Memperluas Calon Penerima Rumah Bersubsidi
18 April, 2025
Kekurangan jumlah rumah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga di Indonesia hingga 2024 mencapai 10,9 juta unit.

Keterangan foto: Ilustrasi perumahan
NEXT Indonesia - Pemerintah tengah menyusun kriteria baru untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang berhak menerima program rumah bersubsidi. Menurut Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait, rincian kriteria baru itu bakal diumumkan secara resmi pada Senin, 21 April 2025.
MOST POPULAR
Rencana yang disampaikan Menteri Maruarar tersebut akan mengubah kriteria MBR yang berlaku saat ini, sesuai Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 22/KPTS/M/2023 tentang Besaran penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Batasan Luas Lantai Rumah Umum dan Rumah Swadaya.
Dalam ketentuan tahun 2023 itu, penerima rumah bersubsidi yang disebut dengan istilah MBR adalah pekerja lajang berpenghasilan maksimal Rp7 juta per bulan atau Rp8 juta per bulan jika sudah berkeluarga. Kriteria itu akan berubah menjadi maksimal penghasilan Rp12 juta per bulan untuk lajang dan Rp14 juta kalau sudah berkeluarga.
Kriteria baru batas atas penghasilan MBR tersebut, untuk sementara, hanya berlaku bagi pekerja di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang atau Jabodetabek.
Menteri Maruarar, seperti dikutip sejumlah media, menjelaskan bahwa perubahan kriteria MBR ini dilakukan agar sebaran penerima rumah bersubsidi menjadi semakin luas di tengah meningkatnya inflasi atau kenaikan harga. Kebijakan baru ini juga merupakan bagian dari program pembangunan 3 juta rumah per tahun yang menjadi salah satu dari delapan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Perkembangan Backlog Perumahan
Kenaikan kriteria batas penghasilan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk rumah subsidi ini bisa memiliki dampak positif dan negatif sekaligus terhadap kepemilikan rumah bersubsidi di Indonesia.
Secara positif, kenaikan batas atas penghasilan MBR akan memperluas jangkauan penerima rumah bersubsidi, yang diharapkan dapat mengurangi backlog (kekurangan) perumahan dengan memenuhi lebih banyak permintaan dari MBR. Akan tetapi, meningkatnya batas atas penghasilan penerima rumah bersubsidi ini juga bakal memperketat persaingan kepemilikan, terutama bagi warga yang berpenghasilan di bawah Rp10 juta per bulan.
Backlog adalah selisih antara jumlah rumah tangga yang membutuhkan rumah dengan jumlah rumah yang tersedia. Semakin tinggi backlog, semakin sulit masyarakat, khususnya MBR, memiliki rumah karena harganya membumbung tinggi akibat keterbatasan pasokan.
Selama satu dekade terakhir (2015-2024), Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan backlog perumahan berfluktuasi. Bila dirata-rata, jumlahnya mencapai sekitar 12,8 juta unit setiap tahun.
Mengacu pada data Susenas, jumlah backlog turun terus sejak 2021 hingga mencapai 10,9 juta unit pada 2024 atau 15,0% dari jumlah rumah tangga di Indonesia. Kendati demikian, jumlah backlog perumahan tersebut masih terbilang tinggi. Apalagi, jumlah keluarga baru di Indonesia juga terus bertambah setiap tahun.
Urusan backlog perumahan ini, sebagian besar terjadi pada masyarakat berpenghasilan rendah. Menurut laporan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2022, kontribusi MBR terhadap backlog mencapai 93%. Laporan tersebut menunjukkan daya jangkau masyarakat berpenghasilan rendah terhadap perumahan belum optimal.
Tim peneliti Lembaga Penyelidikan dan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia dalam Special Report edisi Juni 2024 memaparkan bahwa besarnya backlog terjadi karena kurangnya pasokan rumah layak huni dengan harga terjangkau dan lokasinya terhubung dengan pusat aktivitas ekonomi kota. Di sisi lain, terdapat indikasi kelebihan penawaran di segmen perumahan bagi masyarakat kelompok pendapatan menengah ke atas.
Kesulitan MBR untuk memiliki rumah tinggal juga tercermin pada data pertumbuhan kredit properti yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI). Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI) BI memperlihatkan bahwa kredit pemilikan rumah (KPR) untuk rumah tapak tipe terkecil (luas tanah hingga 21 meter persegi) sempat tumbuh positif pada periode Maret 2023 hingga Februari 2024. Pertumbuhan tahunannya selalu di atas 30%.
Namun, kontraksi penyaluran KPR mulai terjadi pada Maret 2024 ketika kredit pemilikan rumah tipe kecil tercatat tumbuh minus alis menyusut 48,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya atau year on year (yoy). Walau kemudian membaik, tetapi hingga Februari 2025 kinerja kredit KPR masih menyusut 5,73%.
Perkembangan kredit tersebut memberikan sinyal bahwa minat dan kemampuan masyarakat kelas bawah untuk mengakses KPR mengecil. Bisa jadi mereka merasa penghasilan saat ini tidak cukup untuk membayar cicilan rumah atau belum memenuhi syarat KPR perbankan.