Research  By Editorial Desk

Apa Kabar Dana Sitaan Hasil Korupsi

12 September, 2025

Dana sitaan korupsi capai triliunan tiap tahun, tapi pencatatan di neraca negara jauh lebih kecil. Transparansi dan akuntabilitas dipertanyakan.

Ilustrasi berangkas berkarat terkunci - Next Indonesia Center

Keterangan foto: Ilustrasi berangkas berkarat terkunci.

DOWNLOADS


cover next review apa kabar dana sitaan hasil korupsi.jpeg

Apa Kabar Dana Sitaan Hasil Korupsi

Download

Ringkasan
• 
Klaim vs Realita
Kejagung mengklaim menyelamatkan ratusan triliun uang negara, namun PNBP yang benar-benar masuk ke kas negara jauh lebih kecil.

• Proses Hukum & Aset
Banyak aset hasil sitaan bukan berupa uang tunai, baru bisa dicatat sebagai PNBP setelah inkrah dan dilelang, sehingga realisasi penerimaan tertunda.

• Potensi Tertahan
Terdapat potensi penerimaan puluhan hingga ratusan triliun di masa depan, tetapi pencatatannya terhambat oleh faktor hukum, teknis, dan sifat kerugian imateriil.

 

 

NEXT Indonesia Center - Pemerintah Indonesia saat ini tengah berupaya mewujudkan sebuah target besar, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa defisit pada tahun 2027 atau selambat-lambatnya tahun 2028. Di mana peluang mendongkrak pendapatan?

Tentu cara termudah adalah menaikkan pajak. Namun, ini pilihan sangat berisiko, karena berpotensi memicu reaksi negatif, seperti turunnya konsumsi rumah tangga, kaburnya investor, dan meningkatnya penghindaran pajak (tax evation). Penolakan masyarakat pun dipastikan akan merebak. Tak heran jika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa -seperti halnya Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan sebelumnya- sudah menegaskan untuk tidak akan menaikkan pajak pada tahun depan.

Dengan demikian, optimalisasi pendapatan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bisa menjadi pilihan rasional untuk diambil. PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah yang bukan berasal dari pajak, seperti pendapatan dari sumber daya alam, laba BUMN (dividen) yang kini sudah berpindah akun ke kas Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, layanan Badan Layanan Umum (BLU), dan berbagai penerimaan lainnya. PNBP merupakan komponen penting pendapatan negara selain perpajakan.

Persoalannya, porsi kontribusi PNBP terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang sempat mencapai 43,5% pada tahun 2000, terus menunjukkan tren penurunan. Pada periode 2021-2023, PNBP hanya menyumbang sekitar seperlima atau 22,0% dari total pendapatan negara. Bahkan porsi ini diproyeksikan menurun lagi pada 2024–2025 seiring perubahan asumsi dan target APBN.

Data realisasi sementara APBN 2024 menunjukkan PNBP diperkirakan Rp584,4 triliun, atau sekitar 20,5% dari total pendapatan negara yang mencapai Rp2.850,6 triliun. Persentase ini menurun dari realisasi tahun 2023 yang mencapai Rp612,5 triliun.

Selanjutnya pada APBN 2025, pemerintah merencanakan penghasilan PNBP sekitar Rp513,6 triliun, atau hanya sekitar 17,09% dari total pendapatan negara yang sebesar Rp3.005 triliun. RAPBN 2026 menunjukkan proyeksi penerimaan PNBP yang lebih kecil lagi, yaitu Rp455 triliun, hanya 14,5% dari total pendapatan negara.

NEXT Indonesia Center telah menghitung, agar APBN nihil defisit tercapai pada tahun anggaran 2027, pemerintah perlu mendorong kenaikan PNBP hingga mencapai Rp1.162 triliun. Jumlah itu setara dengan kenaikan 155,38% dari proyeksi RAPBN 2026.

Pada publikasi ini, NEXT Indonesia Center melongok salah satu komponen PNBP yang menarik untuk diperhatikan: “Pendapatan Kejaksaan dan Peradilan serta Hasil Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang”.

Para pejabat Kejaksaan Agung kerap mengumumkan keberhasilannya “menyelamatkan uang negara” triliunan rupiah dari hasil penindakan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Oleh karena itu, menarik untuk dilihat seberapa besar uang sitaan hasil kejahatan tersebut yang kembali ke kas negara. Semakin banyak yang disita, tentunya akan sangat membantu peningkatan PNBP menuju APBN nihil defisit.

Komposisi Utama PNBP dan Kontribusinya

Penerimaan negara bukan pajak atau PNBP berasal dari beragam sumber. Secara garis besar, komponen utamanya mencakup: Pendapatan Sumber Daya Alam (SDA), Pendapatan dari Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KND), Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU), dan PNBP Lainnya (berbagai penerimaan selain ketiga komponen utama tersebut). Kontribusi masing-masing komponen terhadap total PNBP bervariasi setiap tahun.

Pendapatan SDA, berdasarkan data Kementerian Keuangan, merupakan penyumbang terbesar PNBP, yakni selalu di atas 40% empat tahun terakhir. Pada APBN 2025, pendapatan SDA diproyeksikan mencapai Rp218 triliun, atau 42,4% dari total PNBP. Jumlah tersebut naik dari Rp207,7 triliun pada APBN 2024. Meski selalu yang tertinggi, kontribusi SDA terbilang fluktuatif, karena sangat dipengaruhi oleh kondisi harga dan produksi komoditas alam.

Pendapatan tersebut berasal dari pemanfaatan sumber daya alam, yakni: minyak dan gas, pertambangan mineral dan batu bara, kehutanan, perikanan, serta panas bumi.

Kemudian kekayaan negara yang dipisahkan atau KND. Bagian ini aset negara yang berasal dari APBN atau sumber lain yang diinvestasikan secara jangka panjang untuk tujuan tertentu, dan dikelola secara terpisah dari mekanisme APBN. Contohnya adalah modal yang disetorkan pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sempat mengalami penurunan pada tahun anggaran 2020 dan 2021, pendapatan KND melonjak signifikan pada 2023, yakni mencapai Rp82,1 triliun, atau 13,40% dari total PNBP tahun tersebut. Kenaikan kontribusi KND itu menandakan peningkatan laba BUMN atau penerimaan lain yang dipisahkan. Pemerintah memproyeksikan kontribusi KND naik menjadi Rp85,8 triliun pada APBN 2024, kemudian bertambah lagi menjadi Rp90 triliun di 2025.

Kenaikan tersebut bisa mengindikasikan bahwa peran KND dalam PNBP diproyeksi terus menguat pada tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi, Kementerian Keuangan telah merevisi target realisasi PNBP 2025 dari Rp513,6 triliun menjadi hanya Rp477,2 triliun karena setoran dividen BUMN sebesar Rp80 triliun yang seharusnya masuk APBN diserahkan kepada Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.

Pendapatan BLU berasal dari layanan yang disediakan negara, termasuk layanan pendidikan, kesehatan, dan pengelolaan dana tertentu. Karena BLU, sesuai namanya bertugas melayani masyarakat, tidak ada kewajiban baginya untuk mencari keuntungan. Tak heran jika kontribusinya relatif kecil, hanya sekitar 16% dalam delapan tahun terakhir.

Sementara PNBP Lainnya adalah komponen kedua dengan kontribusi terbesar terhadap total PNBP. Kategori ini mencakup berbagai penerimaan negara selain tiga komponen di atas, misalnya penerimaan layanan administrasi, denda, lelang, hibah, dan lain-lain.

Pada periode 2018-2023, PNBP Lainnya memberikan kontribusi signifikan sekitar 30% dari total PNBP. Namun, pemerintah memproyeksikan penerimaan komponen ini akan menurun pada 2024 dan 2025. Hal ini bisa mengindikasikan asumsi konservatif atau pemerintah telah menghitung berkurangnya penerimaan non-pajak insidental pada masa mendatang.

Saat ini, untuk mendorong angka PNBP melalui eksploitasi SDA akan berhadapan dengan isu kelestarian lingkungan hidup, walau royalti tambang tetap bisa menjadi sumber pendapatan terbesar. Laba BUMN sudah diserahkan kepada Danantara, sementara tak ada kewajiban bagi BLU untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, akun PNBP Lainnya jadi menarik untuk dieksplorasi.

Kontribusi Penegakan Hukum: Klaim Versus Realita

Satu di antara beragam komponen dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Lainnya adalah Pendapatan Kejaksaan dan Peradilan serta Hasil Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pencucian Uang (TPPU). Komponen ini jadi menarik untuk ditinjau karena Kejaksaan Agung (Kejagung) kerap mengklaim telah berhasil menyelamatkan triliunan uang negara.

Pada tahun 2024 misalnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin memaparkan sepanjang 2014-2024, Kejaksaan berhasil menyelamatkan keuangan negara melalui jalur pidana khusus dalam jumlah yang sangat besar. Rinciannya: sebesar Rp100 triliun, US$26 juta (Rp430 miliar), SGD489 ribu (Rp6,3 miliar), Eur4.000 (Rp77,8 juta), MYR52 ribu (Rp204,4 juta), KRW24 ribu (Rp286 ribu), GBP305 (Rp6,8 juta), dan PHP56 (Rp16.262). Selain itu, ada juga penyelesaian aset barang rampasan dan barang sitaan sebesar Rp7 triliun.

Sebenarnya Jaksa Agung juga mengumumkan penyelamatan kerugian negara dari jalur perdata yang nilainya lebih fantastis, yakni mencapai Rp506,7 triliun, US$12,3 juta, dan emas 107.441 kilogram. Tetapi angka-angka tersebut tidak dibahas dalam publikasi ini, karena pendapatan Kejaksaan dan Peradilan yang masuk hitungan PNBP Lainnya hanya yang berasal dari tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Menilik data Kementerian Keuangan, uang negara yang berhasil diselamatkan Kejaksaan Agung lalu masuk ke kas negara tidak sebesar itu. Pada periode 2018-2024 saja, total pendapatan negara dari seluruh hal yang terkait tindak pidana korupsi dan pencucian uang, hanya mencapai Rp13,8 triliun. Nilai tersebut masih amat jauh dari Rp100 triliun, seperti yang diumumkan oleh Jaksa Agung.

Lantas, ke mana sisa uang yang telah diselamatkan tersebut?

Penting untuk dicatat bahwa klaim “penyelamatan keuangan negara” oleh aparat penegak hukum sering jauh lebih besar daripada PNBP yang benar-benar masuk kas negara pada tahun berjalan. Para petinggi Kejaksaan rutin mengumumkan capaian penyelamatan kerugian negara, mencakup nilai aset yang disita maupun potensi kerugian yang berhasil dicegah, yang tidak semuanya langsung terealisasi sebagai penerimaan tunai.

Sementara, pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2016 tentang PNBP Pada Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan bahwa uang pengganti, denda, dan rampasan dari tindak pidana korupsi dan pencucian uang baru dibayarkan untuk menjadi PNBP setelah ada keputusan berkekuatan hukum tetap (inkrah). Selain itu, tidak semua aset terpidana berupa uang tunai. Biasanya, uang hasil korupsi atau tindak pidana pencucian uang alias TPPU telah berubah menjadi aset, yang sering kali butuh waktu lama untuk dilelang.

Ambil contoh tahun 2023. Pada Laporan Tahunan 2023, Kejagung menuliskan telah menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp84,8 triliun dan US$15,8 juta, serta berupa tanah seluas 3.958 meter persegi. Lembaga tersebut juga melaporkan PNBP Kejaksaan mencapai Rp4,4 triliun, lebih tinggi 347,06% dari target Rp1,3 triliun.

Pada tahun yang sama Mahkamah Agung (MA) mencatat ada 142 perkara yang menyebabkan kerugian negara telah berkekuatan hukum tetap. Total uang pengganti yang harus dibayarkan oleh terpidana mencapai Rp2,54 triliun. Sebagian besar uang pengganti tersebut, yakni Rp2,2 triliun, adalah bagian dari vonis untuk Surya Darmadi, raja kelapa sawit pendiri PT Duta Palma Group yang terjerat kasus penyerobotan ribuan hektare lahan. Surya juga dijatuhi hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

PNBP yang dilaporkan Kejaksaan serupa dengan total penerimaan negara dari Pendapatan Kejaksaan dan Peradilan serta Hasil Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang pada APBN 2023. Perbedaan terletak pada rincian komponen uang pengganti yang jika mengacu pada keputusan inkrah MA mencapai Rp2,5 triliun, tetapi pada APBN 2023 baru tercatat Rp2,3 triliun. Jadi, ada perbedaan sekitar Rp200 miliar.

Jumlah tersebut tentu saja masih jauh dari penyelamatan keuangan negara yang dilaporkan Kejagung dalam laporan tahunannya pada 2023. Dengan demikian, ada potensi penerimaan di masa datang yang sangat besar, sekitar Rp80 triliun, dari kasus korupsi dan pencucian uang yang ditangani Kejagung. Namun, realisasinya memerlukan waktu, sehingga penerimaannya kemungkinan telah melewati tahun anggaran.

Selain itu, beberapa klaim penyelamatan yang diutarakan Kejagung mencakup kerugian tak langsung atau imateriil. Misalnya, dalam kasus Duta Palma, selain uang pengganti Rp2,2 triliun, Surya Darmadi juga dijatuhi hukuman berupa pembayaran kerugian lingkungan hidup Rp39,7 triliun. Secara hukum, vonis tambahan tersebut termasuk dalam penyelamatan keuangan negara, tetapi komponen itu tidak langsung masuk sebagai PNBP karena bersifat pemulihan lingkungan jangka panjang.

Oleh karena itu, angka PNBP dari penanganan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sering kali lebih rendah dari klaim penyelamatan keuangan negara yang diumumkan Kejagung. Namun, disparitas tersebut menunjukkan banyak aset dan potensi penerimaan yang masih “tertahan” di luar kas negara.

Related Articles

blog image

Triliunan Potensi Pendapatan Negara Hilang

Potensi penerimaan negara hilang besar-besaran akibat manipulasi ekspor. Dalam 10 tahun, misinvoicing capai US$654,5 miliar setara ribuan triliun.

Selengkapnya
blog image

Bank Himbara Masih Jago Kandang

Bank-bank Himbara dominan di dalam negeri, namun terbatas ekspansi keluar dan tertekan tingginya NIM. Merger dinilai bisa lahirkan superbank ASEAN.

Selengkapnya
blog image

Inklusi Keuangan Masih Jadi Pekerjaan Rumah

Inklusi keuangan RI naik jadi 52,39%, tapi masih di bawah rata-rata dunia 75,31% dan jauh tertinggal dari Singapura yang tembus 97,8%.

Selengkapnya