Rokok Sebuah Dilema Bagi Pengambil Kebijakan
26 Juli, 2025
Warga di kelas ekonomi menengah ke bawah mendominasi populasi perokok. Waspadai peningkatan jumlah perokok usia dini.

Keterangan foto: Ilustrasi rokok.
Ringkasan
• Rokok Berperan Besar dalam Penerimaan Negara, tapi Berisiko bagi Kesehatan
Rokok menyumbang sekitar 72% dari total penerimaan bea dan cukai, namun tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius.
• Jumlah Perokok Tembakau Terus Bertambah, Vape Justru Menurun
Data Susenas 2024 menunjukkan 61,9 juta perokok tembakau, dengan tren peningkatan, sementara pengguna rokok elektrik menurun menjadi 3,05 juta.
• Perokok Didominasi Pria, Generasi Tua, dan Kelas Menengah Bawah
Perokok terbanyak adalah laki-laki usia 26 tahun ke atas dari kelompok ekonomi menuju kelas menengah. Ironisnya, jumlah perokok anak di bawah 10 tahun juga meningkat.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia - Rokok adalah dilema bagi para pengambil kebijakan. Maklum, komoditas hasil tembakau ini menyumbang ratusan triliun bagi pendapatan negara walaupun tergolong berbahaya bagi kesehatan.
Rokok tak hanya menggerogoti kesehatan pengisapnya, bahkan bagi para perokok pasif1. Akan tetapi, produk tembakau2 tercatat sebagai produk legal di Indonesia, artinya tidak dilarang untuk diproduksi, diedarkan, dijual, dan dikonsumsi.Jumlah konsumennya sangat banyak, sehingga cukai hasil tembakau (CHT) menjadi porsi terbesar dalam total penerimaan negara dari sektor kepabeanan dan cukai.
1. Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) tembakau membunuh lebih dari 8 juta orang setiap tahun, baik itu perokok maupun orang yang kerap terpapar asap rokok (perokok pasif).
2. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024, produk tembakau meliputi: rokok, cerutu, rokok daun, tembakau iris, tembakau padat dan cair, serta hasil pengolahan tembakau lainnya.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan melaporkan, pendapatan dari bea dan cukai sepanjang 2024 mencapai Rp300,2 triliun atau tumbuh 4,9% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year, yoy). Bahkan penerimaan tersebut mencapai 93,5% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dari total pendapatan tersebut, sekitar Rp216,9 triliun atau 72,3% di antaranya berasal dari CHT. Ini menunjukkan betapa besarnya peran tembakau dalam penerimaan negara, sehingga pelarangan konsumsinya berpotensi menggerus kas negara.
Oleh karena itu, dibandingkan tegas melarang peredaran rokok, pemerintah terus berupaya mengurangi konsumsinya, baik tembakau konvensional maupun elektrik (vape). Tahun lalu, melalui Pasal 434 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, pemerintah melarang penjualan produk tembakau dan rokok elektronik kepada siapa pun yang berusia di bawah 21 tahun. PP tersebut juga mewajibkan pemerintah daerah untuk menetapkan dan mengimplementasikan kawasan tanpa rokok di wilayah masing-masing melalui peraturan daerah (perda).
Cara lain untuk mengendalikan dan membatasi konsumsi produk tembakau dilakukan melalui kenaikan cukai secara berkala. Asumsinya, jika harga eceran mahal, konsumsi turun. Tapi, kebulan asap rokok nyaris tidak berkurang.
Apalagi, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024 sudah menetapkan pemerintah tidak menaikkan cukai produk tembakau pada 2025. Keputusan itu diambil untuk memberi ”napas” bagi industri hasil tembakau (IHT) legal yang selama ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk kenaikan biaya produksi dan maraknya rokok ilegal.
Peredaran rokok haram terus tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Bahkan Ditjen Bea dan Cukai mengungkap, sepanjang Januari-Juni 2025, telah melakukan 13.248 penindakan atas barang ilegal dengan nilai mencapai Rp3,9 triliun yang 61% di antaranya merupakan rokok ilegal. Dari sisi jumlah batang, jumlah rokok ilegal yang diamankan meningkat 38% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Meski cukai tidak naik, pemerintah tetap menyesuaikan harga jual eceran (HJE) produk tembakau mulai 1 Januari 2025. Harga jual di pasaran tidak boleh lebih rendah dari HJE terkini yang ditetapkan dalam lampiran PMK 97/2024.
Pada publikasi ini, NEXT Indonesia Center akan memaparkan bagaimana pola konsumsi rokok, baik konvensional maupun elektrik di Indonesia hingga saat ini dengan menelusuri data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode 2020-2024.
Pemahaman terhadap pola konsumsi ini penting untuk membantu menyusun kebijakan yang tepat guna dan tepat sasaran. Dengan harapan, konsumsi rokok bisa dikendalikan tanpa menghantam industrinya terlalu keras.
Vape Menurun, Tembakau Melaju
Tembakau (Nicotiana tabacum) merupakan tanaman asli benua Amerika dan diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-173. Iklim tropis Indonesia yang subur sangat cocok untuk budidaya tembakau, sehingga dengan cepat menyebar dan menjadi komoditas penting di berbagai daerah seperti Deli, Sumatera Utara; Temanggung, Jawa Tengah; dan Jember, Jawa Timur. Kualitas tembakau Indonesia dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia.
3. ”Tembakau, Sejarah dan Cita Rasa Indonesia”, Indonesia.go.id.
Sejak saat itulah mulai muncul perokok di Indonesia. Diawali dari hanya kalangan bangsawan, hingga kemudian industri rokok kretek berkembang dan menghasilkan produk yang lebih terjangkau sehingga dikonsumsi luas.
Perkembangan teknologi kemudian menghadirkan rokok elektrik (vape). Rokok jenis ini adalah perangkat elektronik yang memanaskan cairan—biasanya mengandung nikotin, perasa, dan bahan kimia lainnya—hingga menjadi uap yang kemudian dihirup oleh pengguna. Rokok elektrik tidak membakar tembakau seperti rokok konvensional, tetapi menghasilkan aerosol (uap) yang mengandung berbagai zat kimia, termasuk nikotin.
Vape masuk ke Indonesia pada tahun 2012. Popularitasnya menanjak lantaran dianggap ”tidak berbahaya” bagi kesehatan bila dibandingkan rokok tembakau konvensional. Kandungan nikotinnya dinyatakan lebih rendah, juga diklaim tidak menghasilkan tar dan racun-racun lain yang terdapat pada rokok tembakau.
Meski demikian, semua klaim tersebut belum bisa membuat mayoritas perokok Indonesia beralih ke rokok elektrik. Data survei sosial ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah perokok tembakau masih jauh lebih banyak dibandingkan para pengisapvape – 61,9 juta perokok tembakau berbanding 3,05 juta pengguna vape. Dalam lima tahun terakhir, saat jumlah perokok konvensional cenderung bertambah, konsumen rokok elektrik justru terus berkurang.
Komposisi perokok di Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan dominasi penggemar rokok tembakau konvensional bila dibandingkan peminat rokok elektrik. Bahkan tampak jumlah konsumen yang hanya merokok jenis elektrik masih kalah banyak bila dibandingkan konsumen yang menghisap kedua jenis rokok itu.
Para perokok konvensional bisa dibagi lagi ke dalam dua golongan besar, yaitu yang merokok setiap hari dan tidak setiap hari. Hasil Susenas Maret 2024 menunjukkan bahwa jumlah yang merokok setiap hari jauh lebih banyak, mencapai 57,6 juta orang.
Setiap orang dari kelompok perokok aktif setiap hari menghabiskan rata-rata 98 batang per minggu. Sementara kelompok yang merokok tapi tidak setiap hari berjumlah 4,3 juta orang yang masing-masing menghabiskan rata-rata 41 batang rokok per minggu.
Dominasi Generasi Tua
Hingga saat ini, jenis kelamin para perokok didominasi oleh para pria yang jumlahnya mencapai 61,3 juta. Jumlah itu jauh lebih banyak dibandingkan perempuan perokok yang tercatat 1,2 juta.
Mengacu pada usia, jumlah perokok di kelompok 26 tahun ke atas terus melaju. Sebaliknya, perokok muda, yakni dengan usia di bawahnya, mulai menurun. Hasil survei sosial ekonomi (Susenas) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024 mengungkap, pada kelompok usia tersebut, jumlah perokok mencapai 47,5 juta orang atau 82,36% terhadap total perokok.
Lebih rinci, perokok berusia 26-50 tahun pada tahun 2024 mencapai 35,6 juta orang, lebih tinggi 6,24% dibandingkan tahun 2020. Sebaliknya, untuk perokok berusia hingga 25 tahun justru menurun 4,01%, dari 10,2 juta menjadi 9,8 juta orang.
Hal yang perlu diwaspadai, bila data usia ini diperinci lagi, tampak terjadi peningkatan pada jumlah perokok yang berusia di bawah 10 tahun dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2024 ada 37 ribu anak di bawah usia 10 tahun yang mengaku sebagai perokok, naik dari 30 ribu orang pada tahun 2020.
Enam kabupaten di Jawa Tengah mendominasi daftar 10 daerah dengan porsi perokok berusia 18 tahun ke bawah terbesar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk masing- masing daerah tersebut. Bukan kebetulan bila tiga kabupaten di posisi teratas—Wonosobo, Temanggung, dan Magelang—adalah daerah penghasil tembakau.
Sepuluh kabupaten dengan porsi perokok berusia 18 tahun ke bawah terbesar di Indonesia tersebut tampak memiliki karakteristik sosial yang mirip. Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di seluruh daerah itu lebih kecil dari rata-rata nasional, sementara persentase penduduk miskin ada di atas rata-rata nasional (kecuali Kabupaten Temanggung).
Mayoritas Perokok di Kelas Menengah ke Bawah
Bagaimana dengan tingkat ekonomi para perokok di Indonesia secara keseluruhan? Hasil survei sosial ekonomi (Susenas) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa perokok terbanyak ada pada kelas ekonomi menuju kelas menengah (aspiring middle class), atau mereka dengan pengeluaran antara Rp875.000 hingga Rp2.040.000 per orang per bulan. Jumlahnya nyaris mencapai 33 juta perokok atau 24% dari total penduduk yang berada pada kelas ekonomi ini.
Secara garis besar terlihat populasi perokok terbanyak memang ada pada kelompok masyarakat dengan kategori menuju kelas menengah hingga miskin. Sementara perokok paling sedikit ada di kelas atas, warga terkaya dengan rata-rata pengeluaran di atas Rp9 juta per bulan per orang.
Hasil penelitian Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) juga memaparkan, sekitar 80% dari 1,3 miliar perokok di seluruh dunia hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Konsumsi tembakau di negara-negara tersebut berkontribusi terhadap tingginya tingkat kemiskinan karena sebagian penghasilan mereka dipakai untuk membeli rokok, bukan untuk meningkatkan kualitas gizi dan tempat tinggal.
Data terbaru World Population Review menunjukkan bahwa secara keseluruhan, negara dengan porsi penduduk perokok tertinggi ada di kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia yang menempati peringkat ke-5) dan wilayah Balkan di Eropa. Sementara mayoritas Eropa Barat dan Amerika cenderung memiliki rasio perokok yang kecil.