Anak Emas Kredit Perbankan
27 Juni, 2025
Perbankan memiliki dalil sendiri untuk memilih sektor yang “dimanja” dengan aliran kredit. Sektor pertambangan jadi satu di antara sektor prioritas.

Keterangan foto: Ilustrasi anak memegang balon
Ringkasan
• Pertumbuhan kredit melambat, target diturunkan
Penyaluran kredit bank umum terus melambat sepanjang 2025 akibat lemahnya daya beli, suku bunga tinggi, dan tekanan global. Bank Indonesia menurunkan target pertumbuhan kredit menjadi 8–11% dari sebelumnya 11–13%.
• Sektor prioritas belum tentu jadi fokus kredit
Industri pengolahan dan perdagangan tetap jadi penyerap kredit terbesar, namun pertumbuhan kreditnya relatif rendah. Justru sektor seperti administrasi pemerintahan (+48,33%), jasa kemasyarakatan (+26,85%), dan pertambangan (+25,47%) mencatat pertumbuhan tertinggi.
• Sektor strategis seperti perikanan justru minus
Meski punya potensi besar dan masuk prioritas pemerintah, sektor perikanan mengalami kontraksi kredit sebesar 6,07% yoy, menunjukkan masih minimnya dukungan pembiayaan untuk sektor maritim Indonesia.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia - Penyaluran kredit bank umum tengah melambat pada tahun 2025 ini. Belum pulihnya daya beli domestik, suku bunga yang masih tinggi, kebijakan tarif baru Amerika Serikat, dan ketegangan geopolitik global disebut sebagai beberapa penyebabnya.
Pada Maret 2025, penyaluran kredit bank umum hanya tumbuh satu digit, yaitu 9,16% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya (year on year, yoy). Kinerja ini merupakan yang terendah dalam 17 bulan terakhir atau sejak November 2023 yang ketika itu kenaikannya sekitar 9,74%.
Bulan-bulan berikutnya pertumbuhan itu semakin lambat. Menurut catatan Bank Indonesia (BI), periode April hanya tumbuh 8,5% lalu turun lagi menjadi 8,1% pada Mei 2025.
Melambatnya pertumbuhan tersebut membuat BI menurunkan target pertumbuhan kredit perbankan untuk tahun 2025 menjadi 8-11%. Pada awal tahun, bank sentral memasang target ambisius, yakni sebesar 11-13%.
Perlambatan kucuran kredit perbankan tersebut terjadi seiring dengan melemahnya kinerja dana pihak ketiga (DPK)2 , seperti tercatat dalam publikasi tentang uang beredar yang dikeluarkan oleh BI. Pada Januari 2025, DPK masih tumbuh 5,3% yoy. Namun pada April hanya naik 4,4%, kemudian melemah lagi jadi 3,4%.
2. Dana yang dihimpun oleh bank atau lembaga keuangan dari masyarakat, baik itu individu, perusahaan, maupun lembaga lainnya, dalam bentuk simpanan seperti giro, tabungan, dan deposito.
”Ke depan, Bank Indonesia akan terus mendorong penyaluran kredit pembiayaan perbankan yang didukung oleh perluasan sumber pendanaan, serta memperkuat sinergi dengan pemerintah, otoritas keuangan, kementerian/lembaga, perbankan, dan pelaku usaha,” janji Gubernur BI Perry Warjiyo, dikutip Tempo.co.
Bank Indonesia, menurut Perry, terus memperkuat kebijakan makroprudensial yang akomodatif melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) untuk bank yang mengucurkan kredit ke sektor prioritas versi BI. Sektor pilihan BI ini, antara lain sektor pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan. Insentif tersebut berupa potongan setoran Giro Wajib Minimum (GWM), yaitu simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro di BI.
Hingga pekan kedua Juni 2025, total insentif KLM mencapai Rp372 triliun, dengan rincian Rp164 triliun disalurkan ke bank milik pemerintah, Rp166,4 triliun ke bank umum swasta nasional, Rp36 triliun ke bank pembangunan daerah, dan Rp5,6 triliun ke kantor cabang bank asing.
Pada saat bersamaan, hasil survei perbankan yang digelar BI terungkap bahwa industri perbankan telah melonggarkan seleksi penyaluran kredit pada triwulan I-2025, ditunjukkan dengan Indeks Lending Standard (ILS) yang bernilai negatif 1,32%. Indeks di bawah 0 (nol) menunjukkan bahwa bank cenderung melonggarkan standar penyaluran kredit. Artinya, bank lebih mudah memberikan pinjaman.
Pelonggaran seleksi tersebut diperkirakan terus berlangsung pada triwulan II-2025, dengan ILS bernilai negatif 1,39%.
Seiring melonggarnya seleksi penyaluran kredit perbankan tersebut, NEXT Indonesia mencoba mengurai dan memetakan para ”anak emas perbankan”, alias sektor-sektor usaha yang mengalami pertumbuhan kredit paling besar secara tahunan. Selain itu juga akan dilihat kontribusinya terhadap total kredit sektoral, keterkaitan antara pertumbuhan kredit dengan NPL serta hal lainnya.
Anak Emas Perbankan Menikmati Derasnya Aliran Kredit
Perbankan memiliki logika sendiri dalam mengucurkan kredit. Semakin menguntungkan, dalam arti pengembaliannya lancar dan nilainya besar, boleh jadi itulah sektor yang menjadi prioritas. Soal Bank Indonesia menjanjikan insentif agar sektor prioritas pilihannya dilirik, tentu perbankan hitung-hitungan dulu.
Pertumbuhan kredit sektoral mencerminkan kepercayaan perbankan terhadap prospek suatu lapangan usaha tertentu.
Bila melihat data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Maret 2025, tampak hal menarik terkait pertumbuhan kredit sektoral. Perbankan tampaknya terus bermanuver untuk mencari peluang baru. Sektor usaha yang menyerap penyaluran kredit besar, pertumbuhan aliran dana dari perbankannya tidak serta merta tinggi.
Dari gambar di atas bisa dilihat pada sektor Industri pengolahan sebagai contoh. Lapangan usaha tersebut berkontribusi besar terhadap total kredit sektoral alias penyerap kredit perbankan paling banyak. Pada Maret 2025 outstanding kredit perbankan yang mengalir ke sektor usaha pengolahan mencapai Rp1.227,8 triliun atau 21,38% dari total kredit sektoral.
Nilai kredit yang terserap di sektor pengolahan merupakan yang terbesar di antara 17 lapangan usaha. Namun dari sisi pertumbuhan kreditnya secara tahunan (year on year, yoy), pencapaiannya hanya 8,79%. Kinerja tersebut lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit sektoral secara total yang sebesar 9,10%.
Padahal, melalui reindustrialisasi3, industri pengolahan diharapkan menjadi salah satu motor penggerak utama untuk mewujudkan target pemerintah menuju ”Indonesia Emas 2045”. Sektor ini termasuk ketiga terbesar, yang pada Februari 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlahnya sekitar 19,6 juta orang atau 13,45% dari total penduduk bekerja di Indonesia.
3. Upaya untuk menghidupkan kembali atau membangun kembali sektor industri, khususnya manufaktur, dalam suatu negara.
Kemudian ada sektor perdagangan besar dan eceran yang menyerap 20,85% total kredit sektoral per Maret 2025. Namun, pertumbuhan aliran kreditnya hanya 2,64% yoy.
Tentu banyak penyebabnya. Selain pertimbangan perbankan, boleh jadi karena kebutuhan dana untuk investasi maupun modal kerjanya relatif kecil. Investasi di sektor perdagangan misalnya, pada umumnya lebih banyak terkait dengan renovasi toko, penambahan stok, atau perbaikan logistik, yang tidak selalu membutuhkan pinjaman skala besar dari bank.
Status ”anak emas perbankan”, lapangan usaha dengan pertumbuhan kredit paling deras pada periode Maret 2025, dinikmati oleh sektor administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib. Kredit yang diberikan pada sektor ini tercatat Rp98,3 triliun, naik 48,33% yoy. Kontribusinya terhadap total kredit hanya 1,71%.
Tingginya pertumbuhan kredit sepertinya disebabkan adanya jaminan dari pemerintah dalam pembayaran pinjaman, sehingga risiko macet kredit tersebut terbilang kecil.
Jasa kemasyarakatan, sosial budaya, hiburan, dan perorangan lainnya juga tengah menikmati pertumbuhan kredit yang tinggi, yakni mencapai 26,85% yoy. Kredit yang dikucurkan untuk sektor ini pada Maret 2025 tercatat Rp189,6 triliun.
Maraknya berbagai kegiatan konser dan festival musik di Indonesia, khususnya di Jakarta, belakangan ini bisa menjadi salah satu penanda bahwa industri ini memiliki potensi besar untuk berkembang.
Sementara sektor pertambangan dan penggalian juga masih menjadi primadona bagi perbankan nasional. Kredit untuk sektor ini mencapai Rp386,3 triliun, meningkat 25,47% secara tahunan dan berkontribusi 6,73% terhadap total kredit sektoral.
Program hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah hasil tambang serta kebutuhan akan investasi dalam peralatan dan operasional pertambangan membuat kredit pada sektor ini terus mengucur. Kondisi tersebut tetap terjadi di tengah kampanye terkait pembiayaan hijau4 untuk transisi ke arah pembangunan berkelanjutan.
4. Pembiayaan hijau (green financing) adalah dukungan finansial yang ditujukan untuk proyek-proyek yang berdampak positif pada lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Sektor perikanan tampaknya perlu mendapatkan perhatian khusus. Indonesia adalah negara maritim, tetapi kredit perbankan untuk sektor ini justru menyusut alias terkontraksi 6,07% yoy, dengan kontribusi terhadap total kredit sektoral hanya 0,34%. Pada tahun 2024, kredit untuk sektor perikanan juga tumbuh negatif.
Padahal, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah berkomitmen untuk mendorong sektor perikanan budidaya sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional, sekaligus
memperkuat posisi Indonesia di pasar global. Kredit perbankan bisa mendorong optimalisasi perikanan untuk berkontribusi dalam mewujudkan Asta Cita terkait swasembada pangan, pemerataan ekonomi, dan pemberantasan kemiskinan.