Ekspor Andalan Indonesia ke Uni Eropa
19 Juli, 2025
IEU-CEPA buka peluang emas bagi ekspor RI, dari sawit hingga nikel, meski masih hadapi tantangan regulasi dan kesenjangan kebutuhan pasar.

Keterangan foto: Ilustrasi kapal kargo ekspor sedang berlayar.
Ringkasan
• Minyak sawit jadi komoditas ekspor utama Indonesia ke Uni Eropa, tapi terkendala regulasi lingkungan EUDR.
Meski menjadi eksportir terbesar CPO, Indonesia menghadapi tantangan dari kebijakan deforestasi UE, namun IEU-CEPA memberi harapan akan kompromi yang menguntungkan kedua pihak.
• IEU-CEPA membuka peluang ekspor baru bagi industri alas kaki, otomotif, dan produk nikel.
Penurunan tarif dan pembukaan pasar membuat produk Indonesia lebih kompetitif, serta mendorong potensi investasi Eropa dalam sektor EV dan baterai berbasis nikel di Indonesia.
• IEU-CEPA jadi momentum strategis untuk perkuat rantai nilai global dan dorong industrialisasi hijau.
Keberhasilan perjanjian ini akan sangat bergantung pada kesiapan regulasi, industri dalam negeri, dan kapabilitas pelaku usaha nasional.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia - Komoditas ekspor tertinggi Indonesia ke Uni Eropa saat ini adalah minyakv sawit (CPO). Pada periode 2020-2024, total nilainya mencapai US$10,9 miliar, atau 9,49% dari total ekspor minyak sawit Indonesia ke seluruh dunia yang sebesar US$114,6 miliar. Sementara pada periode yang sama, minyak sawit yang diimpor Uni Eropa senilai US$39,2 miliar.
Artinya, masih terbuka lebar peluang bagi pengusaha minyak sawit Indonesia untuk masuk ke pasar Uni Eropa (UE). Apalagi volume produksi minyak sawit Indonesia mencapai 59% dari total produksi dunia.
Komoditas minyak sawit adalah isu yang paling santer dan kontroversial dalam hubungan dagang Indonesia- UE. Bahkan ada dugaan kuat isu tersebut jadi penyebab negosiasi yang berlarut-larut. Sikap tegas UE terhadap peraturan lingkungan, khususnya Peraturan Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation, EUDR)1, menimbulkantantangan besar bagi ekspor minyak sawit Indonesia.
1. EUDR adalah undang-undang baru yang bertujuan mencegah produk yang terkait dengan deforestasi memasuki pasar Uni Eropa. Peraturan ini mewajibkan perusahaan untuk membuktikan bahwa produk seperti kakao, kopi, kedelai, minyak sawit, kayu, karet, dan ternak, serta produk turunannya, diproduksi di lahan yang tidak mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020.
Indonesia berargumen bahwa peraturan ini bersifat unilateral alias sepihak, kurang transparan dan akurat secara ilmiah, serta dapat berdampak negatif terhadap para petani lokal. Namun dengan ditandatanganinya perjanjian perdagangan Indonesia European Union - Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) ini mengindikasikan kemungkinan Uni Eropa ”melunakkan” pendiriannya terhadap peraturan ini dan kedua belah pihak telah mencapai penyelesaian yang dapat diterima bersama.
Komoditas lain yang tampak berpeluang paling besar untuk digenjot volume ekspornya ke Eropa berdasarkan tabel di atas adalah alas kaki, baik yang berbungkus kulit maupun tekstil. Nilai impor UE dari seluruh dunia untuk kedua komoditas tersebut terbilang besar, sementara nilai ekspor Indonesia untuk produk tersebut masih amat kecil.
Indonesia memiliki basis industri alas kaki yang kuat. Penurunan tarif akan membuat produk alas kaki Indonesia lebih kompetitif di pasar Uni Eropa yang besar.
Melirik Kebutuhan Eropa
Keluwesan dan kemudahan berdagang yang didapat saat perjanjian perdagangan Indonesia European Union - Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) berlaku nanti tentu mesti dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh para pengusaha lokal. Untuk itu, mereka harus mengetahui produk yang paling banyak dibutuhkan oleh warga Uni Eropa saat ini.
Catatan impor kawasan tersebut bisa menjadi petunjuk awal. Dari data yang terungkap, tampak ada ketidaksesuaian (miss-match) antara 10 produk terbesar yang diekspor Indonesia ke UE dengan 10 produk terbesar yang diimpor UE dari seluruh dunia.
Jadi tak heran jika pangsa pasar Indonesia di Uni Eropa masih terbilang kecil. Karena itu, perjanjian perdagangan akan membuka ruang ekspansi yang lebih luas.
Sebagai amsal, ketika IEU-CEPA diberlakukan, ada peluang besar bagi industri otomotif nasional untuk mendiversifikasi pasar ekspor. Data di atas menunjukkan UE membutuhkan kendaraan bermotor, yang berarti termasuk suku cadangnya.
Industri otomotif dan suku cadang Indonesia terbilang besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor kendaraan dan bagiannya (suku cadang) mencapai US$7,9 miliar pada tahun 2024. Saat ini, pasar ekspor otomotif terbesar Indonesia masih didominasi oleh negara-negara Asia Tenggara (Filipina, Thailand, Vietnam) dan Timur Tengah. Uni Eropa, Amerika Latin, dan Afrika masih relatif kecil kontribusinya.
Dengan IEU-CEPA, Uni Eropa akan menjadi alternatif pasar yang sangat menjanjikan bagi produk otomotif Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi global dan perang dagang yang sedang berlangsung.
Selain itu, ada komoditas lain yang memang tidak masuk dalam 10 besar impor UE tetapi amat dibutuhkan oleh Uni Eropa, yaitu nikel. Kawasan tersebut tengah berupaya mengamankan rantai pasokan bijih nikel sebagai bahan baku penting untuk transisi hijau dan digital yang tengah dijalankan.
Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia. Dengan total produksi diperkirakan mencapai 2,2 juta ton pada tahun 2024, Indonesia berkontribusi 60,19% pada pasar nikel dunia. Cadangan nikel terbesar di dunia juga berada di Tanah Air, mencapai 55 juta ton.
Akan tetapi, pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara telah melarang ekspor bijih nikel. Kebijakan ini diambil untuk mendorong nilai tambah pada produk berbahan baku nikel melalui hilirisasi di dalam negeri.
Boleh jadi akan ada kompromi antara Indonesia dan Uni Eropa terkait perdagangan nikel ini guna memuluskan IEU-CEPA. Bisa saja raksasa otomotif Eropa diajak untuk berinvestasi dalam pengembangan produk berbasis nikel seperti baterai kendaraan listrik (EV) atau bahkan langsung memproduksi EV di Indonesia.
Melalui IEU-CEPA, produk-produk Indonesia yang selama ini mungkin terkendala oleh tarif atau hambatan non-tarif di kategori impor Uni Eropa tersebut, memiliki peluang lebih besar untuk bersaing dan meningkatkan pangsa pasarnya. Peningkatan investasi dari Uni Eropa di Indonesia juga akan mendukung peningkatan kapasitas produksi dan kualitas ekspor.
IEU-CEPA juga menjadi peluang strategis untuk memperkuat posisi Indonesia dalam rantai nilai global, mendorong industrialisasi hijau, dan meningkatkan daya saing. Keberhasilan perjanjian ini akan bergantung pada kesiapan regulasi, industri, dan kapabilitas pelaku usaha nasional.