Research  By Editorial Desk

Triliunan Subsidi Energi Salah Sasaran

17 Agustus, 2025

Subsidi energi lebih banyak dinikmati kelas menengah-atas, bukan warga miskin. Penyimpangan triliunan rupiah ini perlu segera dievaluasi pemerintah.

Ilustrasi gas elpiji bersubsidi - Next Indonesia Center

Keterangan foto: Ilustrasi gas elpiji bersubsidi.

DOWNLOADS


cover next review Triliunan Subsidi Energi Salah Sasaran.jpg

Triliunan Subsidi Energi Salah Sasaran

Download

Ringkasan
• 
Subsidi energi menyedot APBN sangat besar: pernah mencapai Rp341,8 triliun (2014), dan pada 2025 kembali dialokasikan Rp394,3 triliun untuk BBM, LPG 3 kg, dan listrik.
• Reformasi subsidi sejak 2015 memang menurunkan beban negara, namun tren subsidi dan kompensasi terus meningkat; distribusinya juga masih banyak salah sasaran.
• Data BPS 2024 menunjukkan subsidi lebih banyak dinikmati kelompok kaya: 78,93% konsumsi Pertalite dan 67,41% LPG 3 kg justru dipakai rumah tangga menengah-atas, bukan desil 1–4 yang berhak.

 

 

NEXT Indonesia Center - Subsidi energi—bahan bakar minyak (BBM), gas minyak bumi cair (liquified petroleum gas, LPG) ukuran 3 kilogram, dan listrik— kerap memunculkan dilema besar bagi pemerintah. Di satu sisi, subsidi tersebut sangat penting, antara lain untuk pemerataan akses energi bagi seluruh masyarakat, menjaga kestabilan sosial dan politik, serta menjaga daya beli masyarakat. Akan tetapi di sisi lain, ada beban fiskal besar yang harus ditanggung. 

Di lain sisi, subsidi energi berpengaruh besar terhadap beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dalam 15 tahun terakhir, subsidi energi (BBM, LPG/elpiji ukuran 3 kg, dan listrik) terbesar yang digelontorkan pemerintah terjadi pada tahun 2014, nilainya mencapai Rp341,8 triliun, hampir 20% dari belanja negara yang tercatat Rp1.777,2 triliun pada saat itu. 

Beban berat tersebut membuat pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (2014-2019) mengambil langkah reformasi subsidi energi. Pada 31 Desember 2014 pemerintah merilis Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, yang berlaku per 1 Januari 2015.

Salah satu highlight dalam ketentuan tersebut adalah mencabut subsidi bensin premium RON 88, bernama dagang Premium, dengan mengubahnya menjadi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yang berdasarkan perpres tersebut tidak lagi mendapatkan subsidi. Namun pendistribusi jenis BBM ini berhak mendapatkan kompensasi, yaitu dana yang diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha, dalam hal ini PT Pertamina (Persero), untuk menutupi selisih antara harga jual BBM yang ditetapkan pemerintah dengan harga keekonomian atau harga pasar. Kompensasi tersebut diberikan untuk memastikan Pertamina tidak rugi akibat menjual BBM di bawah harga pasar.

Dengan demikian, sejak tahun 2015, pengeluaran pemerintah untuk menstabilkan harga Premium tidak tercatat lagi sebagai subsidi, melainkan sebagai kompensasi yang dibayarkan langsung kepada penyalur dan penjual produk tersebut, yaitu PT Pertamina (Persero).

Subsidi dan kompensasi sebenarnya memiliki kemiripan. Keduanya merupakan dukungan dana negara yang bertujuan menjaga daya beli masyarakat dan mengendalikan inflasi. Bank Dunia dalam laporan bertajuk Indonesia’s Fuel Subsidies Reform (2024) menyebut kompensasi sebagai implicit subsidies, sementara subsidi langsung disebut explicit subsidies. Tabel di bawah ini menjelaskan secara ringkas perbedaan antara subsidi dengan kompensasi:

Pada tahun 2022, pemerintah mengganti JBKP dari Premium menjadi bensin RON 90 yang bernama dagang Pertalite. Perubahan tersebut ditetapkan melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022.

Bahkan setahun kemudian, per 1 Januari 2023, pemerintah menyetop peredaran bensin RON 88 (Premium) dan RON 89 melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 245.K/MG.01/MEM.M/2022.

Reformasi subsidi energi tersebut membuat beban yang harus ditanggung negara turun drastis dari Rp341,8 triliun pada 2014 menjadi Rp119,1 triliun sepanjang tahun 2015. Namun selama 10 tahun berikutnya, tren nilai subsidi energi cenderung kembali meningkat.

Untuk tahun 2025, Kementerian Keuangan telah mengalokasikan anggaran belanja pemerintah pusat untuk subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp394,3 triliun, yang terdiri dari subsidi sebesar Rp203,4 triliun dan kompensasi Rp190,9 triliun. Total subsidi dan kompensasi tersebut naik 1,91% dari realisasi pada anggaran 2024 yang mencapai Rp386,9 triliun

Secara rinci, pada anggaran 2025 ini subsidi BBM naik 23,61% dari tahun sebelumnya (year on year, yoy) menjadi Rp26,7 triliun; subsidi elpiji 3 kg bertambah 1,64% yoy menjadi Rp87 triliun, sementara listrik mencatat kenaikan tertinggi, tumbuh 11,15% yoy menjadi Rp89,7 triliun. Dana kompensasi BBM bertambah dari Rp176,4 triliun pada 2024 menjadi Rp190,9 triliun tahun ini, atau naik 8,21%.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada awal Agustus 2025, dikabarkan Bloomberg Technoz, memperingatkan anggaran subsidi dan kompensasi energi 2026 berpotensi melebar hingga Rp400 triliun jika pemerintah tidak segera melakukan pengetatan subsidi. Plt. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tri Winarno mengeluh masih banyak masyarakat yang tidak berhak menikmati subsidi energi, tetapi ikut menikmati anggaran pemerintah tersebut. Terutama, pada produk BBM dengan skema kompensasi yakni Pertalite, serta elpiji bersubsidi 3 kg.

Nilai subsidi yang sangat besar tersebut, tentu saja, berdampak serius terhadap kesehatan fiskal negara dan berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Bahkan tingginya subsidi berdampak pada meningkatnya defisit anggaran, sehingga bisa memaksa pemerintah menambalnya dengan menambah utang.

Dalam publikasi ini, NEXT Indonesia Center akan fokus mengamati soal subsidi BBM dan elpiji untuk memetakan siapa saja sebenarnya yang telah menikmati subsidi dan kompensasi. Dengan demikian, dapat kita lihat apakah anggaran jumbo subsidi dan kompensasi tersebut telah tepat sasaran.

Siapa Berhak Dapat Subsidi?

Tujuan utama subsidi energi adalah menjaga daya beli kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin, mengendalikan inflasi, serta mendukung usaha mikro dan kecil melalui penyediaan energi murah. Mereka yang berhak, bukan yang lain.

Sayangnya, untuk BBM bersubsidi dan Pertalite, serta LPG 3 kg (populer disebut gas melon), belum ada peraturan dari pemerintah yang secara rinci memaparkan kelompok masyarakat yang berhak menikmati subsidi dan kompensasi energi tersebut. Hingga saat ini, pemerintah masih dalam proses merevisi Peraturan Presiden (perpres) No. 191/2014 untuk menentukan kepada siapa BBM bersubsidi (solar dan minyak tanah) dan Pertalite seharusnya dijual.

Revisi regulasi tersebut telah dibahas sejak tahun 2022, dan hingga kini belum juga selesai. Meski kerap beredar kabar mengenai jenis-jenis kendaraan yang boleh menggunakan Pertalite, tetapi pada kenyataannya, hampir semua jenis kendaraan bermesin bensin masih bisa membeli. Aturan yang mewajibkan kendaraan roda empat menggunakan kode QR melalui program “Subsidi Tepat MyPertamina” agar dapat membeli Pertalite, tampaknya juga tidak berjalan efektif.

Sedangkan konsumen yang berhak membeli elpiji 3 kg sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan Dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas. Namun demikian, pada ayat 2 pasal 20 peraturan tersebut hanya disebutkan bahwa salah satu yang berhak mengonsumsi “LPG tertentu dalam kemasan tabung 3 kg” adalah kelompok rumah tangga. Tidak ada rincian tingkat ekonomi kelompok rumah tangga yang berhak tersebut.

Akibatnya, hanya kesadaran diri sendiri, dan mungkin rasa malu, yang bisa mencegah kelompok rumah tangga berpenghasilan tinggi untuk membeli Pertalite atau gas melon. Beberapa kali media, baik konvensional maupun sosial, mengabarkan soal selebritas atau tokoh ternama yang tertangkap kamera menggunakan gas melon di rumah mewahnya. Ada juga yang merekam mobil-mobil mewah berkapasitas mesin (cc) besar ikut antre Pertalite. Tidak ada konsekuensi hukum bagi mereka, hanya menjadi pergunjingan publik.

Sebagai acuan, coba tengok target penerima subsidi dan bantuan sosial (bansos) versi Kementerian Sosial (Kemensos). Mereka yang menjadi target masuk dalam 40% kelompok masyarakat dengan kesejahteraan sosial terendah.

Identitas mereka ada dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang meliputi Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), Penerima Bantuan dan Pemberdayaan Sosial, serta Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS). Data ini juga digunakan sebagai dasar untuk menyalurkan berbagai program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran sebagai penerima subsidi, dalam distribusi penduduk berdasarkan kondisi kesejahteraan, masuk pada kelompok desil1 1 hingga 4. Rata-rata pengeluaran per kapita mereka berada pada kisaran Rp499.974 hingga Rp898.458 per bulan. Populasinya, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024, mencapai 111,7 juta orang, yang terbagi dalam 25,5 juta keluarga, atau 35,1% dari total keluarga di Indonesia.

1. Desil adalah ukuran statistik yang membagi suatu kumpulan data menjadi sepuluh bagian yang sama. Dalam konteks Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), desil digunakan untuk mengelompokkan rumah tangga berdasarkan tingkat kesejahteraan mereka, dengan desil 1 mewakili kelompok termiskin dan desil 10 mewakili kelompok terkaya.

Mereka inilah yang sesungguhnya paling layak menerima segala subsidi, termasuk subsidi energi, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup. Peningkatan kesejahteraannya melalui subsidi, dapat membantu mendorong pertumbuhan perekonomian nasional karena turut meningkatkan daya beli.

Dahaga Warga Terkaya terhadap Energi Bersubsidi

Sepanjang tahun penyaluran subsidi energi, alirannya bahkan masuk ke rumah dan kendaraan orang-orang paling kaya di negara ini. Bahkan daya serap mereka yang sebenarnya tidak berhak menerima subsidi, berlipat-lipat dibandingkan kelompok miskin dan rentan miskin.

Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 membuka tabir tersebut. NEXT Indonesia mengikuti acuan Kementerian Sosial dengan menetapkan bahwa rumah tangga yang berhak menerima subsidi energi tersebut adalah kelompok desil 1-4.

Dengan demikian, rumah tangga yang berada di desil 5-10, yakni kelompok masyarakat mapan hingga paling kaya di Indonesia, tentu tidak berhak menerima subsidi. Tabel di bawah ini merangkum betapa dahaganya mereka mengonsumsi produk energi bersubsidi.

Pada tahun 2024, potensi konsumsi bensin (Pertalite) yang salah sasaran mencapai 78,93% atau 1.400 juta liter dari total 1.774,5 juta liter yang dikonsumsi oleh rumah tangga Indonesia setiap bulan. Bahkan, 20% keluarga terkaya (desil 9-10) masih bisa menikmati 39,99% dari total konsumsi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) tersebut.

Laporan Keuangan PT Pertamina (Persero) tahun 2024 mencatatkan pendapatan dana kompensasi atas selisih harga jual eceran BBM mencapai US$4,6 miliar, atau Rp102,4 triliun dengan asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS. Artinya, tahun lalu 20% warga terkaya Indonesia menikmati subsidi Pertalite hingga Rp41 triliun. Ini adalah nominal yang sungguh besar.

Solar lebih melenceng lagi. Konsumsi solar kelompok desil 1-4 hanya 4,2% atau 2,6 juta liter dari total konsumsi 62,3 juta liter per bulan, jauh lebih rendah dibandingkan konsumsi solar warga desil 5-10. Bahkan, 75,56% solar subsidi dipakai oleh desil 9 dan 10, para warga terkaya.

Bagaimana dengan gas melon? Data di atas menunjukkan, warga desil 1-4 hanya mengonsumsi 32,59% dari total konsumsi 413,7 ribu ton gas melon per bulan. Sisanya, 67,41% dinikmati oleh kelas menengah ke atas. Kelompok 20% terkaya bahkan masih menggunakan 97,9 ribu ton gas melon bersubsidi, atau 23,7% dari total konsumsi bulanan tersebut.

Potensi nilai subsidi LPG 3 kg yang salah sasaran mencapai Rp57,7 triliun. Sebanyak Rp20,3 triliun dari jumlah tersebut dinikmati oleh 20% kelompok warga terkaya.

Bila melihat angka-angka salah sasaran yang begitu fantastis, memang sudah seharusnya pemerintah memikirkan ulang cara terbaik penyaluran subsidi dan kompensasi energi. Salah sasaran yang terlalu jauh akan mengakibatkan melebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat—si miskin tambah miskin, si kaya makin kaya.

Related Articles

blog image

Pangkal Semarak Beras Oplosan

212 merek beras premium dan medium terbukti oplosan dengan 59% beras patah. Praktik curang ini merugikan konsumen Rp99,3 triliun.

Selengkapnya
blog image

Beras Berlimpah, Harga Tetap Mahal

Rantai pasok perdagangan beras yang terlalu panjang perlu dipangkas untuk mengurangi pemburu rente yang menyebabkan harga melambung.

Selengkapnya
blog image

Sebagian Besar BBM Bersubsidi Salah Sasaran

BPS 2024 ungkap subsidi BBM Pertalite dan LPG 3 kg lebih banyak dinikmati kelompok mampu, memicu desakan evaluasi kebijakan energi agar tepat sasaran.

Selengkapnya