Pangkal Semarak Beras Oplosan
20 Agustus, 2025
212 merek beras premium dan medium terbukti oplosan dengan 59% beras patah. Praktik curang ini merugikan konsumen Rp99,3 triliun.

Keterangan foto: Ilustrasi beras oplosan.
Ringkasan
• 212 merek beras oplosan terungkap mengandung hingga 59% beras patah, merugikan konsumen Rp99,3 triliun akibat praktik manipulasi kualitas.
• Marjin pedagang premium makin tipis, mendorong praktik curang oplosan, diperparah lemahnya pengawasan serta rendahnya pemahaman konsumen soal kualitas beras.
• Harga beras mahal karena inefisiensi produksi & rantai pasok panjang, solusinya: tingkatkan produktivitas dengan teknologi pertanian dan potong rantai distribusi.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Pada 30 Juli 2025, Kementerian Pertanian (Kementan) mengumumkan ada 212 merek beras premium dan medium yang sempat beredar di pasaran terbukti tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Apa pasalnya?
Beras-beras tersebut, ungkap Kementan, setelah dites ternyata mengandung 59% beras patah (broken rice). Padahal, kandungan broken rice pada beras premium seharusnya maksimal hanya 14,5%, sedangkan pada beras medium Pangkal Semarak Beras Oplosan maksimal antara 18% hingga 22%. Praktik manipulasi kualitas dan harga di tingkat distribusi tersebut, menurut Menteri Pertanian Amran Sulaiman, merugikan konsumen hingga Rp99,3 triliun.
Tipisnya marjin yang didapatkan oleh pedagang grosir dan pengecer beras premium tampaknya bisa menjawab maraknya beras oplosan yang beredar saat ini. Meski fluktuatif, terlihat tren keuntungan dari penjualan beras premium menurun dalam lima tahun terakhir.
Penurunan laba tersebut terjadi karena pemerintah menaikkan harga gabah di tingkat petani, sehingga produsen harus membeli lebih mahal. Pada saat yang sama, untuk menjaga keterjangkauan beras, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET).
Pedagang yang tak mau rugi tentu saja akan mencari berbagai cara guna mendapatkan laba sebesar-besarnya. Mencampur beras berkualitas tinggi dengan beras berkualitas rendah, bagi mereka, adalah cara termudah, termurah, dan tercepat. Dengan mengoplos, pedagang yang curang bisa menjual lebih banyak beras “premium” dengan modal lebih kecil.
Sebagian konsumen juga tidak pernah benar-benar memperhatikan butiran beras yang mereka beli sebelum membayarnya. Banyak juga yang tidak paham perbedaan antara butir beras premium, medium, dan yang berkualitas rendah, apalagi jika beras tersebut sudah terbungkus, seperti yang dijual di toko-toko swalayan.
Berbarengan dengan lemahnya pengawasan, kasus beras oplosan ini masih sering terjadi. Apalagi jika melihat rantai pasok yang panjang, mungkin membuat para pengawas kualitas beras makin lelah untuk memeriksa komoditas tersebut sebelum sampai ke rantai pasok akhir, yakni penjual eceran.
Tapi, seperti dikatakan Menteri Amran, ada berkah tak terduga di balik kasus ini. Pedagang-pedagang beras di pasar tradisional ketiban untung. Lebih banyak warga yang kini memilih untuk membeli beras curah di pasar karena mereka bisa melihat langsung kualitasnya.
Tingkatkan Produksi, Potong Rantai Pasok
Sebagai sebuah negara agraris, dengan mayoritas rakyat bekerja di sektor pertanian7, mahalnya harga beras ini menjadi sebuah ironi. Apalagi bila dibandingkan dengan dua negara tetangga, Thailand dan Vietnam, yang kerap mengekspor berasnya ke Indonesia.
7. Per Februari 2025, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian menyerap 28,54% atau sekitar 40,67 juta orang dari total angkatan kerja nasional.
Harga gabah kering panen (GKP) di Indonesia, yang pada Juli 2025 mencapai Rp6.771/kg, masih lebih mahal dari beras kualitas premium siap ekspor Thailand (Rp6.380/kg) dan Vietnam (Rp6.033/kg). Kenyataan ini menunjukkan ada inefisiensi dalam produksi beras Indonesia yang berkontribusi melambungkan harganya.
Penyebab mahalnya harga beras terbilang kompleks. Ada campuran beragam faktor termasuk produktivitas, struktur biaya, hingga kebijakan.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produktivitas petani padi Indonesia rata-rata berkisar antara 5,2-5,3 ton/hektare Tingkatkan Produksi, Potong Rantai Pasok (ha). Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan Vietnam dan Thailand yang rata-rata produktivitasnya mencapai hingga 6 ton/ha. Rendahnya produktivitas itu membuat biaya per kilogram gabah di Indonesia jadi lebih mahal.
Pertanian di Indonesia juga masih labour intensive atau lebih banyak menggunakan tenaga manusia, sehingga biaya upah buruhnya tinggi. Tidak seperti di Thailand dan Vietnam yang sudah lebih banyak memanfaatkan teknologi dan mekanisasi dalam berproduksi.
Masalah berikutnya adalah rantai pasok dan distribusi yang terlalu panjang. Pola utama distribusi perdagangan beras di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari produsen sampai ke konsumen akhir melibatkan enam pelaku usaha perdagangan: importir, distributor, sub-distributor, pedagang grosir, supermarket/swalayan, dan pedagang eceran sebelum kemudian beras tersebut sampai ke tangan konsumen.
Setiap rantai tentunya akan mengambil keuntungan, berupa marjin perdagangan dan pengangkutan (MPP). Besar MPP yang didapat dari awal hingga akhir bisa mencapai total 84,45%. Akibatnya, harga yang harus dibayar konsumen jauh lebih mahal daripada biaya awal.
Pola distribusi ini sebenarnya bisa 2024 diperpendek dengan mengurangi rantai pasok dan distribusinya. Jadi, gabah dari petani masuk ke produsen (penggilingan). Hasil berasnya dikirim ke distributor yang langsung menjualnya ke konsumen, seperti pada gambar di bawah ini. Pola serupa pun bisa digunakan untuk beras impor.
Pola distribusi pendek ini, menurut perhitungan BPS, membuat MPP hanya berada di kisaran 6,24%. Dengan demikian, harga akhir yang dibayar konsumen tidak membengkak.
Jadi, cara terbaik untuk membuat harga beras nasional terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat adalah dengan meningkatkan produksi melalui pemanfaatan teknologi pertanian. Bersamaan dengan itu, rantai pasok dan distribusi perlu dijaga agar tidak terlalu panjang.