Inklusi Keuangan Masih Jadi Pekerjaan Rumah
06 September, 2025
Inklusi keuangan RI naik jadi 52,39%, tapi masih di bawah rata-rata dunia 75,31% dan jauh tertinggal dari Singapura yang tembus 97,8%.

Keterangan foto: Ilustrasi celengan retak.
Ringkasan
• Inklusi keuangan Indonesia masih rendah
Global Findex 2025 mencatat 52,39%, jauh di bawah rata-rata dunia (75,31%) dan Singapura (97,8%).
• Korelasi inklusi dan aset bank
Semakin tinggi inklusi keuangan, semakin besar pertumbuhan aset bank pemerintah melalui simpanan, kredit, dan diversifikasi portofolio.
• Posisi Indonesia di ASEAN
Aset gabungan Himbara (US$381,2 miliar) masih tertinggal dari Malaysia (US$438,8 miliar) dan jauh dari Singapura (DBS, US$656,1 miliar).
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Inklusi keuangan warga Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun, namun masih jauh di bawah rata-rata dunia. Kondisi itu terlihat dalam laporan The Global Financial Inclusion Index (Global Findex) 2025 yang dirilis Bank Dunia (World Bank) pada 16 Juli 2025.
Inklusi keuangan, dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen dan Masyarakat, didefinisikan sebagai ketersediaan akses dan pemanfaatan atas produk dan/atau layanan PUJK (pelaku usaha jasa keuangan) yang terjangkau, berkualitas, dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan keuangannya. Singkatnya, seberapa banyak masyarakat yang dapat mengakses layanan keuangan dalam berbagai bentuknya.
Sedangkan Global Findex Database1 adalah satu-satunya survei sisi permintaan (demand-side)2 di dunia mengenai inklusi keuangan. Pertama kali diluncurkan Bank Dunia pada 2011, The Global Findex Database telah menjadi sumber data mengenai bagaimana orang dewasa (usia 15 tahun ke atas) di seluruh dunia mengakses dan menggunakan layanan keuangan—menabung, meminjam, melakukan pembayaran, dan mengelola risiko.
1. Indeks ini diproduksi oleh Bank Dunia dengan pendanaan dari Bill & Melinda Gates Foundation, serta bekerja sama dengan Gallup, Inc.
2. Segala hal yang berfokus pada permintaan atau keinginan konsumen terhadap suatu barang atau jasa, baik dalam konteks ekonomi, bisnis, maupun periklanan.
Survei Bank Dunia dilakukan di 144 negara dengan 1.000 responden di masing-masing negara. Pada laporan terbaru yang merupakan hasil survei pada paruh kedua tahun 2024, Bank Dunia menemukan bahwa tingkat inklusi keuangan di Indonesia baru mencapai 52,39%—persentase responden yang melaporkan bahwa dia memiliki akun rekening (baik sendiri maupun bersama orang lain) di sebuah bank atau institusi finansial lain yang serupa.
Survei itu mengisyaratkan, kira-kira dari 100 orang masyarakat Indonesia, hanya 52 orang yang sudah memiliki rekening di lembaga keuangan. Padahal, rata-rata dunia sudah mencapai 75,31% atau rata-rata 75 dari 100 orang punya rekening.
Sementara secara kawasan, bila dibandingkan dengan anggota Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) lainnya, Indonesia berada di peringkat kelima. Masih jauh di bawah peringkat teratas Singapura yang inklusi keuangannya telah mencapai 97,8%, walau ada di atas Kamboja, Laos, dan Filipina.
Walaupun lambat, inklusi keuangan di Indonesia meningkat dalam setiap survei yang dilakukan Global Findex sejak tahun 2011. Dalam 13 tahun terakhir misalnya, dari hanya 19,58% pada 2011 menjadi 52,39% pada survei terbaru tahun 2024.
Menarik untuk diperhatikan adalah, sejak survei tahun 2014 indeks inklusi keuangan perempuan Indonesia melesat melebihi penduduk laki-laki. Literasi keuangan perempuan Indonesia tampaknya lebih baik ketimbang pria yang lazimnya menyandang status sebagai kepala keluarga. Perempuan Indonesia lebih melek soal keuangan ketimbang para pria.
Lembaga negara seperti OJK dan Badan Pusat Statistik (BPS) juga melakukan survei serupa yang bertajuk Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) setiap tahun. Hasil survei terbaru yang diumumkan pada 2 Mei 2025 menunjukkan inklusi keuangan nasional mencapai 80,51%, naik dari 75,02% pada 2024. Indeks tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan hasil survei Bank Dunia.
Bank Dunia telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya perbedaan antara data yang mereka kumpulkan dalam Global Findex dengan data dari otoritas masing-masing negara yang disurvei. Lembaga tersebut menjelaskan bahwa persepsi responden tentang kebiasaan keuangan mereka, serta akses dan penggunaan rekening keuangan tersebut mungkin berbeda— terkadang secara signifikan—dari data kepemilikan rekening yang dilaporkan oleh lembaga keuangan kepada bank sentral di sebuah negara. Penyebabnya, menurut Bank Dunia, data lembaga keuangan tersebut mungkin menunjukkan tingkat kepemilikan rekening yang lebih tinggi karena mencakup rekening yang tidak aktif dan penghitungan ganda (individu yang sama memiliki rekening di berbagai bank berbeda).
Pada publikasi ini, NEXT Indonesia Center akan membandingkan aset dan kinerja Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk/BRI, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk/BNI, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk/BTN, dengan bank- bank milik pemerintah masing-masing negara ASEAN dengan tingkat inklusi keuangan yang lebih baik dari Indonesia. Oleh karena itu, data Global Findex digunakan agar perbandingannya menjadi setara.
Sementara, bank-bank yang dibahas dalam publikasi ini adalah mereka yang dimiliki oleh pemerintah dan/atau yang saham terbesarnya dimiliki oleh pemerintah, baik secara langsung maupun melalui kendaraan lain.
Inklusi Keuangan Tinggi, Aset Bank Melejit
Indikator inklusi keuangan yang digunakan dalam Global Findex adalah jumlah kepemilikan rekening per populasi, jumlah penggunaan rekening untuk menabung, melakukan transaksi dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Kegiatan bertransaksi di sini mencakup menarik uang, transfer, dan pinjaman dana.
Secara umum, semakin tinggi inklusi keuangan masyarakat, semakin besar pula potensi pertumbuhan aset perbankan, baik dari sisi simpanan maupun penyaluran kredit. Kalau lebih banyak masyarakat membuka rekening, otomatis nilai simpanan masyarakat (dana pihak ketiga, DPK) di perbankan akan naik. Kenaikan DPK tersebut akan memperbesar likuiditas bank sehingga aset perbankan bertambah karena DPK adalah sumber utama pendanaan bank.
Inklusi keuangan juga dapat membuka akses kredit bagi rumah tangga dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mungkin sebelumnya kurang terlayani dengan baik (underserved). Dalam neraca bank, kredit adalah aset. Jadi, saat kredit yang tumbuh berarti aset bank meningkat.
Dampak positif lain dari meningkatnya inklusi keuangan adalah diversifikasi portofolio perbankan. Dengan basis nasabah yang lebih luas, aset bank tidak terlalu terkonsentrasi ke segmen tertentu, misalnya korporasi besar. Bank pun bisa menyebar risiko sehingga kondisinya bisa lebih stabil.
Jadi, negara dengan inklusi keuangan tinggi tidak hanya punya basis deposan besar tapi juga pasar produk kredit atau manajemen kekayaan (wealth management) yang matang, sehingga dapat membantu kinerja profitabilitas bank, baik return on asset (ROA)3 dan return on equity(ROE)4, melalui fee-based income5 dan marjin yang lebih baik.
3. Rasio keuangan yang mengukur seberapa efisien sebuah perusahaan dalam menggunakan seluruh asetnya untuk menghasilkan laba bersih. Semakin tinggi angka ROA yang dihasilkan, semakin baik kemampuan perusahaan dalam mengelola aset untuk menciptakan keuntungan.
4. Rasio keuangan yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih dari total ekuitas pemegang saham.
5. Pendapatan operasional non-bunga yang diperoleh institusi keuangan (terutama bank) dari layanan seperti transfer, inkaso, jasa konsultan, hingga transaksi valuta asing, yang bertujuan mempermudah transaksi dan aktivitas perbankan bagi nasabah.
Korelasi positif antara tingkat inklusi keuangan masyarakat dengan besarnya aset bank milik pemerintah itu tampak jelas di negara-negara ASEAN, bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
Pemerintah Singapura saat ini tidak secara langsung memiliki sebuah bank di dalam negeri. Singapura mendirikan The Development Bank of Singapore Limited (DBS) pada 1968, tetapi tidak lagi 100% memiliki bank yang kini terdaftar di Singapore Exchange (SGX) tersebut. Meski demikian, pemerintah memiliki saham terbesar dan mengontrol DBS Bank Ltd. melalui Temasek Holdings, sovereign wealth fund (SWF) milik pemerintah Singapura. Per Juni 2025, Temasek menguasai 28,18% saham beredar (outstanding shares) DBS.
Tingginya inklusi keuangan warga Singapura, mencapai 97,82% dari 5,87 juta penduduk, bisa ditunjukkan dengan besarnya nilai aset DBS. Nilai aset tersebut pada Juni 2025 tercatat US$656,1 miliar atau sekitar Rp10.698 triliun, yang membuatnya menjadi bank dengan aset terbesar di Asia Tenggara.
Gabungan bank-bank pemerintah di negara Asia Tenggara lainnya belum ada yang mendekati nilai aset DBS. Total aset bank milik pemerintah Malaysia—Maybank, CIMB, dan Bank Simpanan Nasional (BSN)—hanya mencapai US$438,8 miliar atau Rp6.984 triliun.
Konsolidasi aset empat bank milik pemerintah Indonesia yang tergabung dalam Himbara—Mandiri, BRI, BNI, dan BTN—pun baru bernilai US$381,2 miliar atau Rp6.240 triliun, masih terpaut jauh dari Malaysia, apalagi Singapura. Bank Mandiri adalah anggota Himbara dengan nilai aset terbesar, yaitu Rp2.464 triliun.
Sementara, aset gabungan bank-bank pemerintah di Thailand dan Vietnam masing-masing mencapai Rp4.658 triliun dan Rp3.395 triliun, cukup jauh dibandingkan tiga negara di atasnya. Namun, inklusi keuangan yang tinggi, Thailand 91,1% dan Vietnam 69,9%, menjadi modal besar bagi dunia perbankan di kedua negara ini untuk berkembang lebih baik lagi pada masa mendatang.