Menelusuri Aliran Minyak Indonesia
03 Oktober, 2025
Lifting minyak bumi terus menurun, kontribusinya pada PNBP kian mengecil. Padahal minyak masih jadi kunci APBN dan ambisi Prabowo hentikan impor BBM.

Keterangan foto: Ilustrasi pipa minyak.
Ringkasan
• Kontribusi PNBP Minyak Terus Menyusut
Lifting minyak bumi turun sejak 2017, membuat kontribusinya terhadap PNBP dan pendapatan negara semakin kecil meski harga minyak dunia sempat naik.
• Impor Minyak Membengkak
Indonesia berubah status dari eksportir menjadi net importer sejak 2003. Pada 2024, impor minyak mencapai US$36,3 miliar, jauh di atas ekspor US$6,9 miliar.
• Ambisi Prabowo Capai Kemandirian Energi
Presiden Prabowo menargetkan Indonesia berhenti impor BBM dalam 5 tahun, meski tantangan besar masih ada karena kebutuhan dalam negeri 1.600 RBPH.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Minyak bumi berperan penting dalam pendapatan negara. Hasil dari sumber daya alam ini dicatat sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang menjadi salah satu sumber penerimaan utama dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
PNBP saat ini tengah menjadi sorotan setelah Presiden Prabowo Subianto mencanangkan target APBN tanpa defisit paling lambat pada 2028. Tentu terlalu sulit berharap dari penerimaan pajak. Selain pemerintah sudah berjanji tidak ada kenaikan atau pajak baru hingga 2026, kenaikan pungutan tersebut bisa memunculkan keresahan sosial. Karena itu, mendorong penghasilan dari PNBP menjadi pilihan terbaik yang bisa dilakukan.
Di sinilah lifting minyak bumi berperan penting. Lifting adalah hasil produksi minyak bumi yang telah melalui proses pemisahan dan pengolahan (untuk memisahkan air, gas, dan mineral lain) sehingga siap dijual atau diserahkan kepada pembeli. Jadi, volume lifting belum tentu sama dengan volume produksi, yang menggambarkan total volume minyak mentah yang diangkat dari perut bumi.
Data produksi dinilai dari jumlah minyak yang dikeluarkan dari reservoir melalui sumur produksi, sedangkan data lifting dicatat dari titik penjualan atau custody transfer point. Besaran lifting merupakan dasar perhitungan bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor kerja sama serta menjadi basis PNBP dari sektor migas.
Oleh karena itu, tak heran jika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia amat sumringah saat mengumumkan bahwa untuk pertama kali sejak 2008, produksi minyak bumi melampaui target APBN. Pada Juni 2025, kata Bahlil, produksi telah mencapai 608 ribu barel per hari (RBPH), melampaui target APBN yang 605 RBPH. Sementara, produksi minyak bumi periode Januari-Juni 2025 telah mencapai rata-rata 602,4 RBPH.
Pernyataan itu sempat memantik kebingungan lantaran Menteri Bahlil mengumumkan volume produksi, tetapi membandingkannya dengan target APBN yang merupakan volume lifting. Dia sama sekali tidak memaparkan angka realisasi lifting untuk periode tersebut. Selain itu, angka produksi yang disebutkannya berbeda dengan angka produksi dan lifting yang diumumkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Minyak dan Gas (SKK Migas).
Pada 21 Juli 2025, SKK Migas melaporkan bahwa produksi minyak hingga Juni 2025 sebesar 579 RBPH, dengan lifting minyak bumi 578 RBPH. Jadi, berbeda dengan ucapan Bahlil, data SKK Migas itu menunjukkan bahwa lifting minyak bumi baru mencapai 95,5% dari target APBN 2025.
Namun kemudian Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi D. Suryodipuro, dikutip Antara, mencoba kompromi. Kata dia, sebenarnya tidak ada perbedaan antara data Kementerian ESDM dengan data SKK Migas. Menurut Hudi, Kementerian ESDM memasukkan volume natural gas liquid (NGL) dalam data produksi minyak bumi, sementara SKK Migas hanya mencatat data produksi minyak.
“Ke depannya, SKK Migas akan mencatatkan NGL sebagai bagian dari produksi minyak,” kata Hudi.
Pada publikasi ini NEXT Indonesia Center akan memaparkan kontribusi lifting minyak bumi terhadap pendapatan negara, melongok perkembangan ekspor-impornya dalam 10 tahun terakhir, serta mencermati apakah terjadi trade misinvoicing (manipulasi faktur perdagangan) dalam jual beli minyak bumi tersebut.
Kinerja Minyak Bumi Terus Menciut
Indonesia masih bergantung pada minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan energi dan mengisi kas negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tragisnya, kinerja lifting, minyak mentah hasil produksi yang siap dijual, terus menurun.
Lifting minyak bumi adalah jumlah minyak mentah yang siap jual dari kegiatan produksi. Tren lifting berkaitan erat dengan kemampuan negara mendapatkan PNBP dari subsektor minyak, karena besarnya penerimaan sangat dipengaruhi oleh volume minyak siap jual dan harga minyak dunia.
Sejak tahun 2015 hingga 2024 (realisasi sementara), lifting minyak bumi berkontribusi rata-rata 45,83% per tahun terhadap total PNBP dari sumber daya alam (SDA). Bahkan pada tahun 2015 sempat mencapai 47,53%, namun terus turun dan porsinya tersisa 34,05% pada 2024.
Pada APBN 2025, pemerintah menetapkan target PNBP minyak bumi mencapai Rp121 triliun, naik dari angka realisasi sementara APBN 2024 sebesar Rp78 triliun. Namun pada RAPBN 2026 target yang ditetapkan untuk minyak bumi kembali turun menjadi Rp113 triliun. Padahal pada 2026 pemerintah menargetkan kenaikan PNBP SDA menjadi Rp237 triliun dari Rp218 triliun pada 2025.
Porsi kontribusi minyak terhadap PNBP juga turun dari sekitar 34,92% pada 2014 menjadi 13,34% pada 2024 (realisasi sementara). Begitu pula porsinya terhadap pendapatan negara, dari sekitar 8,98% pada 2014 tersisa 2,73% pada realisasi sementara APBN 2024. Ini menandakan bahwa subsektor lain, seperti batu bara, gas, mineral, dan kehutanan kini lebih dominan dalam PNBP.
Menurunnya peran minyak bumi dalam pendapatan negara boleh jadi karena rasa waswas akibat lifting yang terus turun. Maklum, sejak 2017 hingga 2024, kinerja lifting minyak bumi mengalami kontraksi alias tumbuh negatif.
Penurunan kinerja itu membuat penerimaan dari minyak bumi kerap gagal memenuhi target APBN. Kesulitan pemerintah meningkatkan lifting minyak membuatnya kesulitan meraup keuntungan maksimal saat harga minyak dunia membumbung tinggi. Pada tahun 2022 misalnya, ketika harga melonjak melebihi US$100 per barel, lifting minyak bumi Indonesia malah turun 7,3% dari tahun sebelumnya —hanya 612 ribu barel per hari (RBPH) dari 660 RBPH pada 2021.
Jadi, besarnya kontribusi minyak bumi terhadap penerimaan negara disumbangkan oleh lonjakan harga di pasar dunia, bukan karena keberhasilan menaikkan volume produksi dan lifting. Penyebabnya antara lain penurunan produksi di lapangan tua (sekitar kondisi 70% sumur minyak di Indonesia sudah mature), keterlambatan pengembangan lapangan baru, dan investasi yang kurang agresif.
Kendati demikian, Menteri Bahlil terlihat gembira saat mengumumkan kinerja produksi dan lifting minyak pada pertengahan 2025 melampaui target yang dipatok APBN. Menurut Kepala SKK Migas Djoko Siswanto, kenaikan tersebut seiring dengan diresmikannya Lapangan Forel dan Terubuk di Kepulauan Riau, pada Mei 2025. Kedua proyek ini diharapkan memberi tambahan 20 RBPH minyak serta gas sebesar 60 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
SKK Migas juga terus menambah jumlah sumur pengembangan dengan memasang target pengeboran 993 sumur pada akhir 2025. Hingga semester I-2025, realisasinya telah mencapai 409 sumur pengembangan. Eksplorasi juga terus dipacu untuk menemukan sumber-sumber baru minyak bumi dan gas.
Pemerintah terus memanfaatkan teknologi pengurasan minyak tahap lanjut atau enhanced oil recovery (EOR) untuk meningkatkan produksi. EOR adalah tahap lanjutan dalam produksi minyak yang dilakukan untuk meningkatkan jumlah minyak yang dapat diekstraksi dari reservoir, ketika metode primer (pemanfaatan tekanan alami) dan sekunder (injeksi air atau gas untuk menambah tekanan) sudah tidak efektif lagi.
Tahap ini memanfaatkan panas, gas, bahan kimia, atau bahkan mikroorganisme sebagai alat bantu dorong yang memaksa minyak keluar dari perangkapnya, sehingga dapat terangkat ke permukaan. Intinya, teknologi EOR adalah memberikan rangsangan lanjutan pada sumur-sumur yang sudah uzur.
Mimpi Prabowo Hentikan Impor Minyak
Peningkatan produksi dan lifting minyak menjadi penting mengingat kemandirian energi adalah salah satu sasaran utama yang ingin dicapai oleh Presiden Prabowo Subianto dalam lima tahun ke depan. Apalagi hingga saat ini minyak bumi masih menjadi salah satu penopang utama kebutuhan energi Indonesia.
Masalahnya, jalan terjal dan berliku bakal harus dilalui pemerintah untuk bisa mewujudkan cita-cita besar tersebut. Karena, dalam urusan perdagangan minyak bumi, Indonesia telah jatuh menjadi net importer. Padahal, Indonesia sempat menjadi anggota OPEC, kelompok negara-negara pengekspor minyak yang sangat berpengaruh dalam menentukan produksi dan harga emas hitam di dunia.
Perubahan status dari eksportir menjadi importir secara nilai terjadi sejak tahun 2003. Ketika itu, pemerintah mengimpor minyak bumi senilai US$7,6 miliar, lebih tinggi dari hasil ekspor yang tercatat US$7,2 miliar. Jika dilihat secara volume, neraca perdagangan minyak bumi Indonesia baru tercatat negatif pada 2004, saat volume impor mencapai 34,9 juta ton sementara volume ekspor hanya 30,3 juta ton.
Kondisi tersebut membuat pemerintah memutuskan keluar dari OPEC pada tahun 2009. Sempat bergabung lagi dengan OPEC pada 4 Desember 2015, pemerintah kembali mundur pada November 2016, yang dipicu oleh ketetapan OPEC untuk memangkas produksi minyak sebesar 1,2 juta barel per hari.
Tapi itu cerita masa lalu. Kini, meningkatnya kebutuhan masyarakat saat produksi menurun membuat pemerintah harus terus mengimpor minyak bumi agar roda perekonomian terus berputar. Belum ada perbaikan signifikan yang terjadi sampai sekarang.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren nilai impor minyak bumi terus naik, sementara nilai ekspor cenderung menurun meski sedikit naik sejak tahun 2021. Pada tahun 2024, nilai ekspor minyak bumi hanya US$6,9 miliar, jauh di bawah impor yang mencapai US$36,3 miliar.
Besarnya angka impor tentu saja akan terus menguras devisa negara. Belum lagi beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang harus ditanggung pemerintah. Dua pengeluaran tersebut akan menyulitkan pemerintah untuk bisa mencapai APBN nihil defisit.
Walau demikian, dalam beberapa pidatonya Presiden Prabowo mengutarakan keyakinannya bahwa tak lama lagi Indonesia akan berhenti mengimpor minyak bumi. “Saya punya keyakinan dalam lima tahun kita tidak akan impor BBM lagi,” kata Prabowo.
Untuk itu, tak ada jalan lagi selain memaksimalkan produksi dan eksplorasi agar lifting minyak bumi setidaknya bisa mencukupi kebutuhan warga Indonesia yang mencapai sekitar 1.600 RBPH. Akan lebih baik lagi jika sekaligus bisa kembali meningkatkan volume ekspor.