Mencari Jalan Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem
29 Oktober, 2025
Sinergi pemerintah pusat dan daerah dibutuhkan untuk mengangkat lebih dari 2 juta jiwa warga Indonesia dari jurang kemiskinan ekstrem.
Keterangan foto: Ilustrasi peta Indonesia dari potongan roti.
Ringkasan
• Pemerintah Fokus Capai Nol Kemiskinan Ekstrem pada 2029
Presiden Prabowo menegaskan penghapusan kemiskinan ekstrem sebagai prioritas nasional, dengan target 0% pada 2029. Inpres No. 8 Tahun 2025 menjadi payung hukum bagi 47 kementerian/lembaga dan seluruh pemerintah daerah untuk menjalankan strategi pengentasan kemiskinan melalui tiga pendekatan: mengurangi beban pengeluaran, meningkatkan pendapatan, dan menghapus kantong-kantong kemiskinan.
• Konvergensi Program dan Pendanaan Jadi Kunci Pelaksanaan
Pemerintah mengintegrasikan dana dari APBN, APBD, dan Dana Desa agar penanganan kemiskinan ekstrem lebih tepat sasaran. Pendekatan berbasis data tunggal P3KE digunakan untuk memastikan bantuan sampai ke kelompok paling rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat di daerah tertinggal. Daerah dengan kinerja baik mendapat insentif fiskal untuk mendorong kolaborasi pusat-daerah.
• Ketimpangan Wilayah Masih Jadi Tantangan Utama
Meski angka kemiskinan ekstrem nasional turun ke 0,85% pada 2025, ketimpangan antarwilayah masih mencolok. Wilayah timur Indonesia seperti Papua dan NTT mencatat tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi, sementara Jawa dan Kalimantan relatif rendah. Tantangan terbesar terletak pada akses infrastruktur, lapangan kerja, dan layanan dasar di daerah terpencil agar target nol kemiskinan ekstrem bisa tercapai secara merata.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Sejak awal pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto sudah mengibarkan bendera perang untuk melawan kemiskinan, terutama kemiskinan ekstrem. Kini, tersisa empat tahun agar kemiskinan ekstrem tercatat nihil di Indonesia.
Hingga saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan ekstrem di Indonesia 0,85% dari total populasi atau sekitar 2,38 juta jiwa. Sebagai acuan mengikis jumlah penduduk yang masuk kategori miskin ekstrem, Presiden Prabowo telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Inpres tersebut menginstruksikan 47 kementerian/lembaga (K/L) serta seluruh pemerintah daerah untuk mengambil langkah terpadu dan sinergis dalam percepatan penanganan kemiskinan. Terdapat tiga strategi utama yang ditekankan Presiden Prabowo sesuai Inpres 8/2025, yaitu: (1) pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin, (2) peningkatan pendapatan masyarakat miskin, dan (3) pengurangan kantong-kantong kemiskinan.
Melalui Inpres, pemerintah pusat mendorong paradigma baru pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan, tidak lagi semata mengandalkan bantuan sosial. Program-program seperti perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), bantuan kebutuhan dasar, pendidikan gratis, dan pemberdayaan ekonomi lokal digencarkan.
Pemerintah daerah diminta memastikan keluarga yang tergolong miskin ekstrem mendapat manfaat dari seluruh program yang ada: mulai dari perlindungan sosial, pemberdayaan ekonomi, hingga perbaikan infrastruktur permukiman.
Dalam pelaksanaan program, Presiden menegaskan pentingnya ketepatan sasaran dengan memanfaatkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) atau Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) sebagai basis data terpadu. Penggunaan data tersebut diharapkan dapat memastikan bantuan yang digelontorkan menjangkau kelompok paling rentan: lansia sebatang kara, penyandang disabilitas, keluarga tanpa akses dasar, dan sebagainya.
Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah menetapkan target kemiskinan ekstrem 0% pada 2029, mengikuti standar internasional US$2,15 PPP (Purchasing Power Parity)1 per kapita per hari. Target ambisius ini coba dicapai dengan fokus pada daerah-daerah kantong kemiskinan ekstrem.
1. Purchasing Power Parity (PPP)/Paritas Daya Beli adalah teori ekonomi makro yang menyatakan bahwa nilai tukar antar mata uang seharusnya sama dengan rasio harga sekeranjang barang yang identik di dua negara berbeda.
Presiden Prabowo meminta jajaran kabinet dan kepala daerah “bekerja keras untuk memutus mata rantai kemiskinan” agar target tercapai tepat waktu. Untuk mendukung hajat tersebut, koordinasi dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat yang mengorkestrasi 47 K/L terkait. Pendekatan inklusif dan kolaboratif diterapkan dengan melibatkan perguruan tinggi, dunia usaha, dan masyarakat sipil di setiap daerah.
Selain itu, pada tahun 2024 pemerintah mulai menyalurkan Dana Insentif Fiskal (DIF) kepada pemerintah daerah berprestasi dalam menurunkan kemiskinan ekstrem. Insentif ini dimaksudkan mendorong pemerintah daerah memperkuat program percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem secara inovatif dan tepat sasaran.
2. Dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada daerah atas pencapaian kinerja berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja pemerintahan daerah antara lain pengelolaan keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar, dukungan terhadap kebijakan strategis nasional, dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional.
Insentif Fiskal Kemiskinan Ekstrem
Inpres No. 8/2025 juga menekankan optimalisasi anggaran lintas sektor. Pemerintah melakukan konvergensi anggaran pusat dan daerah, dengan mengarahkan pendanaan dari APBN, APBD, dan Dana Desa menyasar program pengentasan kemiskinan ekstrem secara terintegrasi. Misalnya, Dana Desa dioptimalkan untuk pembangunan infrastruktur dasar di desa miskin, seperti penyediaan air bersih, sanitasi, dan listrik. Dana Alokasi Khusus (DAK)3 digunakan untuk membiayai program peningkatan pendapatan, seperti pelatihan keterampilan, bantuan usaha tani. Sementara Dana Alokasi Umum (DAU)4 diarahkan lebih proporsional ke daerah miskin agar kapasitas fiskal daerah miskin tersebut meningkat.
3. Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
4. Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaandesentralisasi.
Peningkatan DAU dan DAK berpengaruh signifikan menurunkan tingkat kemiskinan. Setiap kenaikan transfer umum dan khusus tersebut diharapkan menurunkan jumlah penduduk miskin. Oleh sebab itu, pemerintah pusat telah menyempurnakan formula transfer ke daerah dengan memasukkan variabel kemiskinan ekstrem. Selain itu, outcome penurunan kemiskinan ekstrem menjadi salah satu indikator kinerja untuk Dana Insentif Daerah (DID)5, yang diberikan sebagai penghargaan kepada daerah yang berhasil menurunkan kemiskinan ekstrem.
5. Dana dari APBN yang diberikan kepada daerah sebagai penghargaan atas perbaikan atau pencapaian kinerja tertentu, seperti pengelolaan keuangan daerah, pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat.
Langkah-langkah komprehensif ini menunjukkan bahwa agenda penghapusan kemiskinan ekstrem menjadi prioritas nasional. Kombinasi pendanaan, kebijakan berbasis data, program terpadu, dan insentif kinerja diharapkan mempercepat tercapainya Indonesia bebas kemiskinan ekstrem pada 2029.
Pada publikasi ini NEXT Indonesia Center coba melihat daerah-daerah mana saja di Indonesia dengan porsi penduduk miskin ekstrem tertinggi, sekaligus memetakan bantuan apa yang dibutuhkan agar tidak ada lagi penduduk miskin ekstrem di wilayah tersebut.
Kalkulasi Kemiskinan Versi BPS dan Bank Dunia
Kerap muncul pertanyaan terkait perbedaan angka kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS) dan World Bank (Bank Dunia). Apa bedanya?
Sejatinya perbedaan itu wajar, karena batas garis kemiskinan yang digunakan dan tujuan pengukurannya berbeda, namun tidak saling bertentangan. BPS menggunakan garis kemiskinan nasional yang dihitung dengan pendekatan cost of basic needs (kebutuhan dasar). Artinya, BPS menetapkan Garis Kemiskinan (GK) berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan di Indonesia.
Komponen makanan didasarkan pada standar 2.100 kilokalori (kkal) per kapita per hari (dari beras, telur, tahu-tempe, minyak goreng, sayur, dan lain-lain). Kemudian, komponen non-makanan yang mencakup kebutuhan minimum perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, transportasi, dan sebagainya.
Data pengeluaran tersebut dikumpulkan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dua kali setahun dengan ratusan ribu sampel rumah tangga. Hasilnya, garis kemiskinan BPS mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia yang berbeda antardaerah, sesuai harga dan pola konsumsi lokal.
Sebagai contoh, GK nasional September 2024 sekitar Rp595.242 per kapita per bulan (sekitar Rp20 ribu/hari). Namun GK provinsi bervariasi: di DKI Jakarta Rp846 ribu/kapita/ bulan, di Nusa Tenggara Timur Rp708 ribu, di Lampung Rp600 ribu, begitu seterusnya, yang mencerminkan perbedaan biaya hidup. Seseorang dikategorikan miskin oleh BPS jika pengeluaran per kapitanya di bawah garis kemiskinan setempat.
Sementara Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan internasional yang seragam secara global untuk perbandingan antarnegara. Bank Dunia memiliki beberapa garis kemiskinan: US$2,15 Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity, PPP) per hari untuk kemiskinan ekstrem (garis ini setara sekitar Rp546 ribu per kapita per bulan di Indonesia), lalu US$3,65 PPP untuk negara berpendapatan menengah-bawah, dan US$6,85 PPP (baru diperbarui menjadi US$8,30 PPP) untuk negara menengah-atas.
Angka PPP menyesuaikan daya beli antarnegara, bukan kurs resmi, sehingga US$1 PPP di Indonesia tidak sama dengan Rp16 ribu melainkan sekitar Rp5.993 pada 2024. Indonesia memang masuk dalam kategori upper middle income country (UMIC), dengan gross national income (GNI) per kapita US$4.870.
Namun, GNI tersebut hanya sedikit di atas ambang UMIC, yakni antara US$4,516 hingga US$14,005. Oleh karena itulah, penggunaan garis kemiskinan global UMIC (US$6.85/8.30 PPP) menghasilkan angka kemiskinan yang jauh lebih tinggi dibanding garis nasional.
Laporan Bank Dunia awal 2025 menyebut 60,25% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan US$6,85 PPP (2017). Setelah pembaruan PPP 2021, garis UMIC naik ke US$8,30 PPP dan estimasi Bank Dunia terbaru menyatakan 68,30% penduduk Indonesia, sekitar 194,7 juta jiwa, tergolong miskin menurut standar UMIC. Lonjakan ini terjadi karena standar hidup “minimum” versi UMIC memang jauh lebih tinggi daripada kebutuhan dasar di Indonesia.
Penting dipahami bahwa perhitungan kemiskinan versi Bank Dunia bertujuan sebagai acuan atau benchmark global dan analisis komparatif antarnegara. Sedangkan keluaran BPS bertujuan untuk kebijakan nasional.
Bank Dunia sendiri menyatakan bahwa garis kemiskinan nasional BPS adalah yang paling relevan untuk diskusi kebijakan di Indonesia. Bank Dunia mendorong tiap negara memakai garis kemiskinan nasionalnya untuk penentuan program, dan angka global dipakai untuk memantau kemiskinan dunia.
Dengan demikian, data BPS lebih sesuai untuk melihat kondisi kemiskinan di dalam negeri, karena metodologi BPS disusun sesuai karakteristik lokal dan data survei resmi. BPS juga mengikuti standar internasional dalam penghitungan kemiskinan dan metode kebutuhan dasar juga dipakai banyak negara berkembang. Bahkan Bank Dunia mengakui turut menggunakan data survei BPS (Susenas) yang sama dalam menghitung angka kemiskinan versi mereka. Perbedaan hanya pada garis batas dan penyesuaian data, bukan pada data dasarnya.
Selain itu, BPS secara rutin mengumumkan detail kemiskinan hingga level daerah (provinsi/kabupaten, urban-rural), sesuatu yang tidak dicakup oleh laporan Bank Dunia global. BPS juga menjelaskan konsep secara transparan sehingga publik dapat memahami definisi kemiskinan dengan benar. Misalnya, BPS menjelaskan bahwa garis kemiskinan adalah rata-rata kebutuhan rumah tangga miskin, bukan berarti jika berpenghasilan Rp20 ribu/hari maka “tidak miskin”.
Hal-hal itulah yang membuat data BPS tetap relevan dan kredibel sebagai acuan penanggulangan kemiskinan nasional. Bahkan pihak World Bank menegaskan garis kemiskinan BPS tetap relevan untuk kebijakan nasional, sementara garis global “sengaja dibuat berbeda” untuk tujuan berbeda.
Menuju Angka Nol Kemiskinan Ekstrem
Kemiskinan ekstrem mengacu pada penduduk dengan pengeluaran sangat di bawah garis kemiskinan –secara internasional diukur dengan ambang sekitar US$2,15 PPP per hari (setara Rp16 ribu/orang/hari). Pemerintah Indonesia mengadopsi definisi serupa untuk target penghapusan kemiskinan ekstrem, yakni penduduk dengan pengeluaran di bawah US$2,15 PPP per hari.
Selama beberapa dekade, Indonesia telah mencatat kemajuan pesat dalam penurunan kemiskinan ekstrem. Pada awal 1980-an, diperkirakan lebih dari separuh penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Namun berkat pertumbuhan ekonomi dan program pengentasan kemiskinan, angkanya menurun drastis.
Data pada Poverty and Inequality Platform (PIP) Bank Dunia menunjukkan tren penurunan angka kemiskinan ekstrem yang konsisten sejak tahun 1980-an. Sementara BPS mulai merilis angka kemiskinan ekstrem secara resmi pada Maret 2025 seiring penajaman target pemerintah.
Pada Maret 2022, BPS menyebut penduduk miskin ekstrem sekitar 2,1% dari populasi atau sekitar 5,8 juta orang. Pada Maret 2023 angka tersebut turun menjadi 1,12%, yang setara dengan sekitar 3,1 juta orang. Lalu turun lagi pada Maret 2024 menjadi sebesar 1,26% dari total penduduk atau 3,56 juta orang.
Terbaru, Maret 2025, BPS melaporkan kemiskinan ekstrem tersisa 0,85% dari penduduk, yaitu sekitar 2,38 juta jiwa. Ini berarti dalam setahun terakhir hampir 1,2 juta orang berhasil dientaskan dari status miskin ekstrem. Pencapaian ini merupakan level terendah sepanjang sejarah pencatatan BPS. Tren penurunan cepat ini tak lepas dari berbagai intervensi masif pemerintah pusat dan daerah dalam program penghapusan kemiskinan ekstrem sejak 2021.
Walau telah mendekati angka nol, tantangan tersisa adalah memastikan 0,85% penduduk yang miskin ekstrem tersebut mendapat perhatian khusus. Mereka umumnya adalah kelompok tersulit, termasuk lansia tanpa dukungan, penyandang disabilitas, serta masyarakat di daerah sangat terpencil. Pemerintah sebenarnya telah menyadari hal ini dan mulai mengarahkan program yang lebih spesifik, misalnya perluasan jaminan sosial lansia, perlindungan pekerja rentan, hingga “micro-targeting” kantong kemiskinan di level desa.
Dari sisi standar global, patut dicatat bahwa meski kemiskinan ekstrem (US$2,15 PPP) Indonesia sangat rendah, tingkat kemiskinan akan naik signifikan bila menggunakan standar lebih tinggi. Bank Dunia mencatat 19,90% penduduk Indonesia berada di bawah garis US$4,20 PPP (standar low middle income country/LMIC) dan 68,3% di bawah US$8,30 PPP (standar UMIC) pada 2024.
Artinya, puluhan juta warga tergolong rentan miskin menurut ukuran negara maju. Hal ini menjadi tantangan jangka menengah bagi pemerintah. Setelah kemiskinan ekstrem tuntas, perhatian pemerintah harus beralih ke mengurangi kemiskinan moderat dan kerentanan ekonomi.
Peta Kemiskinan Ekstrem di Indonesia
Kemiskinan ekstrem di Indonesia tidak tersebar merata. Secara geografis, kesenjangan antarwilayah sangat jelas. Provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia cenderung mengantongi penduduk miskin ekstrem lebih banyak dibanding kawasan barat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025 menunjukkan bahwa di sebagian besar provinsi, kemiskinan ekstrem sudah di bawah 1% dari total penduduk. Bahkan, ada belasan provinsi, umumnya di Sumatra, Jawa, Bali, dan Kalimantan, dengan kemiskinan ekstrem mendekati 0%. Sebaliknya, ada beberapa provinsi di Papua dan Nusa Tenggara yang masih mencatat tingkat kemiskinan ekstrem relatif lebih tinggi.
Papua Tengah menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi. Sebanyak 8,55% dari sekitar 1 juta penduduk di provinsi tersebut hidup dalam kemiskinan ekstrem. Namun bila bicara jumlah, masyarakat miskin ekstrem terbanyak di Indonesia, tinggal di Jawa Barat. Jumlahnya tercatat 569 ribu orang, sekitar 1,10% dari total penduduk Jawa Barat yang mencapai 51,6 juta jiwa.
Sementara Bali adalah provinsi dengan tingkat kemiskinan ekstrem paling rendah. Data BPS menunjukkan hanya 0,24% penduduk di Pulau Dewata yang tergolong miskin ekstrem.
Jika dilihat per pulau/kawasan utama, pola distribusinya sebagai berikut:
• Sumatra
Rata-rata provinsi di Sumatra memiliki kemiskinan ekstrem sangat rendah, umumnya <2%. Provinsi Sumatra Barat dan Bangka Belitung bahkan sudah di bawah 0,5%. Serambi Mekkah Aceh memiliki tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi di Sumatra dengan angka 2,90%. Sumatra diuntungkan oleh perekonomian yang relatif maju (pertanian komersial, perkebunan, serta industri dan perdagangan) dan dukungan fiskal yang memadai, sehingga miskin ekstrem tersisa relatif sedikit.
• Jawa
Kawasan ini pusat ekonomi Indonesia, sehingga tingkat kemiskinan ekstrem provinsi-provinsinya tergolong rendah. DKI Jakarta sebagai ibu kota dengan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita tertinggi, menyisakan kemiskinan ekstrem 0,37%. Sementara DI Yogyakarta mencatatkan tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi di Pulau Jawa dengan 1,58%.
• Bali & Nusa Tenggara
Bali, dengan pariwisata yang kuat, adalah provinsi dengan tingkat miskin ekstrem terendah, hanya 0,24%. Hal ini berbeda 180 derajat dengan provinsi tetangga, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tingkat kemiskinannya relatif tinggi. Warga miskin ekstrem di NTB mencapai 2,45%, sementara di NTT, yang termasuk provinsi termiskin, angkanya tercatat 3,05%. Pulau-pulau seperti Sumba, Flores, Timor memiliki tantangan kemiskinan akut akibat kondisi alam gersang, akses sulit, dan terbatasnya aktivitas ekonomi.
• Kalimantan
Hampir semua provinsi Kalimantan menunjukkan angka kemiskinan ekstrem sangat rendah. Tidak ada yang tingkat miskin ekstremnya di atas 1%. Hal ini terkait struktur ekonomi Kalimantan (pertambangan, migas, dan perkebunan) yang menghasilkan pendapatan tinggi, serta populasi relatif kecil.
• Sulawesi
Kondisi Sulawesi beragam, tapi umumnya kemiskinan ekstrem mulai menipis. Sulawesi Utara menjadi satu-satunya provinsi di pulau ini dengan tingkat kemiskinan ekstrem di bawah 1%. Gorontalo menjadi daerah dengan kemiskinan ekstrem tertinggi di Sulawesi, yakni 3,18%.
Secara keseluruhan wilayah Sulawesi menunjukkan perbaikan. Banyak wilayah perdesaan yang tadinya miskin kini terbantu program pertanian dan perikanan serta transfer fiskal, sehingga mengalami perbaikan ekonomi.
• Maluku dan Papua
Kawasan inilah yang masih menjadi fokus utama. Provinsi-provinsi baru hasil pemekaran tahun 2022 di Papua memiliki tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi secara nasional. Papua Tengah menjadi wilayah dengan tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi di Indonesia, yakni 8,55%. Sementara lima provinsi lainnya mencatatkan tingkat kemiskinan ekstrem di atas 5%.
Sementara Maluku dan Maluku Utara relatif lebih baik. Miskin ekstrem di Maluku mencapai 3,50%, Maluku Utara bahkan tinggal 0,8%. Jadi problem terkonsentrasi di Papua pegunungan dan pedalaman. Tantangan di sana mencakup isolasi geografis, minim infrastruktur, tingkat pendidikan rendah, serta gangguan keamanan di beberapa tempat. Semua ini membuat upaya pengentasan kemiskinan ekstrem butuh pendekatan khusus.
Kantong Kemiskinan di Kabupaten/Kota
NEXT Indonesia Center memetakan kantong-kantong kemiskinan ekstrem hingga level kabupaten/kota. Publikasi ini akan memaparkan lima contoh kabupaten/kota termiskin ekstrem yang mewakili masing-masing pulau/kawasan besar: Sumatra, Jawa, Bali- Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua.
Pada masing-masing wilayah, akan dijelaskan profil singkat yang mencakup: kondisi ekonomi, tingkat pengangguran, upah, dan sektor penopang ekonomi utamanya.
• Sumatra: Kabupaten Nias Utara, Sumatra Utara
- Kabupaten Nias Utara di Provinsi Sumatra Utara (Sumut) termasuk daerah dengan kemiskinan ekstrem tertinggi di Sumatra. Wilayah kepulauan Nias secara historis tertinggal dibanding daerah lain di pulau tersebut. Persentase penduduk miskin ekstrem di Nias Utara sekitar 6,89% per Maret 2024, jauh di atas rata-rata Sumatra yang di atas 1%, menandakan kondisi kemiskinan parah setempat. Salah satu penyebabnya adalah letak geografis Pulau Nias yang terisolir, infrastruktur yang minim, serta sumber daya ekonomi terbatas.
- Profil ekonomi Nias Utara didominasi sektor pertanian tradisional. Sekitar 54,85% angkatan kerja mencari nafkah di sektor pertanian, termasuk perikanan dan perkebunan skala kecil. Komoditas utamanya adalah karet, kelapa, padi, dan hasil tangkap ikan, namun produktivitasnya rendah. Tidak banyak industri atau manufaktur; lapangan kerja formal sangat terbatas.
- Tingkat pengangguran terbuka sekitar 2,57%, relatif lebih rendah dari rata-rata nasional 4,76%. Namun, angka ini tidak sepenuhnya mencerminkan kekurangan pekerjaan, karena banyak penduduk “terpaksa bekerja” di sektor informal subsisten6, alias setengah menganggur. Upah atau pendapatan rata-rata sangat rendah – rata-rata penghasilan per kapita per bulan di Nias Utara sekitar Rp1,92 juta saja, jauh di bawah rerata nasional Rp3,09 juta/bulan. Rendahnya upah mencerminkan ekonomi lokal yang belum berkembang. Sebagian besar penduduk hanya menghasilkan untuk konsumsi sendiri dengan surplus minim.
6. Subsisten adalah kondisi atau sistem untuk menopang hidup, di mana tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar diri sendiri dan keluarga, bukan untuk keuntungan pasar.
- Sektor penopang ekonomi terpenting di Nias Utara adalah pertanian tanaman pangan dan perkebunan rakyat. Infrastruktur pertanian tradisional, ditambah akses pasar yang buruk (biaya transportasi tinggi ke daratan Sumatra), membuat nilai tambah petani sangat rendah.
- Nias Utara menghadapi kendala rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Pendidikan dan keterampilan tenaga kerja terbatas, banyak yang tidak tamat SD sehingga sulit beralih ke sektor ekonomi modern. Kemiskinan ekstrem di Nias ditandai ciri khas: rumah tangga miskin tinggal di rumah kayu/bambu kurang layak, akses listrik dan air bersih terbatas, serta sangat tergantung pada hasil kebun/laut.
- Pemerintah pusat dan daerah telah mengintervensi dengan program khusus Nias, misalnya bantuan bedah rumah, pengiriman guru dan tenaga kesehatan, dan pembangunan jalan serta jembatan untuk membuka konektivitas. Diharapkan dengan peningkatan infrastruktur, misal rampungnya jalan lingkar Nias dan dukungan dana otonomi khusus atau otsus serta afirmasi, ekonomi Nias Utara bisa bangkit sehingga angka kemiskinan ekstrem turun signifikan.
• Jawa: Kabupaten Sumenep, Jawa Timur
- Pulau Jawa secara umum relatif makmur, namun terdapat kantong kemiskinan di daerah tertentu. Salah satunya Kabupaten Sumenep di ujung timur Pulau Madura, Jawa Timur. Sumenep dikenal sebagai daerah agraris-pesisir dengan ekonomi kurang berkembang. Tingkat kemiskinan ekstrem Sumenep sekitar 6,82% per 2024, termasuk yang tertinggi di Pulau Jawa. Penyebab utamanya antara lain: Sumenep berada di Pulau Madura yang secara ekonomi tertinggal dari Jawa daratan, infrastruktur terbatas, dan banyak desa terpencil, termasuk sejumlah pulau kecil di Laut Jawa yang masuk wilayah Sumenep.
- Struktur ekonomi Sumenep didominasi pertanian, peternakan, dan perikanan. Sekitar 31% tenaga kerja bekerja di sektor pertanian. Sektor perikanan laut dan garam juga menyerap tenaga kerja signifikan. Industri pengolahan nyaris tidak ada; sebagian kecil bekerja di sektor jasa perdagangan.
- Pengangguran terbuka di Sumenep mencapai 1,71%, dengan rata-rata upah sekitar Rp2,08 juta per bulan, sedikit di atas Nias Utara namun tetap rendah dibandingkan rata-rata nasional. Hal ini sejalan minimnya investasi industri; mayoritas penduduk bekerja di sektor informal berpendapatan rendah.
- Sektor penopang ekonomi paling penting adalah pertanian pangan dan perkebunan rakyat, khususnya tembakau Madura yang terkenal, yang menopang 31,33% perekonomian wilayah itu. Namun panen tembakau musiman dan tergantung harga pasar. Selain itu, Sumenep memiliki potensi migas (ada ladang gas kecil onshore/offshore), tapi eksploitasi terbatas dan tidak banyak menyerap tenaga kerja lokal. Perikanan laut juga penting, tetapi nelayan Sumenep umumnya tradisional dengan alat tangkap sederhana, sehingga pendapatannya minim.
- Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah gencar membangun infrastruktur konektivitas di Madura – termasuk Jembatan Suramadu dan perbaikan pelabuhan – untuk mendorong investasi. Namun Sumenep masih relatif terpencil di ujung timur.
- Karakteristik rumah tangga miskin ekstrem di Sumenep serupa daerah miskin lain: pendidikan rendah, keluarga besar, tinggal di rumah seadanya (lantai tanah, dinding anyaman), dan akses layanan dasar terbatas (air bersih dan sanitasi buruk). Program pengentasan di Sumenep antara lain bantuan sosial, pemberdayaan UMKM batik dan garam, serta dukungan pertanian berupa alat mesin pertanian dan bibit unggul.
- Tantangan ke depan adalah menarik investasi industri ringan, misalnya pengolahan ikan atau agroindustri tembakau, agar tercipta lapangan kerja formal dan multiplier effect ekonomi lokal.
• Bali & Nusa Tenggara: Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur
- Kawasan Bali dan Nusa Tenggara sangat kontras. Bali sangat makmur, sedangkan Nusa Tenggara (NTB dan NTT) memiliki kantong kemiskinan ekstrem tertinggi di Indonesia. Sebagai contoh ekstrem, Kabupaten Sumba Tengah di Provinsi NTT memiliki tingkat kemiskinan ekstrem sekitar 12,51% – termasuk yang tertinggi secara nasional.
- Sumba Tengah adalah kabupaten kecil di Pulau Sumba, dengan populasi sekitar 75 ribu jiwa. Daerah ini mewakili karakteristik daerah sangat miskin: terisolasi, prasarana minim, tanah marginal, dan penduduk terpencar dalam komunitas tradisional.
- Ekonomi Sumba Tengah hampir sepenuhnya bertumpu pada pertanian lahan kering dan peternakan. Sekitar 39% penduduk bekerja di sektor pertanian, terutama menanam padi ladang, jagung, ubi kayu, dan beternak kuda serta sapi (Sumba terkenal dengan ternak dan kuda sandal). Namun tantangan utamanya adalah curah hujan terbatas yang membuatnya sering dilanda kekeringan, irigasi minim, sehingga hasil panen sangat rendah.
- Tingkat pengangguran di Sumba Tengah 1,89% (relatif rendah), tetapi ini karena hampir semua orang dewasa terpaksa bekerja di usaha tani subsisten –meski produktivitasnya rendah, mereka tidak dihitung menganggur. Pendapatan rata-rata per kapita hanya sekitar Rp2,1 juta/bulan, yang berarti banyak rumah tangga hidup jauh di bawah garis kemiskinan (GK NTT sekitar Rp600 ribu/kapita/bulan). Dengan pendapatan serendah itu, tak heran 30,84% penduduk Sumba Tengah berada di bawah garis kemiskinan nasional, dan 12,51% di bawah garis kemiskinan ekstrem.
- Sektor penopang ekonomi paling penting adalah peternakan dan pertanian subsisten. Sumba Tengah tidak punya industri, pariwisata masih minim, berbeda dengan Sumba Barat atau Sumba Timur yang mulai berkembang wisata. Infrastruktur jalan banyak yang belum beraspal, listrik belum menjangkau semua desa. Jarak ke pusat ekonomi, Waikabubak atau Waingapu jauh, menyebabkan harga-harga mahal dan biaya logistik tinggi.
- Rumah tangga miskin ekstrem di Sumba Tengah umumnya tinggal di perdesaan terpencil, dengan rumah beratap alang-alang, lantai tanah, tanpa fasilitas MCK. Akses pendidikan dan kesehatan terbatas; banyak anak putus sekolah karena jarak sekolah jauh. Tantangan sosial-budaya seperti perkawinan dini dan pola pikir tradisional juga berkontribusi pada kemiskinan kronis.
- Pemerintah telah menetapkan Sumba sebagai salah satu prioritas pengentasan kemiskinan ekstrem. Program khusus antara lain pembangunan embung dan sumur bor untuk atasi kekeringan, bantuan bibit pertanian tahan kering, program transmigrasi lokal mengajak penduduk pindah ke lahan yang lebih subur, serta pengembangan energi terbarukan (Sumba Iconic Island7). Selain itu, dana desa di Sumba Tengah digelontorkan untuk padat karya sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat miskin. Diharapkan dengan kombinasi intervensi tersebut, Sumba Tengah dan wilayah NTT lainnya dapat menyusul daerah lain dalam penurunan kemiskinan ekstrem.
7. Program percontohan nasional untuk energi terbarukan yang menjadikan Pulau Sumba sebagai ikon energi bersih di Indonesia, diluncurkan sekitar tahun 2010.
• Kalimantan: Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat
- Pulau Kalimantan secara agregat memiliki kemiskinan ekstrem terendah di Indonesia, di bawah 1%. Namun, ada beberapa kantong di pedalaman yang relatif tertinggal.
- Kabupaten Kayong Utara di Provinsi Kalimantan Barat kini menjadi daerah dengan tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi di Kalimantan. Data terbaru menunjukkan kemiskinan ekstrem di Kayong Utara mencapai sekitar 2,37% dari total penduduk, atau setara 2.836 jiwa. Sementara jumlah penduduk miskin di Kayong Utara tercatat sekitar 10 ribu orang, menunjukkan bahwa hampir sepertiga dari penduduk miskin tersebut berada dalam kategori miskin ekstrem.
- Dari sisi ketenagakerjaan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kayong Utara relatif rendah, yakni 3,04%. Namun, penting dicatat bahwa mayoritas tenaga kerja terserap di sektor informal dan pertanian tradisional. Banyak penduduk bekerja di sektor subsisten atau pekerjaan informal berupah rendah, sehingga meskipun pengangguran terbuka kecil, masalah setengah pengangguran dan kemiskinan pekerja tetap signifikan. Hal ini terlihat dari indikator upah dan pendapatan pekerja di Kayong Utara.
- Rata-rata upah penduduk Kayong Utara Rp2,7 juta/bulan, sedikit lebih rendah dari rata-rata upah provinsi Kalbar yang mencapai Rp2,9 juta/bulan. Upah yang rendah mencerminkan dominannya sektor pekerjaan berupah minim, seperti buruh tani atau nelayan, dan jasa. Situasi ini menyebabkan daya beli masyarakat rendah dan berisiko memperburuk kemiskinan pekerja.
- Struktur perekonomian Kayong Utara masih bertumpu pada sektor primer, terutama pertanian, kehutanan, dan perikanan. Sektor pertanian (termasuk perkebunan dan perikanan) menyumbang sekitar 28,9% dari total PDRB, menjadikannya penopang utama ekonomi daerah. Di luar sektor pertanian, sektor jasa secara keseluruhan kini mengambil porsi terbesar PDRB, lebih dari 50%.
- Sementara itu, sektor industri pengolahan dan pertambangan di Kayong Utara masih sangat terbatas. Kontribusi gabungan sektor-sektor sekunder (industri manufaktur, konstruksi, tambang) diperkirakan di bawah 15% PDRB. Padahal, secara geologis Kayong Utara menyimpan berbagai sumber daya mineral, seperti emas, bauksit, timah, dan granit. Potensi sumber daya alam ini belum tergarap optimal karena terbatasnya investasi dan regulasi yang ketat demi kelestarian lingkungan.
- Kabupaten Kayong Utara menghadapi tantangan kemiskinan ekstrem di tengah struktur ekonomi yang masih didominasi sektor tradisional. Indikator-indikator sosial ekonomi –mulai dari tingginya persentase kemiskinan ekstrem, rendahnya rata-rata upah, hingga ketergantungan pada pertanian–mengisyaratkan perlunya intervensi kebijakan yang terpadu. Ke depan, kebijakan pemerintah pusat dan daerah perlu berfokus pada peningkatan produktivitas sektor pertanian dan perikanan, hilirisasi komoditas lokal, serta pengembangan sektor pariwisata dan jasa yang berpotensi menciptakan lapangan kerja baru.
• Sulawesi: Kabupaten Boalemo, Gorontalo
- Kabupaten Boalemo merupakan salah satu wilayah dengan kemiskinan ekstrem tertinggi di kawasan Sulawesi. Berdasarkan data terbaru, persentase penduduk dalam kategori kemiskinan ekstrem di Boalemo mencapai sekitar 5,73% dari total penduduk. Artinya lebih dari 1 dari 20 penduduk Boalemo hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem. Sebagai perbandingan, persentase penduduk miskin secara umum di Boalemo tercatat 17,83%, yang menunjukkan bahwa hampir sepertiga dari penduduk miskin di Boalemo berada pada kemiskinan ekstrem.
- Dari sisi ketenagakerjaan, Kabupaten Boalemo mengalami TPT yang relatif rendah namun cenderung meningkat belakangan ini. TPT Boalemo tercatat 2,86%, masih di bawah rata-rata TPT nasional 4,76%. Rendahnya TPT Boalemo mencerminkan struktur ekonomi pedesaan di mana sebagian besar penduduk terlibat dalam kegiatan informal atau subsisten. Upah rata-rata di Boalemo tergolong rendah. Rata-rata pendapatan per kapita di Boalemo sekitar Rp2,4 juta, yang menunjukkan terbatasnya daya beli masyarakat. Hal ini mengindikasikan banyak pekerja bergaji rendah, sejalan dengan tingginya proporsi pekerjaan di sektor pertanian informal.
- Perekonomian Boalemo sangat bergantung pada sektor berbasis sumber daya alam skala kecil. Lapangan usaha pertanian merupakan tulang punggung ekonomi Boalemo dengan kontribusi 51,7% terhadap PDRB tahun 2024. Artinya, lebih dari separuh output ekonomi Boalemo dihasilkan dari sektor pertanian, mencerminkan karakter wilayah perdesaan dengan mata pencaharian utama petani. Dominasi sektor pertanian tradisional ini menjelaskan mengapa produktivitas dan upah rata-rata rendah, serta menjadikan masyarakat rentan terhadap kemiskinan.
- Rendahnya diversifikasi ekonomi juga berarti guncangan pada sektor pertanian dapat berdampak besar terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah daerah difokuskan pada modernisasi pertanian, pengembangan UMKM berbasis agro, serta perluasan lapangan kerja di sektor non- pertanian untuk mengurangi kerentanan ekonomi rumah tangga miskin.
• Maluku dan Papua: Kabupaten Supiori, Papua
- Wilayah Maluku dan Papua menyimpan kasus-kasus kemiskinan ekstrem paling berat. Kabupaten Supiori di Provinsi Papua menjadi salah satu daerah termiskin secara ekstrem di Indonesia. Data menunjukkan tingkat kemiskinan ekstrem di Supiori mencapai sekitar 24,11% dari total penduduk. Angka ini bahkan sedikit lebih tinggi daripada Kabupaten Intan Jaya (23,06%), menjadikan Supiori salah satu fokus utama percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem di Papua.
- Tingginya persentase kemiskinan ekstrem kontras dengan populasi Supiori yang kecil, sekitar 21 ribu jiwa, sehingga skala absolut penduduk miskin ekstrem tidak sebesar daerah lain, walaupun secara proporsi merupakan yang tertinggi. Kondisi geografis kepulauan yang terpencil, akses infrastruktur terbatas, serta ketergantungan pada sumber daya alam tradisional menjadi faktor-faktor yang memperberat penanggulangan kemiskinan di Supiori. Meskipun demikian, upaya pemerintah pusat dan daerah, misalnya melalui Program Sekolah Rakyat dan intervensi pemberdayaan ekonomi lokal, diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan ekstrem ini sejalan dengan target nasional 0% pada 2029.
- Supiori sebenarnya menunjukkan situasi ketenagakerjaan yang relatif baik. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) tercatat 4,81%. Namun, rendahnya pengangguran terbuka tidak otomatis mencerminkan kesejahteraan. Banyak penduduk bekerja pada sektor dengan tingkat produktivitas dan upah rendah. Pendapatan rata-rata masyarakat Supiori masih rendah, dengan rata-rata upah Rp2,9 juta.
- Distribusi pendapatan juga timpang. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor informal dengan pendapatan minimal, sementara PDRB per kapita yang agak tinggi tercipta karena adanya belanja pemerintah dan proyek konstruksi bernilai besar yang tidak langsung meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin. Sebagai ilustrasi, rata-rata upah bersih bulanan pekerja informal di sektor pertanian Supiori, menurut catatan BPS, hanya sekitar Rp1,08 juta, menunjukkan daya beli petani sangat rendah.
- Perekonomian Supiori sebagian besar, mencapai 70,90%, ditopang oleh sektor jasa, terutama usaha kecil dan menengah (UKM) dan koperasi. Kemudian sektor pertanian yang menopang 28,2% PDRB Supiori, mencerminkan mata pencaharian tradisional penduduk lokal sebagai nelayan, petani kelapa, dan pembudidaya sagu.
- Tantangan kebijakan di Supiori adalah memastikan pertumbuhan ekonomi, yang didorong belanja pemerintah, menetes ke bawah (trickle-down effect) kepada rumah tangga miskin ekstrem. Langkah yang telah diambil pemerintah setempat, antara lain program padat karya lokal dalam proyek konstruksi, pemberdayaan nelayan dan petani melalui bantuan peralatan dan akses pasar, serta peningkatan layanan dasar (pendidikan, kesehatan) untuk meningkatkan kualitas SDM. Dengan demikian, tingkat kemiskinan, khususnya kemiskinan ekstrem,diharapkan turun signifikan seiring perbaikan infrastruktur dan kapasitas ekonomi masyarakat setempat.
Karakteristik Rumah Tangga Miskin Ekstrem di Indonesia
Siapa saja yang termasuk penduduk miskin ekstrem di Indonesia, dan bagaimana ciri-ciri kehidupan mereka?
Menurut analisis NEXT Indonesia Center dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), rumah tangga miskin ekstrem memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dengan rumah tangga tidak miskin. Berikut poin-poin utama profil mereka:
Pendidikan Sangat Rendah
Kepala rumah tangga miskin ekstrem, yang berjumlah total 685.874 orang, umumnya berpendidikan sekolah dasar (SD) atau lebih rendah. Ada 18,19% kepala rumah tangga miskin ekstrem yang bahkan tidak tamat SD, sementara 36,45% hanya tamat SD. Jadi, lebih dari 50% kepala rumah tangga miskin ekstrem tidak sempat mengecap SMP.
Dengan pendidikan serendah ini, mereka sulit mendapat pekerjaan layak berpenghasilan memadai. Tingkat melek huruf pun lebih rendah. Mengutip data BPS, tercatat 11,26% kepala keluarga miskin ekstrem tidak bisa membaca tulis, menunjukkan masalah buta aksara masih ada di kelompok ini, terutama lansia di pedesaan terpencil.
Hal lain yang mengejutkan adalah adanya 13.974 kepala keluarga miskin ekstrem, atau 2,04%, yang bergelar sarjana. Artinya, gelar sarjana tidakc selalu memberi jaminan kehidupan yang lebih baik.
Mayoritas Petani
Kepala keluarga miskin ekstrem mayoritas bekerja pada sektor informal bidang pertanian sebagai petani gurem atau buruh tani. Jumlahnya mencapai lebih dari 200.000 orang, atau sekitar 30,14% dari total kepala keluarga miskin ekstrem.
Hampir seluruhnya bekerja informal tanpa penghasilan tetap. Ini berarti mereka rentan terhadap guncangan, seperti gagal panen, anjloknya harga hasil bumi, lesunya sektor konstruksi, hingga sakit yang membuat mereka mesti absen bekerja.
Sekitar 15,06% dari mereka bahkan tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Sektor formal nyaris absen di kelompok ini karena sangat jarang kepala keluarga miskin ekstrem yang punya pekerjaan kantoran atau bekerja tetap di bidang industri.
Beberapa karakteristik keluarga miskin ekstrem lainnya adalah tinggal di perumahan yang tidak layak dengan akses terbatas kepada kebutuhan-kebutuhan esensial, seperti air bersih, listrik, dan jamban. Lokasi tinggal mereka kebanyakan di daerah terpencil. Kalaupun tinggal diperkotaan, mereka mendiami kantong permukiman kumuh (slum) dengan kondisi sosial rawan.
Kelompok ini sangat rentan terhadap guncangan, baik ekonomi maupun alam. Sedikit saja harga pangan naik atau bencana alam, mereka langsung jatuh ke dalam kelaparan karena tidak ada tabungan. BPS menyebut tidak adanya tabungan sebagai ciri dominan karena hampir semua rumah tangga miskin ekstrem tidak punya tabungan atau aset likuid untuk berjaga-jaga.
Karakteristik-karakteristik di atas membantu pemerintah memetakan intervensi yang tepat. Misalnya, karena banyak yang lansia, program bantuan sosial tunai dan sembako ditargetkan ke lansia tunggal dan perempuan rentan. Karena pendidikan sangat rendah, program literasi dan vokasional digalakkan di kantong miskin.
Fakta bahwa sebagian besar bekerja di pertanian berarti kenaikan harga komoditas pertanian justru bisa membantu mengurangi kemiskinan, karena para petani bisa mendapatkan keuntungan lebih besar.
Memahami profil rumah tangga miskin ekstrem menjadi kunci agar program pengentasan lebih tepat sasaran dan efektif.
Karakteristik Daerah: Kemiskinan Ekstrem Terendah dan Pola Pembangunan
Sebaliknya, menarik pula melihat karakteristik daerah-daerah yang sukses menekan kemiskinan ekstrem hingga nyaris nol. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), NEXT Indonesia Center mengidentifikasi 20 kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan ekstrem terendah di Indonesia pada 2024. Daerah-daerah yang telah terbebas dari kemiskinan ekstrem ini kebanyakan kota maju atau daerah kaya sumber daya.
Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta, mencatat 0,0% kemiskinan ekstrem. Ini bukan berarti tidak ada orang sangat miskin, namun secara statistik,proporsinya di bawah 0,1%. Asal tahu saja, standar garis kemiskinan BPS DKI sangat tinggi, yaitu Rp846 ribu/kapita/bulan. Pemprov DKI punya program sosial komprehensif menjangkau kelompok rentan, seperti penyediaan shelter tuna wisma dan bantuan makanan.
Contoh lain, Kota Padang, Sumatra Barat. Daerah ini tercatat sebagai satu dari 20 daerah terbaik dengan kemiskinan ekstrem nol. Padang sebagai kota perdagangan dengan infrastruktur baik berhasil meningkatkan kesejahteraan warganya secara merata.
Demikian pula Kota Balikpapan dan Kota Bontang di Kalimantan Timur–dua kota industri minyak dan LNG–melaporkan 0% penduduk miskin ekstrem. Industri migas memberi banyak lapangan kerja berupah tinggi dan pemerintah kota memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) besar untuk layanan publik, sehingga kemiskinan ekstrem praktis tidak ada.
Kabupaten Natuna di Kepulauan Riau menjadi menarik karena kemiskinan ekstrem di daerah kepulauan terpencil ini ternyata nol. Faktor utamanya kemungkinan besar adalah populasinya kecil namun ada pemasukan besar dari migas lepas pantai, sehingga pemerintah daerah setempat mampu menghidupi masyarakat miskin.
Dari sisi pola, daerah tanpa miskin ekstrem umumnya memiliki ekonomi maju dengan pendapatan per kapita tinggi; angka pengangguran rendah dan sebagian besar penduduk bekerja formal dengan upah memadai; infrastruktur dan layanan publik baik; dan tata kelola pemerintah daerah yang efektif dalam menyalurkan bantuan ke kelompok rentan.
Daerah tanpa miskin ekstrem juga cenderung memiliki angka putus sekolah rendah dan cakupan jaminan kesehatan hampir 100%, sehingga tidak ada rumah tangga yang jatuh miskin karena biaya berobat. Mereka juga sering menjadi magnet urbanisasi – penduduk miskin desa pindah ke kota mencarinafkah – namun pemda mampu mengendalikan agar pendatang tidak terlantar, misalnya melalui pengembangan UMKM dan pasar kerja.
Singkatnya, 20 kab/kota termiskin ekstrem terendah memberikan harapan bahwa dengan kombinasi ekonomi kuat dan kepedulian sosial, kemiskinan ekstrem bisa benar-benar dihapuskan. Tantangannya tinggal menarik daerah-daerah lain yang tertinggal agar mengejar ketertinggalan dengan strategi serupa, tentunya disesuaikan konteks lokal masing-masing.
Menimang Solusi penurunan Kemiskinan Ekstrem
Berdasarkan pemetaan di atas, jelas bahwa upaya menghapus kemiskinan ekstrem memerlukan solusi multi-dimensi. Berikut adalah beberapa rekomendasi solusi, khususnya dikaitkan dengan pengalokasian dana transfer ke daerah —Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), serta instrumen pendanaan lainnya:
1. Meningkatkan Alokasi dan Efektivitas Transfer Fiskal ke Daerah Miskin
Pemerintah pusat sebaiknya memperkuat formula Dana Alokasi Umum (DAU) dengan bobot kemiskinan ekstrem. DAU merupakan transfer untuk pemerataan kapasitas fiskal daerah. Dengan menambah porsi bagi daerah berpenduduk miskin ekstrem masih banyak, daerah tersebut punya anggaran lebih untuk layanan dasar. Kenaikan DAU dan DAK berpengaruh dalam menurunkan kemiskinan. Maka memastikan daerah miskin mendapat kucuran yang cukup adalah langkah awal penting.
Selain itu, Dana Bagi Hasil (DBH) dari sumber daya alam perlu diarahkan lebih adil. Selama ini daerah kaya SDA tapi penduduk miskin, seperti beberapa kabupaten di Papua, Sumatra Selatan, dan Aceh, karena belum optimal memanfaatkan DBH. Pemerintah bisa mengatur sebagian DBH digunakan khusus untuk program pengentasan kemiskinan di level kampung seperti perbaikan rumah dan beasiswa anak miskin.
2. Dana Alokasi Khusus (DAK) Tematik Pengentasan Kemiskinan
Kementerian Keuangan dapat membuat DAK Fisik8 dan DAK Non-fisik9 yang tematik untuk kemiskinan ekstrem. Misalnya, DAK Fisik bidang air bersih, sanitasi, dan perumahan difokuskan ke wilayah-wilayah prioritas kemiskinan ekstrem. Dengan DAK ini, dibangunlah instalasi air bersih, MCK umum, bedah rumah, fasilitas kesehatan desa di kantong miskin.
8. Dana dari APBN yang dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan khusus yang bersifat fisik, seperti pembangunan gedung sekolah, jalan, atau puskesmas.
9. Dana dari APBN yang digunakan untuk mendukung operasionalisasi dan pembiayaan kegiatan nonfisik, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tunjangan guru, atau bantuan operasional kesehatan (BOK)
Sementara DAK Non-fisik bisa dalam bentuk bantuan operasional untuk program pemberdayaan, seperti pelatihan keterampilan, penyuluhan gizi, subsidi bagi guru/tenaga kesehatan di daerah miskin. Pendekatan tematik memastikan dana pusat benar-benar masuk ke isu kemiskinan ekstrem, tidak tercecer untuk proyek lain.
Kemenkeu sudah mulai langkah ini dengan earmark anggaran kemiskinan ekstrem, seiring terbitnya Inpres 4/2022 dan Inpres 8/2025 yang mewajibkan APBN dan APBD mengacu target penurunan kemiskinan ekstrem.
3. Penggunaan Dana Desa secara Lebih Produktif
Sejak 2015, pemerintah mengucurkan Dana Desa langsung ke desa. Dana ini harus dimanfaatkan lebih inovatif untuk mengentaskan ekstrem miskin. Solusinya, program padat karya tunai desa terus diperluas agar warga miskin dapat penghasilan dari proyek desa.
Kemudian, Dana Desa bisa dipakai membentuk Koperasi Desa Merah Putih atau BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang khusus mempekerjakan keluarga miskin dalam kegiatan ekonomi, misalnya pengolahan hasil pertanian atau kerajinan. Keuntungan usaha bisa menggaji mereka sekaligus jadi pendapatan desa.
Selain itu, Dana Desa dapat mendanai jaminan sosial desa, semacam Bantuan Langsung Tunai (BLT) desa untuk lansia/difabel yang belum terjangkau program pusat. Intinya, fleksibilitas Dana Desa perlu diarahkan ke kelompok paling miskin di desa tersebut.
4. Mendorong Sinergi Program Pusat-Daerah
Sering kali program pusat sudah ada, tapi pemerintah daerah (pemda) kurang mengimbangi. Pemda bisa menambah bantuan daerah. Misal, beberapa pemda punya program santunan lansia atau anak yatim yang dananya dari APBD. Ini perlu dicontoh daerah lain. Juga, pemda dapat menggratiskan biaya transportasi atau seragam sekolah bagi anak keluarga miskin.
Sinergi juga berarti menghindari duplikasi paket bantuan bagi keluarga miskin ekstrem. Pusat dan daerah harus saling melengkapi. Untuk itu, sinkronisasi data sangat penting – pemda harus gunakan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) dan Penilaian dan Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yang sama dengan pusat, agar tidak ada warga terlewat. Saat ini 93% pemda sudah akses data P3KE, ke depan perlu 100%. Dengan data akurat, dana transfer dan program bisa tepat sasaran.
5. Insentif Kinerja dan Akuntabilitas
Pemerintah telah mengganti Dana Insentif Daerah menjadi Insentif Fiskal berbasis kinerja, salah satunya kinerja penghapusan kemiskinan ekstrem. Ini harus terus dilanjutkan. Tahun 2024, 130 daerah menerima insentif karena berhasil turunkan kemiskinan ekstrem. Ke depan, bisa dipikirkan menaikkan besaran insentif atau menambah kategori penghargaan. Insentif ini penting memacu kepala daerah prioritaskan isu kemiskinan.
Selain insentif, sisi akuntabilitas juga perlu. Kementerian Dalam Negeri bisa memberi teguran atau pembinaan khusus bagi daerah yang stagnan kemiskinan ekstremnya. Misal, kalau ada kabupaten yang anggaran banyak tapi kemiskinan ekstrem tak turun, perlu dievaluasi apakah salah sasaran atau ada kendala manajemen.
Mengurangi kemiskinan ekstrem tidak cukup dengan bantuan sosial, harus ada solusi permanen lewat peningkatan pendapatan. Dana transfer ke daerah (DAK) bisa dialokasikan untuk program pemberdayaan berbasis potensi lokal di kantong miskin. Contoh, di Papua dan Maluku banyak penduduk miskin ekstrem namun punya potensi hasil hutan. Pemerintah bisa mendanai pembangunan pabrik pengolahan skala kecil di sana agar nilai tambah tinggal di lokal dan menyerap tenaga kerja miskin.
Di NTT, misal, potensi peternakan sapi dan tenun ikat bisa dikembangkan dengan bantuan modal dan pelatihan yang didanai DAK. Dana Bagi Hasil yang diterima daerah dari tambang atau migas sebaiknya dialokasikan sebagian ke dana bergulir UMKM dan koperasi untuk keluarga miskin.
Intinya, mengubah dana pemerintah menjadi modal produktif bagi keluarga miskin, entah itu alat pertanian, bibit, ternak, atau mesin jahit, tergantung kebutuhan lokal. Ketika keluarga miskin bisa meningkatkan pendapatan sendiri, barulah kemiskinan ekstrem hilang secara berkelanjutan.
7. Layanan Dasar Gratis dan Inklusif
DAU dan transfer lainnya juga perlu memastikan layanan pendidikan dan kesehatan gratis bagi keluarga miskin ekstrem. Misalnya, banyak anak dari rumah tangga miskin ekstrem yang sebenarnya pintar tetapi putus sekolah karena biaya transport atau seragam. Pemda dapat menggunakan DAU tambahan untuk menutup biaya- biaya ini. Demikian juga jaminan kesehatan. Pastikan semua miskin ekstrem terdaftar PBI BPJS dan proaktif jemput bola kesehatan.
Dengan layanan dasar terjamin, rumah tangga miskin tidak lagi menghabiskan sebagian besar pendapatan untuk kebutuhan tersebut, sehingga beban pengeluaran turun dan mereka bisa menabung sedikit demi sedikit.
Strategi pengurangan beban pengeluaran ini adalah salah satu dari tiga strategi utama penghapusan kemiskinan ekstrem. Sudah terbukti efektif, misalnya ketika pemerintah menyalurkan bantuan beras, otomatis pengeluaran miskin berkurang dan itu mencegah mereka jatuh kekemiskinan lebih dalam.
Pada akhirnya, kombinasi kebijakan fiskal dan program di tingkat akar rumput yang akan menuntaskan kemiskinan ekstrem. Pemerintah pusat perlu menjamin kecukupan dana, sementara pemerintah daerah memastikan eksekusinya di lapangan.
Dengan dana transfer yang disalurkan berbasis keadilan, dengan pengutamaan untuk daerah miskin, dan digunakan tepat sasaran, ditambah koordinasi lintas sektor, Indonesia dapat berada di jalur yang benar menuju bebas kemiskinan ekstrem.
Transformasi ini akan menjadi jalan menuju keberhasilan pemerintah Indonesia mengangkat derajat kehidupan rakyat paling miskin sekalipun, sesuai amanat konstitusi yang menegaskan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”