3 Sinyal yang Menguncang Daya Beli Masyarakat
24 Maret, 2025
Pada awal tahun ini juga beberapa indikator tampak mencerminkan kegalauan masyarakat dalam menatap masa depan perekonomian nasional.

Keterangan foto: Ilustrasi Pelampung
NEXT Indonesia - Pada awal tahun ini juga beberapa indikator tampak mencerminkan kegalauan masyarakat dalam menatap masa depan perekonomian nasional. Ada tiga sinyal yang menunjukkan terguncangnya daya beli masyarakat saat ini:
MOST POPULAR
Keyakinan Konsumen Turun, Deflasi Datang
Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) menunjukkan turunnya angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), dari 127,2 pada Januari 2025 menjadi 126,4. Namun BI mengklaim keyakinan konsumen terhadap perekonomian masih kuat. Angka IKK itu, menurut BI, masih berada pada level optimis (di atas 100), begitu pula Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). IKE dan IEK masih di atas angka 100.
Akan tetapi, pada awal Maret 2025 Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan terjadinya deflasi tahunan untuk pertama kali sejak Maret 2000. Indeks Harga Konsumen (IHK) Februari 2025 turun 0,09 persen secara tahunan (yoy) menjadi 105,48.
Deflasi adalah penurunan tingkat harga barang dan jasa secara umum selama periode waktu tertentu. Terjadinya deflasi menunjukkan perlambatan aktivitas ekonomi karena konsumen menunda pembelian.
Informasi yang disampaikan BPS terkait deflasi tersebut seperti menjawab hasil survei Bank Indonesia tentang penjualan riil, baik realisasi maupun proyeksi. Hasil survei bank sentral mengungkapkan bahwa penjualan eceran di hampir semua sektor melambat pada Januari 2025. Meski tumbuh 0,5 persen secara tahunan, angka tersebut lebih rendah dari pertumbuhan pada Desember 2024 yang 1,8 persen.
Indeks penjualan riil diperkirakan mengalami kontraksi hingga -0,5 persen secara tahunan pada Februari. Momentum Ramadan dan persiapan Idul Fitri diharapkan bisa mendorong peningkatan konsumsi masyarakat, terutama belanja sandang dan bahan bakar kendaraan bermotor.
Penerimaan PPN Terendah Dalam 12 Tahun Terakhir
Sinyal selain data penjualan eceran adalah rendahnya penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini jenis pajak yang dibebankan kepada konsumen pada setiap pembelian barang dan/atau jasa.
Pada awalnya, pemerintah berencana menaikkan PPN menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Akan tetapi penolakan besar-besaran dari masyarakat membuat rencana itu batal. Kebijakan tersebut hanya diberlakukan kepada barang-barang yang sudah terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Kendala pada sistem Coretax juga memengaruhi penerimaan PPN lantaran banyak wajib pajak yang kesulitan menerbitkan faktur pajak.
Pada akhirnya, realisasi PPN pada Januari 2025 mencatat sejarah: terendah dalam 12 tahun terakhir. Jumlahnya hanya Rp24,6 triliun atau 2,6 persen dari target.
Bahkan penerimaan PPN dalam negeri (PPN DN) hanya terealisasi Rp2,58 triliun, turun 92,7 persen dari realisasi pada Januari 2024 yang mencapai Rp35,6 triliun. Secara keseluruhan, realisasi penerimaan pajak hingga Februari 2025 mencapai Rp187,8 triliun, turun 30,2 persen dari realisasi pajak Februari 2024 senilai Rp269,02 triliun.
Macetnya Penjualan Kendaraan Bermotor
Angka penjualan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun empat, kerap dijadikan sebagai indikator pendahulu yang memberikan sinyal kinerja perekonomian pada tahun berjalan. Kali ini, rupanya penjualan kendaraan sedang tertatih.
Data yang dipublikasi Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) menunjukkan kondisi penjualan yang menyusut. Penjualan mobil di tingkat ritel mengalami penurunan terdalam.
Penjualan mobil secara wholesale (dari pabrik ke diler) pada periode Januari-Februari 2025 turun 4,5 persen secara tahunan, sementara penjualan ritel (dari diler ke konsumen) merosot 10,0 persen. Angka penjualan sepeda motor, jenis kendaraan terlaris di Indonesia, pada dua bulan awal 2025 turun tipis 0,8 persen.
Bila mengacu pada indeks penjualan riil yang dikeluarkan Bank Indonesia, sepertinya ada perubahan perilaku pada pemilik kendaraan bermotor di Indonesia. Tingginya pertumbuhan penjualan suku cadang dan aksesori kendaraan bermotor, yakni 15,9 persen secara tahunan pada Januari 2025, menunjukkan masyarakat lebih memilih untuk memperbaiki kendaraannya dibandingkan membeli kendaraan baru.
Ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat memang tengah terguncang dirundung masalah.
Penilaian Para Ahli
Sejumlah ahli ekonomi juga menilai kondisi perekonomian pada masa awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sedang tidak baik-baik saja. Penilaian tersebut mencuat dalam hasil survei Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) terhadap 42 orang ahli ekonomi dari berbagai latar belakang pada periode 14-24 Februari 2025.
Sebanyak 55 persen responden berpendapat kondisi ekonomi dalam negeri sepanjang 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran lebih buruk dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Mereka juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan lebih lambat dibandingkan sebelumnya (2024: 5,03 persen).
Selain itu, 60 persen responden menilai kebijakan fiskal saat ini tidak efektif dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan. Mayoritas responden (64 persen) menilai ketimpangan sosial dan ekonomi Indonesia semakin buruk dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Sementara 28 dari 42 responden melihat menurunnya stabilitas politik pada awal masa pemerintahan baru ini.
Kebijakan pemerintah yang mereka nilai paling berdampak hingga saat ini adalah diskon tarif listrik (40,5 persen), pemutihan piutang tak tertagih UMKM (31 persen) serta kenaikan upah minimum dan kebijakan terkait PPN (26,2 persen).