Bank Himbara Masih Jago Kandang
09 September, 2025
Bank-bank Himbara dominan di dalam negeri, namun terbatas ekspansi keluar dan tertekan tingginya NIM. Merger dinilai bisa lahirkan superbank ASEAN.

Keterangan foto: Ilustrasi bank Himbara.
Ringkasan
• Bank Himbara kuat di dalam negeri namun lemah di luar negeri
Dengan 5.607 cabang domestik, Himbara dominan di Indonesia, tetapi hanya punya 24 cabang luar negeri, jauh tertinggal dari Maybank dan CIMB yang agresif ekspansi regional.
• NIM Himbara tinggi, jadi dilema
Rata-rata NIM Himbara 3,75–6%, lebih tinggi dari bank ASEAN lainnya. Hal ini menguntungkan laba negara lewat dividen, tapi membebani dunia usaha karena bunga kredit mahal dan membuat bank sulit bersaing secara regional.
• Merger bisa lahirkan “superbank”
Jika Mandiri, BRI, BNI, dan BTN digabung, asetnya bisa menembus Rp6.000 triliun dan bersaing dengan bank besar ASEAN. Namun, ada risiko besar seperti “too big to fail”, hilangnya spesialisasi bisnis, dan tarik-menarik kepentingan internal.
MOST POPULAR
NEXT Indonesia Center - Biasanya, nilai aset besar sebuah bank berkaitan erat dengan cakupan wilayah operasional dan jumlah cabang yang dijalankannya. Secara umum memang ada hubungan timbal balik antara wilayah operasional dengan dana pihak ketiga (DPK). Bank dengan banyak cabang umumnya memiliki basis DPK yang kuat. Karena, dengan jumlah cabang yang banyak, sebuah bank cenderung lebih mudah untuk mendapatkan nasabah.
Skala operasional juga memengaruhi upaya bank untuk mendiversifikasi aset. Bank dengan jaringan regional, atau bahkan internasional, bisa masuk ke lebih banyak segmen layanan finansial, mulai dari ritel hingga pembiayaan infrastruktur. Keuntungan yang didapat adalah kondisi bank cenderung lebih stabil karena aset yang dimiliki tidak hanya bertumpu pada satu jenis pembiayaan.
Mengingat wilayah Indonesia yang amat luas, tentu saja himpunan bank milik negara atau Himbara menjadi si jago kandang, yang terbanyak memiliki kantor cabang di dalam negeri bila dibandingkan negara ASEAN lainnya. Jumlah cabang empat anggota Himbara mencapai total 5.607 kantor di seluruh Indonesia.
Himbara tersebut mencakup empat bank: Bank Mandiri (Persero) Tbk, Bank Rakyat Indonesia (BRI) (Persero) Tbk, Bank Negara Indonesia (BNI) (Persero) Tbk, dan Bank Tabungan Negara (BTN) (Persero) Tbk.
Akan tetapi, penetrasi pasar bank pelat merah Indonesia ke luar negeri masih terlihat minim. Total hanya ada 24 kantor cabang dari Bank Mandiri, BRI, dan BNI di luar negeri. Tahun lalu BTN sempat mengutarakan rencana untuk membuka kantor cabang pertama di luar negeri, yaitu di Timor Leste. Namun pada awal Agustus 2025, dikabarkan CNBC Indonesia, BTN membatalkan rencana tersebut karena potensi bisnis di negara tersebut dinilai tak menarik. Kini bank tersebut tengah menjajaki kemungkinan ekspansi ke Malaysia.
Secara umum, ekspansi bank Himbara ke luar negeri dilakukan sebagai bagian dari peran pemerintah dalam mendukung kegiatan ekonomi dan finansial warga negara Indonesia di luar negeri, terutama dalam hal pengiriman uang dan fasilitasi perdagangan. Tak heran jika pasar mereka sangat niche, seperti pekerja migran dan diaspora, bukan nasabah warga setempat.
Sementara DBS memusatkan perhatiannya pada 18 pasar di dunia, khususnya Indonesia, Tiongkok, India, Taiwan, dan Hong Kong yang disebutnya sebagai pasar prioritas. Oleh karena itu, walau asetnya menjadi yang terbesar, DBS hanya memiliki 28 kantor cabang di 18 negara.
Penetrasi pasar besar-besaran ke luar batas negara dilakukan oleh Maybank dan CIMB. Dua bank yang dikuasai pemerintah Malaysia itu membuka total 821 cabang di luar negeri. Sementara bank-bank milik pemerintah Thailand dan Vietnam tampak lebih fokus melayani nasabah di dalam negeri masing-masing.
Namun perlu diperhatikan juga, belakangan ini wilayah operasional tidak selalu linear dengan besarnya nilai aset sebuah bank. Berkembangnya teknologi, dalam hal ini digital banking, membuat semakin banyak bank yang mengurangi kehadiran fisik mereka, terutama di negara dengan tingkat penetrasi internet yang tinggi. Faktor digitalisasi ini dapat membuat nilai aset bankterus bertambah tanpa perlu hadir secara fisik di sebuah daerah.
Perburuan Marjin Bank Pelat Merah Indonesia
Daya saing perbankan, antara lain dapat dilihat dari net interest margin (NIM) atau marjin bank, yakni selisih antara pendapatan bunga dari kredit bank dengan suku bunga yang dibayar bank kepada deposan. Semakin tinggi NIM, makin besar pula laba bank. Pada saat bersamaan, hal itu mengisyaratkan beban berat bagi debitur perbankan.
Sekarang mari lihat net interest margin (NIM) masing-masing bank yang dikuasai pemerintah negara-negara Asia Tenggara itu. NIM perlu untuk diperhatikan karena merupakan salah satu indikator utama yang mencerminkan efisiensi intermediasi perbankan, yaitu menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit.
NIM menunjukkan kemampuan sebuah bank dalam menghasilkan pendapatan bunga bersih dari kegiatan intermediasi, serta seberapa efisien bank mengelola aset produktifnya. Aset produktif ini meliputi penyaluran kredit, surat berharga, maupun penempatan dana lain yang menghasilkan bunga.
Rasio ini dihitung dari pendapatan bunga dikurangi beban bunga, dibagi dengan rata-rata aset produktif, sehingga memberikan gambaran profitabilitas dan kesehatan finansial bank. Semakin tinggi NIM, semakin besar margin yang diperoleh bank dari aktivitas intermediasi.
Di Indonesia, NIM rata-rata Himbara secara konsisten berada pada tingkat yang tinggi di kisaran 3,75-5%, bahkan sampai di atas 6% untuk BRI. Nilai tersebut jauh di atas rata-rata para kompetitor regional di ASEAN.
Tingkat NIM yang tinggi memang menunjukkan profitabilitas yang tinggi. Tetapi, marjin keuntungan yang tinggi itu juga menandakan bahwa biaya intermediasi, khususnya bunga kredit, masih mahal. Padahal, bagi masyarakat berpendapatan rendah ataupun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), tingginya bunga kredit menjadi penghalang untuk mendapatkan pembiayaan formal.
Soal selisih bunga antara kredit yang disalurkan dengan simpanan masyarakat yang dihimpun bank, memang tidak ada regulasinya. Namun, amsalnya bisa dilihat dari penerapan Bank Indonesia (BI). Pada Agustus, BI menerapkan suku bunga deposit facility sebesar 4,25% dan suku bunga lending facility 5,75%. Selisihnya, bisa diibaratkan sebagai NIM di perbankan, sekitar 1,50%.
Sekadar gambaran, deposit facility merupakan penempatan dana rupiah oleh bank yang telah memiliki izin untuk operasi moneter Bank Indonesia, baik secara konvensional maupun syariah. Sedangkan lending facility adalah penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada perbankan tersebut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya NIM di bank-bank Himbara. Salah satunya adalah rasio CASA (current account, saving account) terhadap DPK masih terbilang rendah. Rasio CASA kerap disebut sebagai pendanaan murah karena bunga yang ditanggung perbankan untuk tabungan dan giro amat kecil. Berbeda dengan bunga deposito yang besar. Oleh karena itu, jika rasio CASA besar, berarti banyak dana berbunga kecil yang bisa dipakai bank untuk memberi kredit dengan bunga yang juga murah.
Per Desember 2024, Bank Mandiri adalah anggora Himbara dengan rasio CASA tertinggi, yaitu 80,3%. Rasio CASA BNI tercatat 70,5%, BRI 65,77%, sementara BTN 54,1%. Jika literasi keuangan meningkat dan semakin banyak warga yang menabung, peluang bank untuk mengumpulkan dana berbunga rendah semakin besar. Dengan turunnya cost of fund6, peluang bank menekan NIM lebih besar. Dunia usaha pun tersenyum lega.
6. Total biaya yang dikeluarkan bank untuk menghimpun dana dari berbagai sumber, seperti tabungan, deposito, atau pinjaman, yang akan digunakan untuk aktivitas operasional, seperti penyaluran kredit.
Kemudian, industri perbankan Indonesia masih terkonsentrasi pada bank-bank besar, terutama kelompok Himbara. Konsentrasi ini memberi ruang bagi bank besar untuk mempertahankan marjin tanpa tekanan kompetisi yang ketat.
Lalu ada pula risiko makroekonomi yang menyebabkan tingginya NIM perbankan Indonesia. Risiko itu terkait dengan stabilitas ekonomi, volatilitas nilai tukar, maupun kepastian hukum di Indonesia yang dinilai lebih tinggi dibandingkan negara lain. Hal ini membuat bank cenderung menetapkan spread bunga lebih lebar sebagai kompensasi.
Kondisi NIM yang tinggi ini menghadirkan dilema. Keuntungan Himbara jelas berkontribusi besar terhadap penerimaan negara melalui dividen BUMN, yang saat ini mulai dikelola Danantara, sovereign wealth fund milik pemerintah Indonesia. Namun, tingginya NIM membuat dunia usaha harus menanggung biaya dana lebih besar sehingga berpotensi memperlambat pertumbuhan sektor riil.
NIM yang tinggi juga menyulitkan bank-bank Himbara berkompetisi di kawasan Asia Tenggara. Bank di Singapura, Malaysia, atau Thailand dapat memberikan kredit dengan bunga yang lebih rendah karena marjin yang mereka ambil tipis. Perusahaan multinasional kemungkinan besar lebih memilih pendanaan dari perbankan di luar Indonesia karena lebih murah.
Merger Bank Himbara, Mungkinkah?
Bank-bank Himbara memang dominan dalam struktur perbankan nasional. Pangsa aset mereka mencapai sekitar 49,28% dari total aset industri perbankan Indonesia yang tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar Rp12.661,16 triliun pada Mei 2025.
Walau demikian, setelah mencermati nilai aset, wilayah operasi di luar negeri, dan NIM, tampak bahwa Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN secara individual masih sulit untuk bisa bersaing di lingkup perbankan regional Asia Tenggara. Perlu langkah drastis untuk bisa setidaknya mendekati bank-bank yang dikuasai pemerintah Singapura dan Malaysia. Bahkan, bila lengah, bisa disusul oleh bank-bank Thailand dan Vietnam.
Peluang untuk bisa bersaing akan cukup terbuka jika empat bank Himbara tersebut merger. Kalau mereka digabung, Indonesia akan memiliki superbank dengan aset lebih dari Rp6 ribu triliun sehingga bisa bersaing ketat dengan bank besar ASEAN. Ini potensi besar secara ekonomi.
Pada tahun 2015, Menteri Keuangan yang saat itu dijabat Bambang Brodjonegoro sempat melontarkan ide merger dua bank BUMN besar, yaitu Mandiri dan BNI, untuk menghadapi persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ketika itu, dikutip detik.com, Bambang menyatakan bila Mandiri dan BNI bergabung, ruang pembiayaan bank dalam negeri bisa berkembang lebih besar.
“Ini paling tidak, tidak akan mengejar DBS, tapi mulai mendekati,” kata Bambang.
Namun Himbara, dikabarkan Bisnis.com, menolak rencana tersebut. Menurut Gatot Suwondo, Ketua Himbara saat itu, sebagai perusahaan publik proses merger akan sangat rumit, perlu tambahan modal, serta tukar saham. Kementerian BUMN yang ketika itu dipimpin Rini Suwandi juga menepis ide tersebut dan lebih memilih untuk melakukan sinergi, seperti sinergi ATM Link Himbara.
Memang ada risiko-risiko yang mesti dipertimbangkan jika merger bank-bank Himbara dilakukan. Risiko terbesar adalah superbank itu menjadi perusahaan yang “too big to fail”. Maksudnya, jika superbank itu bermasalah, suka tidak suka pemerintah harus melakukan bailout karena aset yang dimiliki sangat besar dengan jumlah nasabah berlimpah. Bahkan, dampak sistemiknya juga semakin besar, sehingga berpotensi menggoyang perekonomian nasional.
Superbank hasil merger tersebut juga akan sangat kuat sehingga bank-bank lokal lainnya akan sulit bersaing. Merger juga bisa memicu terjadinya tarik-menarik kepentingan antara direksi hingga pekerja dari masing-masing bank yang digabung.
Selain itu, masing-masing bank Himbara sebenarnya dirancang untuk memiliki spesialisasi bisnis yang berbeda. Bank Mandiri fokus pada bisnis korporasi dan infrastruktur, BRI pada penyaluran kredit UMKM, bisnis internasional menjadi spesialisasi BNI, sementara BTN mengurusi pembiayaan perumahan. Penggabungan berpotensi menghilangkan kekhususan tersebut, meski pada kenyataannya saat ini cukup sulit bagi awam untuk melihat perbedaan bisnis mereka, terutama antara Mandiri, BRI, dan BNI.