dalam perjalanan menuju negara tujuan ekspor, limbah ini telah diolah menjadi logam mulia. Akibatnya terjadi perbedaan nilai ekspor lantaran negara pengimpor mencatatnya sebagai logam mulia, yang jelas lebih tinggi nilainya.
Perilaku perdagangan seperti itu tercatat sebagai under-invoicing. Pada deretan lima besar, komoditas limbah logam mulia paling dominan. Dari komoditas-komoditas itulah dana siluman yang bebas pungutan dari otoritas Indonesia mengalir.
Uraian lima besar komoditas terbesar bisa dilihat dalam rincian di bawah ini.
• Limbah Logam Mulia (HS 7112)
Catatan ekspor limbah logam mulia yang masuk kategori under-invoicing, dalam 10 tahun terakhir, yang terbesar terjadi dalam perdagangan dengan Swiss. Negara Eropa ini terkenal sebagai penghasil barang-barang berkualitas tinggi yang kerap juga dihiasi oleh logam mulia.
Selisih perdagangan Indonesia dengan negara tersebut senilai US$8,5 miliar atau 55,2% dari total nilai under-invoicing ekspor komoditas limbah logam mulia sepanjang satu dekade.
• Minyak Bumi (HS 2710)
Indonesia mencatat ekspor minyak bumi ke Singapura lebih rendah dari pembukuan pemerintah Singapura. Nilai under-invoicing tersebut dalam 10 tahun terakhir mencapai US$5,2 miliar. Selisih pencatatan itu merupakan yang tertinggi di antara perdagangan ekspor Indonesia dengan negara-negara lain.
Walau wilayahnya kecil, negara tetangga ini memiliki salah satu kilang minyak terbesar di dunia yang terletak di Pulau Jurong. Fasilitas pengolahan itu mampu menghasilkan 290.000 barel minyak per hari.
• Batu Bara (HS 2701)
India adalah negara tujuan utama ekspor batu bara dari Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Pada periode 2014-2023, data Badan Pusat Statistik mencatat pengiriman komoditas tersebut ke India mencapai 1,07 miliar ton atau 31% dari total ekspor batu bara ke seluruh dunia. Nilai freight on board (FOB) total ekspor ke India itu tercatat sebesar US$53,8 miliar.
Tak heran jika nilai under-invoicing ekspor batu bara Indonesia ke India menjadi yang paling besar, yaitu US$7,3 miliar dalam 10 tahun terakhir. Jumlah itu setara dengan 57,17% dari total nilai under-invoicing untuk komoditas batu bara.
• Minyak Sawit (HS 1511)
Minyak sawit merupakan primadona komoditas ekspor Indonesia. Nilai perdagangannya pada periode 2014-2023, menurut data BPS mencapai US$212,5 miliar. Pada periode itu, under-invoicing yang tercatat sekitar US$11,6 miliar. Dengan demikian, ada potensi 5,5% nilai ekspor yang bocor.
Penelusuran data UN Comtrade menunjukkan under-invoicing pada ekspor komoditas ini sebagian besar terjadi dalam perdagangan dengan negara-negara Afrika. Ethiopia menempati posisi teratas dengan nilai under-invoicing mencapai US$1,6 miliar.
• Lignit (HS 2702)
Ekspor Lignit -jenis batu bara peringkat rendah yang terutama digunakan untuk pembangkit listrik ke Tiongkok mencatatkan under-invoicing terbesar. Dalam 10 tahun terakhir, nilainya mencapai US$10,8 miliar atau 93,42% dari total under-invoicing US$11,5 miliar.
5 Komoditas Over-Invoicing Terbesar
Over-invoicing terjadi akibat Indonesia mencatat nilai ekspor lebih besar dari yang dibukukan oleh negara mitra. Selisihnya merupakan dana siluman yang mengalir dari luar negeri, namun tercatat sebagai hasil perdagangan ekspor.
Dari penelusuran data UN Comtrade, total nilai dana gelap pada periode 2014-2023 dari selisih data perdagangan, mencapai US$252,9 miliar. Ekspor minyak sawit (HS 1511) mencatatkan over-invoicing tertinggi pada periode tersebut dengan jumlah US$35 miliar atau 13,84% dari total potensi dana gelap yang masuk Indonesia.
Menariknya, dalam ekspor minyak sawit terjadi under-invoicing sekaligus over-invoicing. Bahkan masuk dalam lima besar pada kedua kategori misinvoicing. Berarti, potensi pajak yang dikemplang sekaligus dana gelap yang masuk dari komoditas ini terbilang besar.
Komoditas lain yang mengalami hal serupa adalah batu bara. Komoditas berkode HS 2701 tersebut ada di peringkat ke-4 over-invoicing dengan nilai total US$6 miliar pada periode 2014-2023.
Berikut adalah negara-negara mitra dagang dari lima produk dengan over-invoicing terbesar:
• Minyak Sawit (HS 1511)
Nilai over-invoicing yang besar dalam ekspor minyak sawit bisa mengindikasikan banyaknya dana gelap yang masuk ke Indonesia melalui perdagangan komoditas ini. Ekspor ke Bangladesh mencatatkan over-invoicing terbesar, yakni mencapai US$8,4 miliar pada periode 2014-2023.
Negara Asia Selatan ini juga menjadi satu dari 10 negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia. Data BPS menunjukkan total nilai ekspor minyak sawit ke Bangladesh mencapai US$9,2 miliar pada periode 2014-2023.
• Perhiasan (HS 7113)
Over-invoicing terbesar komoditas perhiasan terjadi dalam perdagangan dengan Swiss. Sepanjang 10 tahun, total nilainya tercatat US$9,7 miliar. Menariknya, untuk komoditas limbah logam mulia (HS 7112) terjadi under-invoicing dengan negara tersebut, bahkan termasuk yang terbesar. Penelitian lebih dalam perlu dilakukan untuk melihat apakah ada keterkaitan antara misinvoicing dari ekspor dua komoditas tersebut.
Indikasi masuknya dana gelap yang besar melalui perdagangan perhiasan juga terlihat pada ekspor perhiasan dengan Singapura (US$2,9 miliar) dan Yordania (US$1,1 miliar).
• Kokas Petroleum (HS 2713)
Kokas petroleum adalah material kaya karbon yang dihasilkan dari penyulingan minyak bumi. Komoditas ini banyak dipakai sebagai bahan bakar dalam industri produksi logam.
Ekspor kokas petroleum ke Malaysia mencatatkan over-invoicing terbesar, dengan nilai US$6,5 miliar pada 2014-2023.
• Batu Bara (HS 2701)
Selain under-invoicing, ternyata dalam ekspor batu bara juga terjadi over-invoicing. Sepanjang 10 tahun, nilainya mencapai US$6 miliar. Potensi masuknya dana gelap tertinggi datang dari Bangladesh, yakni senilai US$3,6 miliar.
• Alas Kaki (HS 6403)
Perdagangan Indonesia dengan Belgia mencatat ekspor alas kaki dengan over-invoicing tertinggi, yakni mencapai US$2,6 miliar. Angka tersebut sekitar 57,51% dari total over-invoicing ekspor alas kaki pada periode 2014-2023, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain, termasuk peringkat kedua Amerika Serikat (US$440 juta).
Dana Siluman di Seputar Sawit
Komoditas minyak sawit (HS 1511) menjadi menarik untuk diulas tersendiri lantaran besarnya under-invoicing dan over-invoicing yang tercatat dalam ekspor ke sejumlah negara. Apalagi, minyak sawit (crude palm oil, CPO) termasuk primadona ekspor mengingat Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia.
Pada periode 2024-2023, data BPS menunjukkan bahwa total nilai ekspor sawit Indonesia mencapai US$212,5 miliar. India menjadi tujuan utama dengan ekspor bernilai total US$37,7 miliar pada periode tersebut, disusul Tiongkok (US$32,8 miliar) dan Pakistan (US$17,9 miliar).
Dalam satu dekade tersebut, ekspor minyak sawit mengalami over- invoicing senilai US$35 miliar, atau 16,47% dari total nilai ekspor CPO pada periode tersebut. Artinya, potensi dana gelap yang masuk ke Indonesia melalui perdagangan CPO ini cukup besar.
Dari catatan UN Comtrade di atas, tampak bahwa over-invoicing minyak sawit terbesar terjadi pada ekspor ke Bangladesh. Pada periode 2014-2023, Bangladesh hanya sekali mencatat impor minyak sawit dari Indonesia, yakni sebesar US$1,4 miliar pada tahun 2015. Setelah itu, Bangladesh tidak lagi mencatat adanya impor minyak sawit dari Indonesia. Padahal, setiap tahun hingga 2023, Indonesia selalu mencatat ada minyak sawit yang dikirim ke negara di Asia Selatan tersebut.
Meski ada kemungkinan otoritas Bangladesh alpa atau enggan mengisi catatan impor, tetapi situasi ini harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah Indonesia. Soalnya, ada kemungkinan ekspor ke Bangladesh menjadi modus pencucian uang (money laundering) oleh eksportir yang nakal.
Over-invoicing bernilai besar juga tampak pada catatan ekspor dengan Myanmar, Singapura, Filipina, dan Djibouti.
Nilai under-invoicing ekspor CPO Indonesia 2014-2023 mencapai total US$11,6 miliar. Memang lebih kecil dari angka over-invoicing, tetapi modus ini berpotensi besar merugikan keuangan negara akibat bea ekspor yang diterima lebih kecil dari semestinya.
Apalagi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja menaikkan tarif pungutan ekspor CPO menjadi 10% dari sebelumnya 7,5%. Tarif ekspor baru tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) pada Kementerian Keuangan dan mulai berlaku sejak 17 Mei 2025.
Under-invoicing terbesar, berdasarkan data UN Comtrade, tampak pada ekspor CPO ke Ethiopia. Negara Afrika itu mencatat ada impor minyak sawit dari Indonesia senilai US$1,6 miliar pada periode 2014-2023, sementara pada catatan ekspor Indonesia hanya tertulis US$25 juta. Potensi kehilangan pungutan pajak dari ekspor ini luar biasa besarnya.
Nilai under-invoicing yang mencapai miliaran dolar AS juga tampak pada ekspor CPO ke Uganda, Rusia, Kenya, dan Nepal.
Longgarnya Pengawasan
Masih tingginya nilai over-invoicing dan under-invoicing pada komoditas minyak sawit, begitu pun pada sejumlah komoditas ekspor lainnya, telah terjadi bertahun-tahun. Kondisi ini menunjukkan masih lemahnya pengawasan ekspor- impor pemerintah pada lalu lintas perdagangan ekspor.
Tak berlebihan jika pengawasan dan pemeriksaan data ekspor perlu lebih sering ditengok. Jangan lupa, ada potensi penerimaan negara yang hilang di situ, selain bisa meminimalkan masuknya dana gelap ke perekonomian nasional.
Misinvoicing ekspor merupakan masalah struktural yang merugikan Indonesia dari sisi penerimaan negara, stabilitas devisa, hingga integritas sistem perdagangan. Komoditas primer bernilai tinggi seperti CPO menjadi titik rawan utama yang sebaiknya mendapatkan perhatian lebih.
Implementasi regulasi yang terintegrasi, koordinasi dengan pihak internasional khususnya negara mitra dagang, serta transparansi data patut dievaluasi. Tanpa langkah perbaikan serius, potensi kehilangan negara akibat illicit financial flow akan terus berlanjut dan mengurangi manfaat optimal dari perdagangan internasional Indonesia.