Research  By Editorial Desk

Sekolah Rakyat, Di Mana Sepatutnya Tersedia?

02 Agustus, 2025

Sekolah Rakyat hadir untuk atasi kemiskinan lewat pendidikan gratis. Lokasinya harus tepat agar menjangkau wilayah yang paling membutuhkan.

Ilustrasi anak sekolah - Next Indonesia

Keterangan foto: Ilustrasi anak sekolah

DOWNLOADS


cover next review sekolah rakyat, di mana sepatutnya tersedia?.jpeg

Sekolah Rakyat, Di Mana Sepatutnya Tersedia?

Download

Ringkasan
• 
Sekolah Rakyat (SR) adalah program pendidikan gratis berbasis asrama bagi anak dari keluarga miskin, yang mulai berjalan di 63 lokasi dan ditargetkan mencapai 159 unit pada 2025.
• Masih banyak anak putus sekolah, terutama di wilayah pedesaan dan keluarga miskin; namun beberapa daerah dengan angka putus sekolah tertinggi belum menjadi lokasi SR.
• Mayoritas anak putus sekolah berasal dari keluarga petani, menunjukkan perlunya perhatian khusus pada sektor pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan dan akses pendidikan.

 

 

NEXT Indonesia - Satu demi satu dari 11 program unggulan yang dijanjikan oleh Presiden Prabowo Subianto sejak masa kampanye pemilihan presiden tahun 2024 mulai bergulir. Kali ini giliran Sekolah Rakyat (SR), program pendidikan berkualitas dan gratis bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.

Program tersebut telah berjalan sejak 14 Juli 2025 di 63 lokasi, dengan jumlah siswa 9.705 orang untuk tahun ajaran 2025/2026. Pemerintah memasang target mengoperasikan 159 unit SR pada tahun 2025.

Pada Rabu (30/7/2025), melalui akun Instagram resminya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan akan diluncurkan secara bertahap 37 SR pada 1 Agustus 2025 dan 59 SR pada awal September. Sementara 41 SR lainnya masih dalam proses penyampaian data oleh Kementerian Sosial (Kemensos) untuk disurvei Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU).

Sri Mulyani juga memaparkan, pemerintah telah mengalokasikan dana Rp2,1 triliun untuk Sekolah Rakyat hingga akhir tahun 2025. Jumlah itu akan meningkat pada 2026. 

Sebelumnya, pada 4 Juni 2025, Menteri Sri Mulyani juga memaparkan bahwa 11 program unggulan Prabowo akan menyerap dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp446,24 triliun. Dari jumlah tersebut, jatah untuk Sekolah Rakyat Rp11,6 triliun.

Sekolah Rakyat, menurut penjelasan di situs resmi Kemensos, adalah satuan pendidikan berbasis asrama dan pendidikan karakter. Program ini menyelenggarakan pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar dan/atau pendidikan menengah yang terintegrasi bagi peserta didik yang berasal dari keluarga miskin ekstrem, miskin dan/atau rentan.

Untuk menentukan peserta didik yang berhak, digunakan data kategori desil 1 dan 21 dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN)2 yang diintegrasikan dengan data pokok pendidikan (Dapodik). Selanjutnya, dilakukan seleksi bertahap yang diawali dengan verifikasi status ekonomi, dilanjutkan tes akademik.

1. Desil adalah pengelompokan rumah tangga berdasarkan tingkat kesejahteraan secara nasional. Desil 1 adalah kelompok rumah tangga yang termasuk 10% terendah tingkat kesejahteraannya, sementara desil 2 adalah kelompok rumah tangga yang termasuk antara 11% hingga 20% terendah.

2. Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) adalah kumpulan data yang berisi informasi sosial dan ekonomi seluruh penduduk Indonesia, yang terpusat pada Nomor Induk Kependudukan (NIK). DTSEN dirancang untuk menjadi rujukan tunggal dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi berbagai program sosial dan ekonomi, termasuk penyaluran bantuan sosial.

Pembelajaran di Sekolah Rakyat, menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Robben Rico, menggunakan teknologi terkini, seperti Learning Management System (LMS), smartboard, dan laptop. Sekolah ini juga dirancang dengan fasilitas lengkap, termasuk asrama, laboratorium, fasilitas olahraga, dan gedung serbaguna. Seluruh biaya pendidikan, termasuk makan, tempat tinggal, buku, dan seragam, akan ditanggung oleh pemerintah. Kurikulum pendidikannya menggabungkan standar akademik nasional dengan penguatan karakter.

Jadi, selain pendidikan formal laiknya sekolah umum, para peserta didik juga akan mendapatkan berbagai pelatihan guna mengasah mereka menjadi pelajar yang unggul dan terampil. Harapannya, mereka kelak mampu mengentaskan diri dan keluarga masing-masing dari lingkaran kemiskinan.

Pengentasan kemiskinan adalah frasa kunci dalam program ini. Karena itu, Presiden Prabowo, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, menitahkan Kemensos untuk “membentuk dan menyelenggarakan sekolah rakyat berasrama bagi masyarakat miskin dan miskin ekstrem.” Kemensos juga bertanggung jawab untuk:

• Menyiapkan dan menyusun kurikulum sekolah rakyat berasrama yang berlandaskan pada sekolah formal dan sekolah karakter;
• Menyiapkan sarana prasarana dan asrama sekolah rakyat; dan
• Membentuk tim formatur untuk program sekolah rakyat. 

Berdasarkan Inpres yang sama, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) diberi dua tugas oleh Prabowo terkait SR. Pertama, menyiapkan dan menyusun kurikulum SR berasrama yang berlandaskan pada sekolah formal. Kedua, menyediakan guru, tenaga pendidik, dan siswa untuk program tersebut.

Sejumlah pengamat sosial dan pendidikan mempertanyakan keputusan Prabowo untuk dengan cepat mengeksekusi program Sekolah Rakyat ini tanpa kajian yang komprehensif dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Mereka juga menilai keberadaan SR berpotensi memunculkan segregasi3 dan stigma4 sosial. Akan tetapi, pemerintah terus bergerak maju menjalankan program tersebut.

3. Sekolah Rakyat dimulai 14 Juli – ‹Sekolah untuk bangun peradaban, tapi membuatnya gegabah dan minim kajian› - BBC News (14/7/2025).

4. Sekolah Rakyat yang Berdaulat - Okky Madasari, Opini Kompas.id (24/7/2025).

Menteri Sosial Saifullah Yusuf melalui Keputusan Menteri Sosial No. 126/huk/2025 telah menetapkan, untuk tahap awal ada 100 kabupaten/kota di 29 provinsi yang menjadi lokasi penyelenggaraan Sekolah Rakyat. Penetapan lokasi dilakukan berdasarkan data DTSEN dan ketersediaan aset milik Kemensos di wilayah tersebut. Bangunan Sekolah Rakyat juga memanfaatkan aset pemerintah daerah yang tidak terpakai. Selanjutnya, pemerintah pusat meminta setiap daerah (provinsi, kota, dan kabupaten) masing-masing menyiapkan lahan seluas 8,5 hektare untuk membangun SR permanen.

Pada publikasi kali ini NEXT Indonesia berupaya memetakan daerah-daerah mana saja yang sangat memerlukan Sekolah Rakyat, dengan melihat tingkat putus sekolah dan keterkaitannya dengan tingkat kesejahteraan keluarga yang dominan di daerah tersebut. SR bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan melalui pendidikan gratis, jadi sebaiknya didirikan dekat dengan kawasan yang masih terbelakang dan terpinggirkan.

Tingginya Angka Putus Sekolah

Kriteria putus sekolah yang digunakan NEXT Indonesia dalam publikasi ini adalah anak yang masih berada di usia sekolah, yakni 6-17 tahun. Namun, mereka sudah tidak bersekolah lagi. 

Rentang usia tersebut dipilih karena sesuai dengan program Wajib Belajar yang telah lama dijalankan pemerintah. Berdasarkan Undang- Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional warga negara diwajibkan untuk menamatkan pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat. Kewajiban tersebut baru mulai dirintis pada 2012 dan diimplementasikan penuh mulai tahun 2015.

Dengan demikian, sejak tahun 2015 ada kewajiban bagi rakyat untuk menyelesaikan pendidikan hingga SMA. Pemerintah pun wajib membantu rakyat untuk mematuhi undang-undang tersebut.

Ternyata, jumlah anak putus sekolah pada rentang usia wajib belajar itu masih terbilang tinggi. Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa masih ada lebih dari 2 juta anak Indonesia yang tidak bersekolah. Angka tersebut mencapai 3,69% dari total 54,8 juta anak usia sekolah di Tanah Air. Ini memprihatinkan karena program wajib belajar semestinya menjamin anak Indonesia setidaknya memiliki ijazah SMA.

Data BPS tersebut juga mengungkap, sebagian besar dari yang putus sekolah tinggal di perdesaan, yang jumlahnya tercatat lebih dari 1 juta orang atau 4,49% dari total penduduk usia sekolah di desa. Sementara di perkotaan ada 982 ribu anak yang tidak lagi berseragam sekolah, 3,1% dari penduduk usia sekolah di kota. Bila menilik jenis kelamin, ada 1,2 juta anak laki-laki berbanding 852 ribu anak perempuan yang tidak lagi bersekolah.

Data itu mengindikasikan bahwa tantangan akses dan keberlanjutan pendidikan lebih besar dialami oleh warga perdesaan dan juga anak lelaki. Terkait anak lelaki, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dalam laporan “Leave No Child Behind: Global report on boys’ disengagement from education” menuturkan bahwahak atas pendidikan masih belum terpenuhi bagi banyak anak laki-laki.

Hasil penelitian UNESCO pada tahun 2020 itu menemukan dari sekitar 259 juta anak yang putus sekolah, 132 juta di antaranya adalah lelaki. Salah satu faktor penyebab utamanya adalah kemiskinan, terutama kemiskinan ekstrem, yang memaksa anak-anak lelaki bekerja untuk membantu keluarganya. Hal ini tidak berarti bahwa anak perempuan lebih mudah dalam menjalani pendidikan.

Banyak penelitian yang memetakan bagaimana kemiskinan memengaruhi pencapaian sekolah, baik dari segi permintaan sekolah (kurangnya biaya sekolah, tekanan untuk bekerja, kesehatan yang buruk) dan ketersediaan sekolah yang berkualitas. Sekolah yang melayani warga miskin sering kali memiliki kualitas yang tidak memadai sehingga berdampak pada perkembangan anak.

Kenyataan serupa, sayangnya, juga terjadi di Indonesia. Kondisi ekonomi keluarga memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap angka putus sekolah. Data menunjukkan korelasi yang jelas antara kategori kesejahteraan rumah tangga dan persentase anak putus sekolah.

Bahwa persentase anak putus sekolah di Indonesia berbanding lurus dengan tingkat perekonomian keluarganya. Semakin miskin, semakin besar persentasenya. Ini dapat mengindikasikan bahwa keluarga miskin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak mereka. Pendidikan kemungkinan dikesampingkan untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya, seperti pangan dan papan.

Fakta tersebut diperparah dengan kenaikan biaya pendidikan yang terus terjadi di Tanah Air, sebuah fenomena yang dikenal sebagai inflasi pendidikan. Kenaikan biaya ini berpotensi menghambat aksesibilitas pendidikan berkualitas, terutama untuk kelompok masyarakat kelas bawah. Tingkat inflasi pendidikan beberapa kali lebih tinggi dibandingkan inflasi umum. Pada Mei 2025, misalnya, inflasi pendidikan mencapai 1,88% tahun-ke-tahun (yoy), lebih tinggi dari inflasi umum yang tercatat 1,60% yoy. Sektor pendidikan memberikan sumbangan terhadap inflasi tahunan secara keseluruhan sebesar 0,11%.

Melihat data dan fakta tersebut, Sekolah Rakyat memang berpotensi besar untuk menjadi jawaban dari mimpi dan upaya masyarakat miskin untuk naik kelas dan memutus rantai kemiskinan. Sekolah gratis akan membuat sang kepala keluarga lebih rela menyekolahkan anak-anaknya tanpa khawatir berkurangnya pemenuhan kebutuhan pokok mereka.

Lebih Cermat Memilih Lokasi

Seperti dipaparkan pada bagian awal publikasi ini, pada tahap awal Sekolah Rakyat akan hadir di 100 kabupaten/kota yang tersebar di 29 provinsi. Dengan demikian, ada sembilan provinsi yang belum masuk dalam daftar lokasi berdirinya sekolah tersebut. Kementerian Sosial (Kemensos) menetapkan lokasi berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) dan ketersediaan aset Kemensos, ditambah beberapa pemerintah daerah yang sukarela menyediakan aset mereka.

Apabila kita merujuk pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Indonesia 2024, persentase anak putus sekolah terbesar ada di Provinsi Papua Pegunungan, yakni mencapai 5,36% dari total anak usia sekolah yang tercatat 276 ribu orang. Gorontalo (5,33%), Papua Selatan (5,23%), Kalimantan Barat (5,18%), dan Kalimantan Tengah (5,03%) melengkapi lima provinsi dengan porsi anak putus sekolah tertinggi. 

Mayoritas anak-anak yang putus sekolah di lima provinsi itu berasal dari kelompok masyarakat miskin hingga menuju kelas menengah.

Bila melihat dari jumlah, tentu saja anak putus sekolah paling banyak berada di provinsi-provinsi di Pulau Jawa yang padat penduduk. Peringkat teratas ditempati Jawa Barat (480.018 anak), kemudian Jawa Tengah (255.586 anak), dan Jawa Timur melengkapi tiga besar dengan 227.724 anak putus sekolah.

Hal yang mengkhawatirkan dari data ini adalah empat dari lima provinsi dengan persentase anak putus sekolah tertinggi itu–Papua Pegunungan, Gorontalo, Papua Selatan, dan Kalimantan Barat–adalah daerah yang belum masuk dalam daftar lokasi Sekolah Rakyat rilisan Kemensos.

Mari telisik lebih jauh dengan mencermati anak putus sekolah tingkat kabupaten/kota. Sebagai catatan, pada bagian ini NEXT Indonesia memilih untuk tidak memasukkan kabupaten/kota di seluruh enam provinsi di Papua ke dalam perbandingan, karena sektor pendidikan di kawasan tersebut perlu mendapatkan perhatian istimewa yang lebih besar.

Serupa dengan yang terjadi pada tingkat provinsi, enam dari 10 kabupaten/kota dengan persentase tertinggi anak putus sekolah yang berasal dari keluarga miskin hingga menuju kelas menengah belum masuk dalam daftar daerah tempat Sekolah Rakyat berada pada tahap awal ini. Mereka merupakan keluarga tidak mampu dan sedikit mampu secara ekonomi atau kelompok masyarakat di desil satu hingga delapan.

Dari sisi pengeluaran, kelompok masyarakat desil 1-8 adalah mereka dengan rata-rata pengeluaran Rp478.983-1.585.160 per orang setiap bulan. Sedangkan untuk desil 1-6, yakni keluarga miskin dan rentan miskin, kisaran rata-rata pengeluarannya Rp478.983-1.116.332 per bulan.

Ada beberapa dugaan penyebab tidak sinkronnya antara pemilihan lokasi pembangunan SR dengan data persentase anak putus sekolah tersebut. Hal tersebut bisa terjadi karena data yang tidak selaras. Mungkin juga akibat Kemensos tidak memiliki aset yang bisa dimanfaatkan menjadi Sekolah Rakyat di daerah tersebut, atau karena saat menentukan lokasi Kemensos lebih melihat jumlah, bukan porsi anak tidak lulus sekolah dibandingkan jumlah penduduknya.

Sepatutnya, daerah-daerah dengan persentase anak putus sekolah yang tinggi ini harus mendapatkan perhatian khusus pemerintah. Pembangunan Sekolah Rakyat pada tahap berikutnya mesti memprioritaskan daerah-daerah tersebut. Jika tidak, kesenjangan pendidikan di antara warga negara akan semakin lebar.

Sebagian Besar dari Keluarga Petani

Satu hal lain yang mungkin tidak berkorelasi langsung dengan angka anak putus sekolah tetapi menarik untuk dicermati adalah profesi orang tua dari anak-anak yang putus sekolah. Ketidakberdayaan dari sisi profesi orang tua tentu berpeluang menyeret anak putus sekolah lantaran pendapatannya tidak memadai untuk membayar biaya pendidikan.

Data survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Maret 2024 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan mayoritas kepala keluarga dengan anak putus sekolah bekerja pada bidang pertanian. Jumlahnya mencapai 465.413 orang atau 26,5% dari total sekitar 1,8 juta kepala keluarga. Jumlah tersebut bahkan dua kali lipat lebih banyak dari perkebunan, yang juga sub-sektor bidang pertanian, dengan 206.215 kepala keluarga.

Pemerintah tampaknya harus memberi perhatian khusus pada tingkat kesejahteraan pekerja di sektor pertanian. Sebab, jika semua sub-sektor pertanian (pertanian, perkebunan, serta perikanan dan peternakan) digabungkan, maka porsi kepala keluarga dengan anak putus sekolah yang bekerja di sektor tersebut melonjak menjadi 45,01%.

Bahkan, bila melihat kembali tabel 10 kabupaten/kota dengan porsi anak putus sekolah dari keluarga miskin tertinggi di atas, hanya Purwakarta yang sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor industri pengolahan. Mayoritas warga sembilan kabupaten/kota lainnya mencari nafkah lewat sektor pertanian.

Data BPS Agustus 2024 memang menunjukkan bahwa upah pekerja sektor pertanian adalah yang kedua terendah setelah sektor aktivitas jasa lainnya. Para petani, peternak, nelayan hanya mendapat upah rata- rata Rp2,4 juta per bulan, lebih rendah 26,3% dari rata-rata upah nasional yang mencapai Rp3,3 juta per bulan. 

Perlu ada studi lanjutan untuk bisa mengurai dan mencari tahu faktor penyebabnya, serta bagaimana penyelesaian terbaiknya agar para pekerja sektor pertanian lebih sejahtera untuk bisa menyekolahkan anak mereka. Karena itu yang pasti, anak-anak mereka membutuhkan Sekolah Rakyat.

Related Articles

blog image

Rokok Sebuah Dilema Bagi Pengambil Kebijakan

Warga di kelas ekonomi menengah ke bawah mendominasi populasi perokok. Waspadai peningkatan jumlah perokok usia dini.

Selengkapnya
blog image

Ekspor Andalan Indonesia ke Uni Eropa

IEU-CEPA buka peluang emas bagi ekspor RI, dari sawit hingga nikel, meski masih hadapi tantangan regulasi dan kesenjangan kebutuhan pasar.

Selengkapnya
blog image

Para Sekutu di Perminyakan

Ada hubungan unik antara negara-negara besar perminyakan. Secara politik tampak bermusuhan, namun bukan berarti mereka tak bisa saling berdagang.

Selengkapnya