Beban Berat Perpajakan
04 Juli, 2025
Kinerja penerimaan perpajakan belum maksimal, cenderung menurun setelah tahun 2022. Bahkan di posisi terendah dibandingkan negara-negara ASEAN.

Keterangan foto: Ilustrasi koin pajak
Ringkasan
• Penerimaan pajak 2025 diproyeksikan tidak capai target
Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan penerimaan perpajakan 2025 akan meleset sekitar Rp103,6 triliun dari target, akibat batalnya kenaikan PPN dan pelemahan harga komoditas.
• Kontribusi belanja pemerintah terhadap PDB menurun
Pada kuartal I-2025, kontribusi konsumsi pemerintah terhadap PDB hanya 5,88%, turun dari 7,73% pada tahun 2024, yang berpotensi melemahkan pertumbuhan ekonomi nasional.
• Kinerja pajak sangat menentukan stabilitas APBN dan ekonomi
Penerimaan pajak menjadi tulang punggung APBN; bila tidak tercapai, belanja negara dan pembangunan terancam terganggu, memicu defisit yang lebih tinggi dan memerlukan penarikan dana tambahan.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memang bukan sedang mengibarkan bendera putih tanda menyerah, melainkan menyampaikan peringatan. Penerimaan perpajakan tahun 2025, dia memproyeksikan, tidak akan sampai target alias meleset.
Pernyataan itu disampaikan dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (1/7/2025). Oleh karena itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 akan mengalami defisit.
Menteri Sri Mulyani mengungkapkan, dalam proyeksi Kementerian Keuangan, penerimaan perpajakan sepanjang 2025 sekitar Rp2.387,3 triliun atau 95,84% dari target APBN sebesar Rp2.490,9 triliun. Dengan demikian, ada potensi shortfall1 sekitar Rp103,6 triliun.
1. Kondisi ketika realisasi lebih rendah dibandingkan dengan target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBN Perubahan.
Menurut Menkeu, seperti dikutip Bisnis. com, target penerimaan pajak tidak tercapai karena adanya perubahan kebijakan, termasuk tidak jadi naiknya tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Selain itu, penyebabnya adalah tekanan dari faktor eksternal seperti pelemahan harga komoditas-komoditas unggulan yang berdampak ke penerimaan pajak.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diproyeksikan Rp477,2 triliun, juga lebih rendah dari target Rp513,6 triliun. Penurunan ini, lanjut Sri Mulyani, disebabkan dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak lagi masuk ke kas negara.
Sebelumnya, dividen BUMN masuk ke kas negara melalui akun PNBP Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KND). Kini, dikelola langsung oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Dengan begitu, tidak lagi menjadi bagian dari pos pendapatan negara di APBN.
Dengan demikian, total penerimaan negara diproyeksikan hanya mencapai Rp2.865,5 triliun, atau sekitar 95,35% dari target APBN 2025 sebesar Rp3.005,1 triliun.
Pada saat bersamaan, belanja negara atau konsumsi pemerintah juga diperkirakan hanya sekitar 97,4% dari anggaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, APBN 2025 berpotensi defisit Rp662 triliun atau 2,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Proyeksi tersebut lebih tinggi dari target defisit yang telah ditetapkan dalam APBN 2025, yakni sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53% dari PDB.
Untuk menambal defisit, Menteri Sri Mulyani meminta persetujuan DPR untuk mengambil Rp86,5 triliun dari kas saldo anggaran lebih2 (SAL). ”[...] sehingga kenaikan defisit itu tidak harus dibiayai semua dengan penerbitan surat utang,” katanya, dikutip Harian Kompas. Posisi SAL pada akhir 2024 mencapai Rp457,5 triliun, turun dari Rp459,5 pada akhir 2023.
2. Akumulasi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dari tahun-tahun anggaran sebelumnya dan tahun anggaran berjalan, setelah ditutup, ditambah atau dikurangi dengan koreksi pembukuan. SAL digunakan untuk menutup kekurangan pembiayaan anggaran atau memenuhi kebutuhan pengeluaran negara yang mendesak.
Kinerja penerimaan pajak tentu sangat penting bagi kesehatan perekonomian nasional. Seperti dicatat Badan Pusat Statistik pada kuartal I-2025, kontribusi konsumsi pemerintah terhadap PDB sekitar 5,88%, lebih tinggi dari peran ekspor bersih.
Untuk itu, ketika pendapatan negara lebih kecil dari target, bukan hanya belanja pembangunan yang bisa terganggu, tetapi berpotensi turut menekan pertumbuhan ekonomi nasional. Ujung-ujungnya, tingkat kesejahteraan masyarakat bisa ikut terseret.
Target Penerimaan Pajak Rajin Meleset
Perkembangan penerimaan pajak dalam 10 tahun terakhir bergerak dinamis, yang mencerminkan pengaruh dari faktor ekonomi domestik dan global, upaya reformasi perpajakan, serta dampak pandemi Covid-19. Tentu tak dapat dipisahkan juga dengan strategi mengepul pajak.
Secara umum, kinerja perpajakan Indonesia mengalami tren positif. Perolehannya terus meningkat setiap tahun, kecuali saat pandemi Covid-19 melanda. Sepanjang periode 2020-2021 penerimaan perpajakan mengalami tekanan signifikan karena penurunan aktivitas ekonomi. Saat itu, pemerintah berupaya keras untuk menjaga stabilitas ekonomi dengan mengorbankan penerimaan negara, misalnya memberikan insentif pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21 dan diskon pajak pertambahan nilai (PPN) barang tertentu.
Setelah terdampak pandemi Covid-19, upaya pemulihan ekonomi, reformasi pajak, dan kenaikan harga komoditas (khususnya pada tahun 2022) mulai terlihat hasilnya. Penerimaan pajak lebih laju. Selama tiga tahun beruntun sejak 2021, penerimaan perpajakan berhasil melampaui target.
Realisasi penerimaan perpajakan tahun 2021 mencapai Rp1.548 triliun atau 105,7% dari target Rp1.444,6 triliun. Penerimaan ini menjadi prestasi besar, karena untuk pertama kali sejak tahun 2008, penerimaan perpajakan berhasil memenuhi, bahkan melampaui target APBN.
Kenaikan penerimaan kembali terjadi pada 2022. Realisasinya mencapai Rp2.034,6 triliun atau 114,04% dari target Rp1.784 triliun. Inilah realisasi perpajakan tertinggi sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Faktor pendorong pencapaian tahun 2022 itu, antara lain kenaikan harga komoditas dunia, program pengungkapan sukarela (PPS) alias pengampunan pajak atau tax amnesty. Program tersebut memungkinkan wajib pajak mengungkapkan harta yang belum dilaporkan dan diberikan bebas sanksi pajak, serta mulai berlakunya Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menetapkan kenaikan PPN dari 10% menjadi 11%.
Realisasi penerimaan perpajakan kembali melampaui target APBN pada 2023. Saat itu nilainya mencapai Rp2.154 triliun atau 101,69% dari target Rp2.021,2 triliun. Menurut Kemenkeu, peningkatan penerimaan pajak ini didukung kondisi ekonomi domestik yang terjaga dan adanya peningkatan kepatuhan Wajib Pajak sebagai dampak peningkatan aktivitas pengawasan, seperti pengawasan pasca-pelaksanaan PPS.
Akan tetapi pada tahun berikutnya penerimaan perpajakan tampaknya gagal mencapai target. Realisasi sementara hingga 31 Desember 2024 hanya Rp2.233 triliun3, sementara target APBN 2024 adalah Rp2.307,9 triliun.
3. Angka realisasi penerimaan perpajakan 2024 masih menunggu hasil audit Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Melesetnya penerimaan perpajakan dari target itu, menurut Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimayu dikutip Tempo.co, disebabkan oleh turunnya pajak penghasilan (PPh) badan4 akibat moderasi harga komoditas, terutama pada sektor pertambangan. Selain itu, realisasi PPh non-migas hanya mencapai Rp997,6 triliun, kurang 22% dari target Rp1.063,4 triliun. Kontribusi PPh non-migas mencapai 51,6% dari total penerimaan pajak, sementara porsi PPh badan adalah 17,4%.
4. Pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima badan usaha yang berkedudukan di Indonesia.
Tahun ini, seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani, realisasi penerimaan perpajakan akan kembali tidak mencapai target APBN 2025. Proyeksi itu akan menambah daftar panjang melesetnya penerimaan perpajakan dari target yang telah ditetapkan.
Kontribusi Belanja Pemerintah Terus Menciut
Realisasi penerimaan perpajakan menjadi penting karena merupakan\ sumber utama pendapatan negara dan inti dari kebijakan fiskal suatu negara. Oleh karena itu, besaran penerimaannya akan memengaruhi kontribusi belanja pemerintah.
Belanja pemerintah adalah salah satu komponen utama dalam perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran. Komponen lainnya adalah konsumsi rumah tangga, investasi, dan nilai ekspor bersih (ekspor dikurangi impor). Nilai PDB didapat dari hasil penjumlahan semua komponen tersebut.
Pada tahun 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kontribusi belanja pemerintah terhadap perekonomian nasional atau Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 7,73%. Namun, pada kuartal I-2025, perannya hanya 5,88%.
Memang, seperti tampak pada gambar di bawah, pertumbuhan konsumsi pemerintah tidak selalu mampu mengangkat pertumbuhan PDB karena kontribusinya tidak sebesar konsumsi rumah tangga (penyumbang terbesar PDB). Akan tetapi, belanja pemerintah memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional.
Peran strategis tersebut adalah meningkatkan gairah perekonomian. Ketika pemerintah membelanjakan uang untuk pengadaan barang dan jasa, pembangunan infrastruktur, gaji pegawai, atau subsidi, ini akan menciptakan permintaan di berbagai sektor ekonomi, sehingga aktivitas produksi pun meningkat, atau setidaknya tetap berdenyut.
Sebagai contoh, pada masa puncak pandemi Covid-19 tahun 2020 tampak kontribusi belanja pemerintah terhadap PDB naik tajam. Ketika itu, melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah menggelontorkan dana besar untuk belanja barang yang diproduksi di dalam negeri guna mendorong permintaan terhadap barang dalam negeri. Melalui strategi tersebut, lapangan kerja baru tercipta sehingga daya beli masyarakat bisa kembali terangkat.
Jadi, belanja pemerintah dan pertumbuhan PDB saling terkait dan memengaruhi perekonomian secara keseluruhan. Penerimaan pajak membantu pemerintah mengendalikan inflasi, menstabilkan perekonomian, dan menyediakan dana darurat saat krisis, seperti pada masa pandemi. Ketika perannya terhadap perekonomian menciut, kinerja perekonomian pun berpotensi terganggu.