Swasembada Energi Jalur Sawit
20 Juni, 2025
Hilirisasi minyak sawit terbukti bisa meningkatkan nilai tambah, mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM, serta berpotensi mewujudkan swasembada.

Keterangan foto: Ilustarsi orIlustrasi listrik rumah menyala berkat biodiesel
Ringkasan
• Menuju Swasembada Energi Lewat Biodiesel
Pemerintah menargetkan swasembada energi dalam lima tahun dengan mendorong hilirisasi sawit menjadi biodiesel, naik dari B35 ke B50, untuk mengurangi impor solar dan memperkuat ketahanan energi nasional.
• Hilirisasi Sawit Tingkatkan Nilai Tambah
Hilirisasi CPO menciptakan nilai tambah besar, seperti produk fatty alcohol dan vitamin E yang nilainya bisa naik hingga 24 kali lipat, mendorong pertumbuhan industri dan penciptaan lapangan kerja.
• Ekspor Sawit Volatil dan Turun di 2024
Setelah lonjakan nilai ekspor pada 2021–2022 akibat commodity supercycle, ekspor sawit Indonesia menurun drastis pada 2024 karena melemahnya permintaan global dan harga CPO yang menurun.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia - Swasembada, kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bergantung pada pihak lain, adalah tema utama pemerintahan saat ini. Berulang kali dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri dan tidak menjadi kacung di negeri sendiri.
Ketidakpastian global akibat memanasnya konflik geopolitik, krisis pangan dan energi, serta ancaman perubahan iklim membuat pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan sumber daya dalam negeri menjadi sangat penting. Kemandirian inilah yang kerap didengungkan Presiden.
Salah satu sektor strategis yang ditargetkan untuk segera mencapai swasembada adalah energi. Presiden Prabowo yakin kemandirian energi bisa dicapai setidaknya dalam waktu lima tahun mendatang. Minyak kelapa sawit (crude palm oil, CPO) diharapkan menjadi pilar utama untuk mewujudkannya.
Pengolahan sawit menjadi sumber bahan bakar nabati (BBN) atau biodiesel, berpotensi besar mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar minyak (BBM), juga meringankan beban subsidi harga jualnya. Impor BBM jenis minyak solar tahun 2024, misalnya, mencapai 7,08 juta ton dan menghabiskan biaya US$5,15 miliar. Saat dijual di pasar dalam negeri, pemerintah mesti menggelontorkan subsidi bernilai total Rp17,1 triliun, naik dari Rp16,6 triliun pada 2023.
Sebenarnya, pemerintah telah mengimplementasikan program pengolahan CPO menjadi biodiesel sejak 19 tahun lalu. Hal itu ditandai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2006 tentang Penggunaan Bahan Bakar Nabati untuk Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Program ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, meningkatkan ketahanan energi nasional, dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu, sekaligus memacu hilirisasi produk olahan minyak kelapa sawit.
Hilirisasi adalah proses mengubah bahan mentah atau sumber daya alam menjadi produk yang memiliki nilai tambah lebih tinggi melalui pengolahan lebih lanjut. Tujuannya untuk meningkatkan nilai ekonomi suatu komoditas dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah yang jauh lebih murah harganya.
Ikhtiar Menuju B50
Saat ini produksi biodiesel Indonesia telah mencapai tingkatan B35. Artinya, Biodiesel ini memiliki kandungan fatty acid methyl ester (FAME) hasil pengolahan CPO dengan konsentrasi 35%, dicampur BBM jenis solar 65%.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2024 realisasi produksi biodiesel B35 mencapai 13,15 juta kiloliter (KL), melebihi target 11,3 juta KL. Dari angka tersebut terjadi penghematan devisa sebesar US$9,3 miliar atau Rp147,7 triliun1, dan menyerap tenaga kerja lebih dari 14 ribu orang (off-farm2) dan 1,95 juta orang (on-farm3).
1. Kurs tengah Bank Indonesia tahun 2024, 1US$=Rp15.840
2. Pekerja di luar lahan pertanian tetapi masih terkait dengan sektor pertanian.
3. Pekerja yang terlibat langsung dalam kegiatan pengolahan lahan pertanian.
Untuk tahun 2025, pemerintah meningkatkan program mandatori biodiesel menjadi B40, dengan target produksi 15,6 juta KL. Kementerian ESDM memproyeksikan produksi tersebut akan menghemat devisa sebesar Rp147,5 triliun dan penurunan impor solar menjadi 4,6 juta kiloliter, serta terjadi peningkatan nilai tambah CPO menjadi biodiesel sebesar Rp20,98 triliun.
”Nanti 2026, kita dorong ke B50, maka kita tidak lagi mengimpor solar. Ini bagian dari mendorong kedaulatan energi,” kata Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.
Mandatori implementasi biodiesel B40 ini diyakini pemerintah akan membantu menjaga nilai dan posisi tawar komoditas CPO Indonesia di pasar dunia yang kerap bergejolak. Indonesia, yang menyumbang 60% produksi minyak sawit dunia, bisa mengendalikan harganya bila konversi biodiesel dilakukan secara cepat dan tepat.
”Dengan adanya B40, kemudian menjadi B50, kita menambah opsi di hilir. Jadi, kalau misalnya, negara tujuan ekspor mempersulit dengan regulasi ekspor, kita bisa substitusi menjadi energi,” kata Wakil Menteri Pertanian Sudaryono, dikutip Kompas.id.
Biodiesel barulah satu dari beragam produk hilirisasi sawit yang telah berhasil dikembangkan industri di Indonesia saat ini. Ada lebih dari 60 produk turunan CPO lainnya yang bisa dikembangkan lebih masif lagi untuk mendapatkan nilai tambah lebih besar guna menyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam publikasi ini, NEXT Indonesia Center membahas beberapa hal yang terkait dengan proses dan hasil yang telah dicapai dari program hilirisasi minyak kelapa sawit di Indonesia hingga saat ini.
Naik Turun Harga CPO
Pasar minyak sawit dunia, baik CPO maupun minyak inti sawit (palm kernel oil, PKO), telah lama menjadi area yang penuh gejolak. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir saja kerap terjadi fluktuasi harga yang dramatis dan tidak terduga. Pada tahun yang sama harganya bisa mendadak melonjak tinggi di sebuah bulan, lantas jatuh terperosok di bulan berikutnya.
Volatilitas harga minyak sawit merupakan cerminan dari betapa kompleksnya pasar komoditas global. Beragam faktor yang saling bertautan akan memengaruhi produksi dan harga, khususnya di dua negara penghasil minyak sawit terbesar dunia, Indonesia dan Malaysia.
Ada faktor pasokan dan permintaan atau lazim disebut sebagai supply and demand yang ikut menentukan pergerakan harga minyak sawit dunia. Perubahan harga juga bisa disebabkan oleh perubahan cuaca ekstrem yang memengaruhi produksi tandan buah segar (TBS)4, kebijakan pemerintah, sentimen pasar, hingga hubungan dengan komoditas lain yang menjadi substitusi.
4. Sebutan untuk buah kelapa sawit yang sudah matang dan siap dipanen.
Volatilitas harga ini telah menjelma menjadi badai yang terus-menerus menguji ketahanan para pelaku industri, terutama di negara-negara produsen utama seperti Indonesia. Harga yang bergerak naik turun terlalu cepat akan mengurangi stabilitas kesejahteraan petani dan perekonomian di wilayah yang tergantung pada produksi sawit.
Bagi negara produsen seperti Indonesia, memahami dan mengelola volatilitas melalui strategi seperti hilirisasi dan diversifikasi pasar adalah kunci untuk mencapai stabilitas ekonomi yang lebih baik. Apalagi, perbedaan nilai CPO dan PKO dengan produk-produk turunannya begitu menggiurkan.
Pengolahan CPO menjadi pure cut fatty alcohol (alkohol lemak murni), contohnya, mendongkrak harga dari US$1.140 per ton menjadi US$2.595 per ton, atau naik 2,3 kali lipat. Alkohol lemak murni digunakan sebagai bahan campuran beragam produk, termasuk kosmetik (sebagai emolien, emulsifier, dan pengental), detergen, pelarut industri, maupun produksi plastik dan tekstil.
Bahkan, bila CPO diolah menjadi vitamin E, nilainya melonjak lebih tinggi lagi, yaitu mencapai 24 kali lipat. Persisnya, dari US$1.140 per ton menjadi US$38.458 per ton.
Jadi, keberhasilan program hilirisasi minyak sawit ini berpotensi besar untuk menciptakan nilai tambah dari produk turunannya. Pendapatan negara berpeluang terdongkrak dengan hilirisasi, begitu pun dengan kinerja industri lainnya yang terhubung, sehingga menciptakan lebih banyak lapangan kerja.
Peran Sawit yang Menciut
Sepanjang 10 tahun terakhir, ekspor minyak kelapa sawit Indonesia mengalami pasang surut. Walau demikian, angkanya selalu bergerak di kisaran 20 juta ton per tahun.
Ekspor minyak kelapa sawit (kode HS5 1511) secara keseluruhan ini pada dasarnya adalah penjumlahan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dengan kode HS 1511.10 dan minyak kelapa sawit mentah yang bukan CPO dengan kode HS 1511.906. Dari grafik di atas tampak jelas volatilitas harga minyak kelapa sawit dunia. Volume ekspor tidak selalu berbanding lurus dengan nilai ekspor yang didapat.
5. Kode HS, atau Harmonized System Code, adalah sistem klasifikasi produk perdagangan yang digunakan secara global. Kode ini terdiri dari angka-angka yang mengidentifikasi jenis barang, yang mempermudah proses bea cukai, perdagangan, dan pengumpulan statistik di berbagai negara.
6. Contoh produk yang termasuk dalam kode ini adalah minyak sawit olahan (refined palm oil), termasuk minyak sawit yang diputihkan dan dihilangkan baunya (Refined, Bleached, Deodorized/RBD palm oil).
Saat volume ekspor menurun pada tahun 2021 dan 2022, nilainya justru naik. Bahkan melebihi nilai ekspor tahun 2019 ketika volume ekspor minyak sawit mencapai titik tertinggi pada periode 2015-2024.
Penyebabnya, pada periode 2021-2022, muncul yang disebut sebagai ”commodity supercycle”. Ketika itu, terjadi kenaikan harga yang signifikan di berbagai komoditas, khususnya energi, logam, dan produk pertanian. Lonjakan ini didorong oleh kombinasi berbagai faktor, termasuk peningkatan permintaan seiring pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19, gangguan rantai pasokan, dan peristiwa geopolitik.
Peningkatan nilai ekspor minyak sawit tersebut, khususnya pada tahun 2021, berkontribusi sangat besar terhadap total nilai ekspor Indonesia. Pada periode ini, minyak sawit menjadi ”pahlawan” yang menopang neraca perdagangan Indonesia, bahkan ketika sektor lain mungkin masih menghadapi tantangan pemulihan pascapandemi. Surplus neraca perdagangan non-migas Indonesia banyak ditopang oleh kinerja ekspor komoditas, termasuk minyak sawit.
Usai ”commodity supercycle” tersebut, harga minyak sawit kembali normal, bahkan cenderung turun. Akibatnya, meskipun volume ekspor minyak sawit pada 2023 sedikit meningkat, nilai ekspornya cenderung turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pada tahun 2024 ekspor minyak sawit mengalami penurunan, bahkan menjadi yang terkecil dalam 10 tahun terakhir. Volumenya tercatat 21,6 juta ton, turun 17,33% dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai ekspornya juga turun sekitar 11,89% dari US$22,7 miliar pada 2023, menjadi US$20 miliar pada 2024.
Penurunan ekspor tersebut, antara lain dipengaruhi oleh melemahnya permintaan dari beberapa negara tujuan utama seperti India dan Cina. Selain itu, harga minyak sawit juga sempat tertekan, bahkan harga CPO sempat mencapai di bawah US$900 per tonnya.
India adalah negara tujuan ekspor utama minyak sawit Indonesia dengan volume mencapai 25,9 juta ton pada periode 2019-2023. Cina ada di peringkat kedua dengan volume ekspor 20,4 juta ton pada periode yang sama. Sementara Pakistan melengkapi deretan tiga besar tujuan ekspor minyak sawit dengan volume 12,4 juta ton.