Dana Gelap di Perdagangan Emas
26 September, 2025
Data perdagangan emas Indonesia mengindikasikan praktik misinvoicing, memicu aliran dana gelap miliaran dolar dan potensi hilangnya penerimaan negara.

Keterangan foto: Ilustrasi emas batangan.
Ringkasan
• Rekor Harga Emas
Tahun 2025, harga emas global tembus US$3.586/oz dan emas Antam Rp2,06 juta/gram, dipicu ketidakpastian ekonomi global, pelemahan rupiah, serta pembelian besar-besaran oleh bank sentral dunia.
• Dampak Positif & Negatif
Kenaikan harga emas meningkatkan nilai ekspor, PNBP, dan daya tarik investasi, tetapi juga memicu kenaikan harga perhiasan, risiko Dutch Disease, serta potensi praktik trade misinvoicing.
• Anomali Perdagangan Emas Indonesia
Meski produksi emas nasional tinggi, sejak 2021 Indonesia berubah menjadi net importer emas. Data ekspor-impor menunjukkan kejanggalan, terutama dengan negara mitra utama (Singapura, Swiss, Hong Kong), yang mengindikasikan kemungkinan manipulasi perdagangan (misinvoicing).
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Harga emas tahun 2025 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, baik di pasar global maupun domestik. Harga emas dunia tembus US$3.586,36 per troy ounce (oz) pada 5 September 2025, rekor penutupan tertinggi sepanjang masa. Bahkan secara intraday atau dalam satu hari, sempat menyentuh US$3.599/oz.
Kenaikan harga global ini turut mendongkrak harga emas di dalam negeri. Harga emas batangan Antam satuan 1 gram di butik Logam Mulia Jakarta tercatat Rp2.060.000 per gram pada 8 September 2025, yang merupakan level tertingginya sepanjang masa.
Lonjakan harga emas ini dipicu oleh berbagai faktor, antara lain ketidakpastian ekonomi global dan pelemahan nilai tukar rupiah, yang mendorong investor memburu emas sebagai aset safe haven. Selain itu, perburuan emas juga sebagai ikhtiar mendiversifikasi cadangan dari dolar AS. Hingga Agustus 2025 misalnya, sejumlah bank sentral dikabarkan CNBC Indonesia masih terus memborong emas dengan total jumlah 166 ton, yang ikut mendorong kenaikan harga emas.
Sisi positif dari kenaikan harga emas tersebut bagi negara produsen, dalam hal ini Indonesia, adalah melonjaknya nilai ekspor, royalti, pajak, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari perusahaan tambang emas. PNBP sektor minerba biasanya naik signifikan saat harga komoditas, termasuk emas, booming. Daya tarik investasi sektor pertambangan meningkat, begitupula nilai cadangan emas di Bank Indonesia.
Namun, ada sisi negatif yang juga dipicu oleh kenaikan harga tersebut. Harga emas tinggi membuat harga perhiasan naik, sehingga berpotensi menurunkan permintaan domestik.
Kemudian muncul pula bahaya “Dutch Disease”, yakni fenomena ketika sebuah negara mengalami lonjakan pendapatan besar dari ekspor sumber daya alam (SDA), termasuk emas, tapi justru berdampak negatif pada sektor lain di perekonomian. Penjelasan singkatnya, pendapatan dari SDA meningkat menyebabkan nilai tukar mata uang menguat. Penguatan kurs membuat produk manufaktur dan ekspor non-tambang jadi mahal dan tidak kompetitif.
Potensi negatif lain yang mungkin merebak adalah trade misinvoicing atau kesalahan faktur perdagangan, yaitu manipulasi data ekspor-impor. Caranya, eksportir atau importir dengan sengaja melaporkan harga, volume, atau nilai perdagangan yang berbeda dari transaksi riil. Tujuannya bisa beragam, termasuk menghindari pajak dan cukai, cuci uang hasil kejahatan, menghindari kontrol mata uang, hingga menyembunyikan keuntungan di luar negeri.
Trade misinvoicing ini merupakan salah satu bentuk aliran keuangan gelap (illicit financial flow, IFF), yang menurut Global Financial Integrity (GFI) —sebuah think tank berbasis di Washington DC yang fokus pada IFF, korupsi, perdagangan gelap, dan pencucian uang— nilai tahunannya rata-rata mencapai 20% dari total nilai perdagangan negara berkembang dengan negara ekonomi maju.
Ada dua jenis trade misinvoicing yang mungkin dilakukan dalam ekspor komoditas, yaitu over-invoicing dan under-invoicing. Over-invoicing menurut Organisasi Kepabeanan Dunia (World Custom Organisation, WCO) terjadi saat catatan ekspor komoditas di negara asal, dalam hal ini Indonesia, lebih besar dibandingkan catatan impor di negara tujuan. Hal ini mungkin dilakukan untuk mengeksploitasi insentif ekspor atau mekanisme capital flight (pelarian modal) secara terselubung ke Indonesia.
Sedangkan ekspor under-invoicing adalah pelaporan nilai ekspor negara asal yang lebih rendah dibandingkan catatan impor di negara tujuan. Eksportir mungkin ingin menyamarkan keuntungan dagangnya. Akibatnya, potensi penerimaan negara dan devisa menjadi berkurang.
Berdasarkan penghitungan misinvoicing dari GFI, total nilai ekspor turut memperhitungkan biaya pengapalan dan asuransi sekitar 10- 20% dari nilai ekspor. NEXT Indonesia Center menggunakan perkiraan biaya pengapalan dan asuransi 10% dari nilai ekspor.
Pada publikasi ini, NEXT Indonesia Center akan mengurai ekspor dan impor emas Indonesia untuk melihat apakah telah terjadi trade misinvoicing dalam perdagangan komoditas tersebut. Komoditas emas yang dibahas dalam publikasi ini adalah komoditas berkode Harmonized System (HS) 7108. Kode HS tersebut mengacu pada emas (termasuk emas berlapis platina) dalam bentuk mentah atau setengah jadi, atau dalam bentuk bubuk, yang tidak memiliki nilai moneter.
Paradoks Perdagangan Emas Indonesia
Indonesia merupakan satu di antara negara produsen emas terbesar di dunia. Tak heran jika volume ekspor emas (kode HS 7108) kerap lebih tinggi dari angka impor produk yang sama. Anomali sempat terjadi pada 2018, ketika nilai impor lebih besar dari nilai ekspor.
Akan tetapi, pada tahun 2019 dan 2020, nilai ekspor emas kembali meningkat lebih besar dari nilai ekspor. Bahkan pada tahun 2020 nilai ekspor melambung ke angka US$5,5 miliar, naik 52,78% dibandingkan tahun 2019.
Pada tahun berikutnya, tren nilai ekspor kembali menurun. Terbaru, pada 2024 nilai ekspor emas Indonesia tercatat US$1,1 miliar, hanya seperempat dari nilai impor yang mencapai US$4,6 miliar.
Memang, nilai impor bisa jadi lebih tinggi dari ekspor karena statistik ekspor sering dicatat berdasarkan nilai FOB (Free On Board), yakni harga di pelabuhan ekspor tanpa ongkos kirim, asuransi, atau biaya setelah barang di atas kapal. Sementara statistik impor biasanya dicatat berdasarkan CIF (Cost, Insurance, Freight): biaya barang+ongkos kirim+asuransi. Jadi, meskipun berat barang sama, nilai impor bisa jauh lebih besar lantaran ditambah ongkos dan asuransi internasional.
Rupanya tak hanya nilai, data menunjukkan bahwa sejak tahun 2021, volume impor emas Indonesia melejit melampaui ekspor. Bahkan impornya mencapai 162 ton, terbesar dalam delapan tahun terakhir. Sejak 2021, status Indonesia pun berubah dari net exporter1 menjadi net importer2 emas.
1. Negara yang ekspor produknya lebih banyak daripada impornya, sehingga menghasilkan nilai ekspor netto yang positif dan surplus perdagangan pada komoditas tersebut.
2. Negara yang impor produknya lebih banyak daripada ekspornya, sehingga terjadi defisit perdagangan pada komoditas tersebut.
Perubahan status menjadi negara net importer emas itu sungguh ajaib. Data menunjukkan bahwa produksi emas nasional masih terbilang tinggi, bahkan surplus terhadap permintaan. Grafik di atas menunjukkan bahwa dalam delapan tahun terakhir terlihat permintaan emas domestik relatif stabil, tidak ada lonjakan ekstrem. Namun, impor emas melonjak jauh melampaui kebutuhan riil tersebut.
Beragam faktor tentu dapat menjadi penyebab. Bisa saja jenis dan kualitas emas yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri berbeda dengan hasil produksi tambang emas lokal. Mungkin juga karena yang diimpor masih berupa emas batangan, untuk diolah menjadi produk jadi seperti perhiasan yang kemudian diekspor.
Kemungkinan lain adalah terjadi misinvoicing dalam perdagangan emas. Nilai dan volume yang dilaporkan eksportir tidak sesuai dengan catatan kepabeanan. Dalam hal ini, ada kemungkinan terjadi under-invoicing dan/atau over-invoicing dalam transaksi perdagangan tersebut.
Untuk melihat kemungkinan terjadinya trade misinvoicing, NEXT Indonesia Center memetakan terlebih dulu masing- masing lima negara dengan nilai ekspor dan impor emas berkode HS 7108 terbesar dalam hubungan perdagangan dengan Indonesia.
Data TradeMap3 menunjukkan dalam 10 tahun terakhir pasar ekspor terbesar komoditas emas Indonesia adalah Singapura. Total nilai ekspornya pada periode 2015-2024 mencapai US$13,8 miliar, setara dengan Rp228,8 triliun pada kurs tengah BI September 2025. Nilai itu mencakup 68,72% dari total ekspor emas Indonesia yang tercatat US$20,2 miliar pada periode tersebut.
3. TradeMap adalah basis data daring tentang statistik perdagangan internasional yang disediakan oleh International Trade Centre (ITC). Peta ini menyediakan serangkaian indikator penting tentang kinerja ekspor, permintaan internasional, pasar alternatif, dan peran pesaing dari perspektif produk dan negara.
Swiss dan Hong Kong melengkapi tiga besar tujuan ekspor emas Indonesia, masing-masing dengan nilai US$2,7 miliar dan US$2,6 miliar. Disusul kemudian oleh Australia (US$591 juta) dan Thailand (US$374 juta).
Dengan demikian, porsi emas yang diekspor ke lima negara tujuan utama pada periode 2015-2024 bernilai total US$20 miliar atau 99,07% dari total ekspor emas Indonesia ke seluruh dunia. Ekspor ke negara-negara lain terbilang minim, hanya US$189 juta sepanjang 10 tahun itu.
Sementara, Hong Kong menjadi pemasok emas terbesar Indonesia pada periode 2015-2024. TradeMap mencatat nilai impor dari Hong Kong pada kurun waktu tersebut mencapai US$7,1 miliar (Rp117,7 triliun pada kurs tengah BI September 2025), atau 32,55% dari total impor emas pada periode tersebut yang bernilai US$21,7 miliar.
Singapura menempati urutan kedua dengan US$4,5 miliar, disusul Australia (US$4,2 miliar), Jepang (US$1,9 miliar), dan Swiss (US$1,5 miliar).