Potensi Manipulasi Tagihan Ekspor Impor Emas
28 September, 2025
Data perdagangan emas 2015–2024 ungkap potensi misinvoicing ekspor-impor dengan mitra utama. Nilainya miliaran dolar, berisiko jadi jalur dana gelap.

Keterangan foto: Ilustrasi ekspor impor emas.
Ringkasan
• Potensi Misinvoicing Emas
Data perdagangan emas Indonesia 2015–2024 menunjukkan indikasi misinvoicing ekspor dan impor dengan Singapura, Swiss, Hong Kong, dan Australia, bernilai miliaran dolar AS.
• Dana Siluman & Pajak Hilang
Selisih pencatatan perdagangan berpotensi memunculkan dana gelap hingga US$11,6 miliar dan membuat negara kehilangan penerimaan pajak ratusan juta dolar.
• Risiko Sistemik
Misinvoicing emas mengancam integritas sistem keuangan dan perdagangan Indonesia, membuka celah bagi praktik illicit financial flow, serta berpotensi menjadikan Indonesia surga uang haram.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Setelah menelusuri data perdagangan emas Indonesia dengan lima negara mitra utama pada periode 2015-2024, NEXT Indonesia Center mengurai kemungkinan terjadinya misinvoicing dalam aktivitas perdagangan dengan tiga negara dengan nilai ekspor-impor tertinggi. Bagaimana potensinya?
Ada dua set data TradeMap yang akan diperbandingkan. Pertama, catatan ekspor dari Indonesia ke tiga negara utama dan membandingkannya dengan catatan impor negara-negara tersebut. Uji data ini dilakukan untuk melihat apakah terjadi misinvoicing dalam ekspor emas Indonesia ke tiga negara tersebut.
Kedua, kami membandingkan catatan ekspor emas tiga negara mitra utama dengan impor yang dicatat otoritas Indonesia pada waktu yang sama. Perbedaan data bisa menunjukkan adanya potensi misinvoicing dalam impor emas Indonesia.
Misinvoicing Ekspor
1. Singapura
Catatan ekspor emas Indonesia ke Singapura dengan catatan impor emas Singapura dari Indonesia dalam 10 tahun terakhir (2015-2024) tampak relatif sesuai. Selisih catatan yang relatif besar terjadi pada perdagangan tahun 2015, 2017, dan 2020. Ada isyarat potensi misinvoicing pada kurun waktu tersebut.
Pada tahun 2015 terjadi over-invoicing ekspor (catatan ekspor di Indonesia lebih besar ketimbang impor yang dicatat negara tujuan) mencapai US$221 juta, kemudian pada tahun 2020 kembali terjadi over-invoicing yang nilainya lebih besar, yakni US$481 juta. Sehingga, ada kemungkinan dana siluman yang masuk ke Indonesia bernilai total US$702 juta dalam periode tersebut.
Sementara pada 2017, tampak terjadi under-invoicing (catatan ekspor Indonesia lebih kecil dari impor yang dicatat negara tujuan) bernilai US$110 juta.
2. Swiss
Pada catatan ekspor emas Indonesia ke Swiss, jantung pergerakan emas dunia dan produsen perhiasan ternama, potensi misinvoicing terjadi pada tahun 2015, 2019, 2020, dan 2021. Ada aroma under-invoicing di tahun 2015, 2020, dan 2021. Sementara untuk tahun 2019, ada kemungkinan terjadi over-invoicing.
Swiss mencatat ada impor emas dari Indonesia senilai US$405 juta pada tahun 2015, sementara Indonesia sama sekali tidak mencatat adanya ekspor komoditas tersebut. Hal serupa terjadi pada tahun 2020, ketika catatan impor Swiss menunjukkan ada emas masuk dari Indonesia senilai US$2,2 miliar, padahal Indonesia mencatat angka ekspor hanya US$1,9 miliar. Potensi terjadinya under-invoicing mencapai US$261 juta.
Potensi under-invoicing naik menjadi US$393 juta pada tahun 2021. Ketika itu, Swiss melaporkan nilai impor emas dari Indonesia sebesar US$605 juta, sementara di catatan ekspor Indonesia hanya tertera US$212 juta.
Dengan demikian, potensi under-invoicing dalam perdagangan emas dengan Swiss selama 10 tahun tersebut mencapai US$666 juta. Tahun 2019, otoritas Indonesia mencatat ekspor emas ke Swiss sebesar US$367 juta. Namun Swiss mencatat nilai impor US$197. Artinya, ada kemungkinan over-invoicing senilai US$170 juta.
3. Hong Kong
Serangkaian potensi misinvoicing tampak pada data ekspor emas Indonesia ke Hong Kong. Potensi over-invoicing terjadi pada tahun 2016, 2019, 2020, dan 2021. Total nilainya mencapai US$621 juta. Selisih terbesar terjadi pada perdagangan tahun 2020 yang tercatat US$321 juta.
Potensi under-invoicing hanya terjadi pada 2017 dengan nilai US$109 juta. Dengan demikian, potensi terjadinya over-invoicing dalam ekspor emas Indonesia ke tiga negara mitra utama pada periode 2015-2024 mencapai total US$1,5 miliar. Sementara pada periode waktu yang sama, potensi terjadinya under-invoicing mencapai US$885 juta.
B. Misinvoicing Impor
1. Hong Kong
Selain misinvoicing ekspor, pada perdagangan emas Indonesia dengan Hong Kong periode 2015-2024 juga terlihat terjadi misinvoicing impor. Artinya, ada perbedaan antara nilai impor emas dari Hong Kong yang dicatat otoritas Indonesia dengan nilai ekspor emas dari Hong Kong yang dicatat otoritas setempat.
Data TradeMap menunjukkan, sepanjang periode penelitian, terjadi under-invoicing impor (nilai impor yang dicatat Indonesia lebih kecil dari nilai ekspor yang dicatat Hong Kong) pada 2015-2019. Total nilai selisih pencatatan selama 10 tahun tersebut mencapai US$1,4 miliar.
Padahal, menurut peraturan yang berlaku pada periode tersebut, tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor untuk emas adalah 2,5% untuk importir pemilik API (Angka Pengenal Catatan Impor); 7,5% untuk importir tanpa API; dan 10% untuk jenis minted bar (emas batangan) tertentu. Pengecualian PPh Pasal 22 bisa diberikan kepada importir yang akan memproduksi emas tersebut menjadi barang ekspor. Pembebasan pajak diberikan melalui Surat Keterangan Bebas (SKB) yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Anggap saja semua impor yang masuk 10 tahun tersebut dilakukan importir yang memiliki API. Dengan demikian, potensi pajak yang hilang bisa mencapai US$35 juta.
Sejak 25 Juli 2025, pemerintah memberlakukan tarif PPh 22 yang baru untuk impor emas. Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, impor emas dikenakan tarif 0,25% dari nilai impor. Tarif itu berlaku atas impor emas batangan dengan atau tanpa menggunakan API.
Selain itu, berdasarkan pasal 14 PMK tersebut, impor emas batangan yang akan diproses menjadi perhiasan emas untuk tujuan ekspor dibebaskan dari pungutan pajak.
Sementara over-invoicing impor (nilai impor yang dicatat Indonesia lebih besar dari nilai ekspor yang dicatat Hong Kong) terjadi sejak 2020 hingga 2022. Nilai totalnya mencapai US$282 juta. Pada perdagangan tahun 2023 dan 2024, selisih nilainya tidak terlalu besar sehingga perdagangan dapat disimpulkan berjalan normal.
2. Singapura
Impor emas dari Singapura juga perlu mendapat perhatian khusus, karena pergerakan angkanya dalam 10 tahun terakhir (2015-2024) tampak mencurigakan. Setelah mengalami over-invoicing impor pada 2015 dan 2016 dengan nilai total US$847 juta, data TradeMap menunjukkan under-invoicing terjadi sejak 2017 hingga 2024.
Bahkan tren angka under-invoicing impor tersebut terus meningkat hingga mencapai US$1,7 miliar pada tahun 2024, ketika Singapura mencatatkan ekspor emas ke Indonesia senilai US$2,2 miliar, sementara Indonesia mencatat nilai impor US$519 juta saja. Jika dihitung sejak tahun 2017, under-invoicing impor emas dari Singapura mencapai US$6,2 miliar. Luar biasa besar potensi pajak impor yang hilang.
Pada Juni 2021, sempat ramai diberitakan dugaan adanya manipulasi data impor emas dari Singapura yang disampaikan oleh Arteria Dahlan yang saat itu menjabat sebagai anggota Komisi III DPR-RI fraksi PDI-P. Arteria, dikutip CNN Indonesia, menyatakan manipulasi tersebut merugikan negara Rp2,9 triliun.
3. Australia
Pada catatan impor emas ke Indonesia dari Australia dipenuhi oleh potensi terjadinya over-invoicing impor. Bahkan pada tahun 2016-2018 dan 2020-2021, Indonesia mencatat ada impor emas dari Benua Kangguru, padahal otoritas Australia sama sekali tak mencatat ada emas yang diekspor ke Indonesia pada periode waktu tersebut.
Nilai total over-invoicing impor selama satu dekade (2015-2024) impor emas dari Australia itu mencapai US$2,9 miliar. Dapat diduga, uang sebesar itu adalah dana gelap yang masuk ke sistem keuangan Indonesia melalui impor emas.
Secara keseluruhan, potensi nilai under-invoicing impor emas dari tiga negara mitra utama tersebut dalam satu dekade tercatat US$7,6 miliar. Potensi nilai over-invoicing impornya juga tak kalah besar, yakni mencapai US$4 miliar.
Jangan Biarkan Indonesia Jadi Surga Uang Haram
Memang diperlukan penelitian lebih lanjut yang komprehensif untuk bisa menentukan apakah misinvoicing dalam jumlah besar tersebut merupakan hal yang wajar terjadi mengingat adanya biaya yang mesti ditanggung pedagang, seperti bea masuk/keluar, transportasi dan pengapalan, serta margin keuntungan. Namun, angka-angka anomali ini bisa dijadikan bukti awal bagi para pemangku kepentingan untuk melakukan investigasi lebih mendalam.
Selisih angka yang terlampau jauh bisa menjadi peringatan awal bagi para petugas Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk bergerak melakukan investigasi. Apalagi, illicit financial flow kerap terjadi pada perdagangan komoditas unggulan seperti emas.
Trade misinvoicing merupakan masalah struktural yang merugikan Indonesia dari sisi penerimaan negara, stabilitas devisa, hingga integritas sistem perdagangan secara keseluruhan, bukan hanya komoditas emas. Tanpa langkah perbaikan serius, potensi kehilangan penerimaan akibat illicit financial flow akan terus berlanjut dan mengurangi manfaat optimal dari perdagangan internasional Indonesia.
Tak kalah pentingnya, jika ada pembiaran, Indonesia dapat menjadi surga bagi keluar-masuk uang gelap atau dana siluman yang menumpang invoice impor maupun ekspor.