Dua Dekade Uang Elektronik
09 Mei, 2025
Pada Februari 2025, volume transaksi e-money sudah empat kali lebih banyak dibandingkan penggunaan ATM, alat bayar yang lebih dulu hadir.

Keterangan foto: Ilustrasi e-money
NEXT Indonesia - Perkembangan pesat teknologi, khususnya dalam bidang finansial (fintech), telah membawa perubahan signifikan dalam lanskap sistem pembayaran di Indonesia. Salah satu tren yang paling menonjol adalah meningkatnya adopsi uang elektronik (e-money) sebagai metode pembayaran yang semakin populer di kalangan masyarakat.
MOST POPULAR
Jenis transaksi elektronik ini menjadi alat pembayaran yang sah sejak keluarnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) pada 13 April 2009. Peraturan tersebut kemudian beberapa kali diperbarui, hingga yang terkini adalah PBI Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik.
Berdasarkan media penyimpanan uangnya, ada dua jenis uang elektronik yang diakui peraturan tersebut, yaitu uang elektronik dengan media penyimpanan berbasis server dan yang berbasis chip. Contoh e-money berbasis server adalah
GoPay, Dana, dan Ovo, sementara yang berbasis chip semacam BCA Flazz, Mandiri e-money, dan BRI Brizzi. Dengan demikian, kehadiran uang elektronik sebagai alat bayar telah hampir dua dekade.
BCA Flazz adalah e-money pertama yang terbit di Indonesia. Kartu keluaran Bank BCA tersebut bahkan telah hadir sejak 2007, dua tahun sebelum Bank Indonesia (BI) merilis aturan soal uang elektronik.
Kehadiran e-money ini merupakan perkembangan lanjutan dari lahirnya kartu Automated Teller Machine (ATM) di Indonesia pada tahun 1986 yang diperkenalkan oleh Hong Kong Bank (sekarang HSBC) dan Bank Niaga (sekarang CIMB Niaga). Kartu tersebut membuat nasabah tak perlu antre lagi di bank kalau perlu menarik (debit) atau mentransfer uang. Fiturnya bertambah pada awal 1990-an saat nasabah juga bisa menyetor uang melalui mesin ATM ke rekening yang dikehendaki.
Pelan tapi pasti, penggunaan e-money terus tumbuh, baik dari jumlah kartu yang beredar, jumlah transaksi, maupun nilai transaksinya. Apalagi, untuk mendorong penggunaannya, BI meluncurkan kampanye Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) pada 14 Agustus 2014.
Namun pendorong utama melejitnya penggunaan e-money adalah penerapan transaksi non-tunai untuk membayar jalan tol yang mulai berlaku sejak 31 Oktober 2017. Pada November 2017, jumlah e-money yang beredar sudah mencapai 113,7 juta keping dengan volume transaksi mencapai 159,4 juta.
Menyusul kemudian, pembayaran lewat e-money digunakan untuk penggunaan transportasi umum, seperti bus Transjakarta, kereta rel listrik (KRL), mass rapid transportation (MRT), dan ojek online. Uang elektronik pun makin populer.
Pada Desember 2018, untuk pertama kali jumlah e-money melebihi jumlah kartu ATM yang beredar. Saat itu, jumlah e-money mencapai 167,2 juta, sementara kartu ATM 163,2 juta. Sementara jumlah transaksi e-money melebihi transaksi di ATM terjadi mulai Juli 2019: masing-masing 615,3 juta transaksi berbanding 609,7 juta transaksi.
Walau demikian, hingga saat ini nilai transaksi lewat kartu ATM belum terlampaui oleh nilai transaksi e-money. Terkini, data BI menunjukkan nilai transaksi kartu ATM pada Februari 2025 mencapai Rp586,6 triliun, sementara via e-money Rp226,2 triliun.
Nilai transaksi menggunakan e-money pun terus meningkat drastis. Dalam lima tahun terakhir, Maret 2020 hingga Februari 2025, Bank Indonesia mencatat pertumbuhan nilai transaksi e-money mencapai 517,1% atau rata-rata 103,4% per tahun atau dari Rp36,6 triliun menjadi Rp226 triliun. Sementara nilai transaksi menggunakan kartu ATM, pada periode yang sama, hanya tumbuh 0,1%.
BI menghitung ada lebih dari 2 miliar transaksi e-money berlangsung sepanjang Februari 2025, empat kali lebih banyak dari transaksi ATM yang mencapai 534 juta kali pada periode tersebut. Tren ini menunjukkan terjadinya pergeseran dari penggunaan kartu ATM kepada e-money. Bukan tak mungkin nilai transaksi uang elektronik tersebut kelak akan menyamai, bahkan melebihi kartu ATM.
Merujuk pada data BI, saat ini ada sekitar 941 juta unit e-money yang beredar. Sebagian besar dari kartu itu atau sekitar 72,6% di antaranya, terdaftar di Jakarta, walaupun tidak berarti penggunanya adalah warga Jakarta.
Bisa saja uang elektronik tersebut teregistrasi di Jakarta –diterbitkan oleh bank atau lembaga non-perbankan yang berkedudukan di Jakarta– tetapi digunakan bukan oleh warga Ibu Kota. Situasi ini bisa terjadi karena e-money, terutama kartu berbasis chip, dijual bebas dan dapat dibeli oleh siapa pun tanpa harus mendaftarkan diri ke lembaga penerbit kartu tersebut.